Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #9

Panti Asuhan

Menyusuri ruas bundaran kota yang ramai, trotoarnya dijejali ribuan pejalan kaki baik itu turis lokal maupun internasional. Di sini beragam arsitektur bangunan yang ada saling bertembung konsep. Futuristic, retro, vintage, industrial, black or white, back to nature, minimalis modern. Semua lampu bangunan-bangunan itu menyala di malam hari. Begitu hidup. Tempat ini sama melenakannya dengan alun-alun kota.

Panti Asuhan Manuku berlokasi di antara bangunan-bangunan modis itu. Pagarnya berwarna putih lusuh, didominasi lumut dan noda hitam, menjulang tinggi sehingga yang terlihat dari luar hanya genteng berbentuk limas dari sebuah bangunan besar di dalamnya. Mengulik isi di balik pagar tinggi itu, terdapat sebuah rumah lawas yang cuma mengandalkan bahan bangunan berkualitas di awal pembangunannya dan perawatan berkala setelahnya. Ketiadaan papan tulisan yang memberitahu bahwa rumah besar itu merupakan sebuah panti asuhan, banyak orang salah mengira rumah tersebut dinasionalisasi oleh pemerintah.

Di balik pagar tinggi itu, terdapat hamparan taman indah penuh bunga seluas satu hektar. Lampu-lampu taman menyala indah di malam hari. Belasan mobil tampak terparkir rapi di parkiran. Amat jarang parkiran itu sepadat ini. Biasanya hanya ada satu-dua mobil, kadang bergantian, kadang bersamaan. Anak-anak sampai bisa bermain basket nyaris setiap hari di parkiran. Tapi malam ini tampaknya rumah itu sedang menerima banyak tamu.

Hujan deras mengguyur. Sebuah pohon raksasa menaungi seluruh atap rumah. Usia pohon tersebut terbilang purba, batangnya yang bernas dililit lampu-lampu kawat, akar-akarnya kekar, daunnya rindang, dan ranting-rantingnya kokoh. Di bawahnya persis terdapat meja kayu yang menopang akuarium persegi berisi dua ikan mas berkepala bulat. Akuarium itu menyala. 

Manuku menapakkan kakinya di tangga teras. Dia adalah pemilik panti asuhan itu. Tinggal tiga pijakan lagi, anak tangga di hadapannya akan mengantarkannya pada grendel pintu depan rumah panti. Dan, hujan yang tiba-tiba turun dengan cepat berhenti mengguyur. 

"Paman!" seru seorang bocah laki-laki. Ia sedang memberi makan ikan-ikan di bawah pohon. Hujan yang lewat sepintas menyadarkannya akan datangnya seseorang. 

Sepatu kets hitam Manuku tertahan sejenak. Manuku menoleh ke perawat ikan-ikan hias itu.

"Masuk, Raden! Ayo, makan malam!" Manuku balas melambai. Meletakkan payung hitamnya di samping pintu masuk.

Raden menurut lantas kaki kecilnya berlari masuk ke dalam rumah bersama pamannya. Raden memegang tiga persen saham bisnis Manuku. Manuku mempercayakannya pada anak sekecil Raden karena anak itu sungguh luar biasa. Jika mood-nya baik, tiap pulang sekolah Raden betah duduk di depan layar statistik pasar saham dan modal. Memperhatikan laju garisnya, berteman dengan laporan perusahaan. Hanya makan, minum, dan tidur di ruangan yang sama. Klimaksnya, Raden akan memukul meja dengan kepalan tangan mungilnya yang menandakan dia mendapat keuntungan. 

Raden gemar baca buku berbau ekonomi dan politik. Koran-koran pagi dilindas Raden lebih dulu. Sebab, pamannya sering menghilang. Keluyuran tidak jelas ke mana. Manuku memberitahu para pengasuh kalau sebetulnya jiwa Raden lebih tua darinya, jadi jangan pakai cara konvesional untuk meredakan tantrumnya. Tidak mempan. Katakan janji-janji yang masuk akal di kepala Raden. Dengan begitu, tantrumnya akan mereda. Sebagai gantinya, janji itu harus segera ditepati sesuai kesepakatan. Mereka harus ingat kalau Raden sangat benci pada manusia ingkar.

Rumah panti yang dikelola yayasan Manuku menampung sedikit anak. Model Asia yang melenggak-lenggok di panggung-panggung brand fashion internasional pernah tumbuh di sini. Dokter yang namanya diagung-agungkan di negara-negara perang berasal dari sini, pengusaha, kepala media, wartawan, dan masih banyak lagi. Mereka anak-anak menakjubkan yang dibesarkan di panti asuhan Manuku.

Mereka mekar sebagai sosok amanah, kharismatik seperti pamannya, dan dengan pribadi luar biasa mereka, rahasia besar tentang rumah panti bekas mereka tumbuh senantiasa tersimpan. Khususnya tentang paman mereka yang selalu tampan, tak pernah menua, dan kaya sepanjang masa. Bertepatan pada hari ini mereka semua datang berkunjung.

Kombinasi tanaman rambat warna hijau dengan warna netral pada dinding dan lantai melahirkan impresi harmoni begitu masuk ke dalam rumah. Perabot tua yang ada justru menambah nilai seni yang tinggi, mahal, dan antik. Tanpa plafon, balok-balok kayu jati dari era kolonial malang melintang di bawah genteng. Pipa-pipa warna kelabu menjalari dinding. Dari segala sisi, rumah ini tak memiliki satu pun jendela. Sirkulasi udara bergerak di ruang tengah, di mana atap tamannya terbuka menghadap langit.

Sebatang pohon kersen tumbuh di taman ruang tengah rumah itu. Masih menetes sisa-sisa air hujan di daunnya. Batangnya melekuk seperti bonsai raksasa. Buahnya kecil, merah ranum. Batu-batu kali berukuran besar diletakkan di bawah pohon. Tumbuhan lumut melapisi permukaan batu. Tanaman pakis mendominasi. Salah satu dari kami, perempuan bernama Sena, mendesain taman indoor itu. Sena jugalah yang menggarap taman bunga di pekarangan depan. Ia menciptakan harmonisasi yang menentramkan dalam setiap karya-karyanya. 

Perjamuan yang dinanti-nantikan Manuku sekian tahun sekali terlaksana malam ini. Berbagai hidangan menu disajikan di atas 5 bundar meja berdiameter 2 meter. Sekitar 30 kursi mengelilingi meja-meja tersebut. Tampaknya semua kursi telah lengkap bertuan. Tidak satu pun dari kami terlena di bundaran. Kami satu kesatuan, yaitu pulang ke rumah.

Dari yang termuda sampai sepuh membaur. Anak-anak cenderung sukar anteng di kursinya walaupun setiap meja menyuguhkan hidangan ceria. Para dewasa berbincang selayaknya kerabat dekat yang lama terpisah kota, negara, sampai benua. Tak jarang para dewasa ini juga mengangkat topik agak berat di tengah hidangan pembuka.

"Mereka menciptakan rudal balistik baru yang lebih mengerikan. Tidak mengarah ke langit, tapi merambat di dalam tanah mengikuti garis patahan lempeng. Apabila bom itu diluncurkan, negara yang diserang mengira bahwa serangan itu adalah gempa bumi," ucap salah seorang pria paruh baya, bertubuh kurus memakai kacamata. Didengar dan ditimpali beberapa kerabat di meja yang sama.

Pria paruh baya itu berulang kali muncul di majalah-majalah science dunia. Malam ini dia tampak berbeda dengan tampilannya di foto yang selalu bersih dan segar. Jenggotnya tumbuh berantakan, belum sempat bertumbukkan dengan mesin cukur. Terlihat sekali dia sungguh-sungguh meluangkan waktunya datang kemari di tengah kesibukannya.

"Aku khawatir dengan negara-negara yang terus menyinggung mereka soal teologi." Saudara panti lain mengendus masalah dari perkataan ilmuwan itu.

Ketika sajian utama dihantarkan ke meja-meja, Manuku yang baru saja masuk ke dalam rumah menyapu seisi aula dengan tatapan hangat. Anak panti dari berbagai generasi tersenyum menyambut gembira dirinya. Anak-anak panti yang ia besarkan telah menghimpun diri di ruang tengah rumah tua ini. Seringaian terpolos dimenangkan oleh bayi berumur delapan bulan. Kakek delapan puluh tahun menyandang jawara senyum terdamai. Tahun lalu si kakek masih berpasangan dengan kembarannya. Manuku menyelamatkan saudara kembar itu ketika mereka masih berusia tiga tahun. Yeah, sekitar 77 tahun yang lalu. Hingga kakek itu dijuluki “kakek”, pria yang merawatnya masih tetap muda.

Entah mukjizat atau kutukan? Tak seorang pun dari kami berani menjawabnya?

"Ayo, nikmatilah makanan utamanya!" kata Manuku bahagia memandang mereka.

Lihat! Paman tak menua sedikit pun, padahal usianya entah berapa ratus atau mungkin ribuan tahun. Seabrek pengalaman hidup tak mempan membuat segores keriput di wajahnya.

"Paman rajin menghubungiku untuk bertanya apa gaya baru hari ini," gumam seseorang sambil menggelengkan kepala dengan tersenyum. Dia model terkenal. Sumber inspirasi yang diberikannya ke Manuku berasal dari desainer-desainer ternama dunia.

Sendok dan garpu berdenting-denting. Anak-anak kecil makan dengan lahap. Manuku mendekati anak laki-laki yang dibawanya tadi siang. Usianya mungkin baru delapan tahun. Entah kebengisan hidup macam apa yang menggiringnya datang kemari untuk diasuh oleh Paman.

"Setelah nasimu habis, kamu boleh makan coklat sepuasnya. Letakan, Nak!" tegurnya.

Anak baru itu langsung menurut meski tetap enggan melepaskan coklatnya.

Ruang pertemuan ini terkesan redup. Sebetulnya semua ruangan di rumah panti hanya mengandalkan sinar matahari dari taman tengah. Memasuki malam seperti sekarang, cahaya bulan tidak sepadang sinar matahari. Bohlam lampu kuning tidak banyak membantu. Walau redup seperti sarang penyamun, kami tetap merasa nyaman. Malah kami sudah terbiasa dan mulai menerapkan pencahayaan setemeram ini sebagai standar kenyamanan.

"Bagaimana kabarmu, Lembut?" sapa Manuku. Paman Manu tertambat di mejaku. Lembut bukan nama pemberian orang tua kandungku. Paman selalu memberikan nama baru untuk anak-anak yang terdampar di panti asuhan ini.

Lihat selengkapnya