Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #10

Pohon

Mendekati tengah malam, menuju arah jalan pulang selepas dari Pasar Malam. Kira-kira setengah jam lagi waktu tempuh, komplek pabrik merupakan tujuan akhir Adi dan Narah kembali ke rumah masing-masing.

"Koud." Na menggesek-gesekkan telapak tangannya. "Aku ingin beer. Kamu suka beer?"

"Aku menguasainya," ujar Adi sambil tersenyum kecil, paham akan hal-hal propan yang Na jalani di dunia barat. Dia sendiri juga gemar minum. Lantas dirogohnya laci dashboard di depan Narah.  Dua kaleng bir sisa camping bulan kemarin diletakkannya di sana.

“Ja.” Na terkekeh, mengira bakalan sulit mengajak teman Asia-nya berpikir sedikit nakal.

Tikungan dan tanjakan tajam menyulitkan Adi membagi fokus. Berlembar-lembar amplop coklat berjatuhan begitu laci dashboard dibuka. Narah refleks membantunya. Kulit mereka saling bersentuhan ketika berebut memasukan amplop ke dalam laci.

"Sorry, Na." Adi meringis seraya menarik lengannya karena perlu oper transmisi.

Narah tampak tak menggubris nama pengirim amplop-amplop serupa itu. Usai merapikan, Na membuka kaleng bir untuk mereka.

"Berhenti, yuk!" ajak Na.

"Di luar dingin, Na." Tetapi Adi tetap mengiyakan permintaan anak majikannya.

Mobil menderu kasar, berbelok melewati jalan yang biasa dilalui para pemetik teh. Meskipun rutenya penuh bebatuan yang tidak mudah diterjang, Adi yang pecinta offroad tentu senang-senang saja. Satu kilometer sudah mereka meninggalkan jalanan beraspal, mereka akhirnya sampai di tepi jurang. Dihadapan mereka terbentang tebing batu yang ditera cahaya bulan. Benar-benar sebuah hidden gem di malam hari yang memanjakan mata.

Tak perlu keluar dari mobil sebab di luar suhu dinginnya bukan main. Keduanya cukup bersandar di kursi masing-masing sambil memandangi tebing batu itu dari balik kaca. Inilah spot terbaik untuk minum-minum, menurut Adi. 

"Salahku mengajak kalian ke pohon itu. Aku tak ingat kenapa aku meninggalkan Sabastian." Sekaleng bir melicinkan tenggorokan Na. Ia tiba-tiba mengenang adiknya yang hilang. 

Adi sempat diam sejenak. Oh, pasti pohon sawo kecik yang itu. Pohon yang sempat ramai diperbincangkan banyak orang karena diduga bisa tumbuh di dataran tinggi. Sampai sekarang pohon itu belum pernah ditemukan di daerah sini. Yeah, Na pasti membahas tentang pohon sawo kecik.

"Merelakan mungkin bukan satu-satunya jalan, tapi cara itu benar-benar bekerja. Awalnya terasa sulit. Percayalah semua hanya tentang waktu,” ujar Adi. Entah mengapa alkohol malah membuatnya bicara seperti seorang filosof. 

Lagipula bukan hanya kamu seorang yang pernah kehilangan, Na. Aku pernah meregang nyawa karena kehilangan semua anggota keluargaku dan mengira dunia tanpa mereka menjadi sebenar-benarnya neraka.

“Semenjak itu semua orang menyalahkanku,” gumam Na seraya merenung. 

“Kejadian itu sudah lima belas tahun berlalu,” ucap Adi. 

Jejak tiga pasang kaki anak kecil itu salah satunya adalah milik Adi kecil. Adilah yang bersaksi kepada polisi kalau Na dan adiknya bertengkar kala itu. Demikian pula alasan mengapa ia memilih pulang dan meninggalkan kakak-adik yang saling dorong mendorong. Untuk saat ini Adi merasa lebih baik tak mengaku bahwasanya saksi mata itu ialah dirinya. Adi hanya tidak mau Na menjadi marah setelah mengetahui kebenaran itu. Memang ia akui, ke-emberan-nya waktu itu terdengar menjengkelkan. Bagaimana lagi, beberapa polisi mencecarnya. Adi yang masih bocah ingusan takut pada kumis dan jenggot tebal para polisi.

"Apa iya aku tidak sengaja mendorong Sabastian?" besit Narah melihat kedua telapak tangannya. Air matanya berlinang. 

"Hei! Jangan begitu, Na." Adi memaklumi sensibilitas wanita. Alkohol kadang membuat orang menguapkan perasaan tersembunyi.

"Tadi sore di makam Sabastian, aku merasa kacau. Selama ini aku membodohi diriku sendiri dengan meyakini Sabastian masih hidup. Hoe stom ik ben!"  Alkohol terus menggelandang Na.

"Ayolah! Jangan pulang dengan mata bengkak," kata Adi. Apa yang harus ia jelaskan pada Bu Inggrid nanti? 

Na mengusap bulir air mata di pipinya. Menangis membuatnya kehilangan lapisan bedak. Rona kemerahan karena produksi air mata memulas kelopak mata hingga cuping hidungnya. Kulitnya yang bening, mulus, dan berkilau menarik untuk terus diperhatikan. Adi kepincut. 

"Sudahi, Na." Hati Adi berdesir. Kelelakiannya meronta melihat kecantikan Na yang demikian natural.

Sedetik berikutnya, Na sadar harus menata perasaannya.  "Kamu sering datang ke sini?" tanya Na balas memandang Adi. Air di pelupuk matanya telah asat. Na mencoba sebaik mungkin menarik temannya dari suasana muram yang telah ia buat. 

Adi menggeleng, masih tersihir memandangi wajah ayu wanita di hadapannya. Sadar akan dirinya yang terpana, Adi menenggak habis isi kalengnya. Glup! Glup! Glup! Jakunnya terlihat naik turun.

"Pelan-pelan, Di! Kamu masih mengemudi nanti." Narah mengingatkan.

Lihat selengkapnya