Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #11

Penggemar Miras

Tring! tring! Dering panggilan telepon masuk berbunyi. Adi menerima panggilan, melekatkan ponselnya ke telinga seraya membalas lambaian tangan Na yang perlahan tertelan kolom-kolom teras rumah utama. Selesai sudah tugasnya mengantar perempuan itu pulang.

"Halo, Mas Adi di mana?”

“Di jalan pulang,” jawab Adi.

“Minta tolong Rani kehabisan susu, Mas. Bisa mampir belikan susu. Mas Ipung belum pulang." Kegetiran suara perempuan di ujung telepon menundukan sorot mata Adi.

Berangkatlah Adi segera setelah menutup panggilan. Tak jauh dari pertigaan jalan besar terdapat sebuah swalayan kecil yang buka dua puluh empat jam. Tentu Adi harus kembali ke jalan besar, yang berarti dia akan melewati warung miras dekat tikungan itu lagi. Ada sekelumit kisah di warung miras itu.

Masih di seperempat jalan, Adi dibantai lagi oleh lampu jalan yang tadi digantinya dengan yang baru. Lampu itu berkedip-kedip. Arloji Adi menunjukan pukul satu dini hari. Sambil menimang keadaan, Adi memperlambat laju kendaraanya. Dengan mobil yang masih menderu dia berhenti di pinggir jalan. Tangannya menggali panel pintu, mengambil botol kecil berisi butiran obat, dan menumpahkan beberapa di telapak tangannya, lantas menelannya dalam sekali telan.

Di dalam otaknya sedang terjadi sesi perdebatan panjang, rumit, menggemaskan. Pandangannya yang gelisah dan pegangan tangannya yang erat pada roda kemudi menandaskan sesuatu tidak berjalan normal dalam kepalanya.

Bukankah besok suasana jelas lebih mendukung? Sesibuk-sibuknya tinggal suruh saja teknisi berangkat memperbaiki lampu jalan itu. Keplak kepala para teknisi babi itu supaya tidak bermalas-malasan! Tapi bagaimana jika seandainya lampu ini membawa awal bencana? Bukankah tikungan ini terkenal paling tajam. Sebentar lagi karyawan sif malam pada buyar. Jalan tanpa pencahayaan optimal bisa sangat membahayakan mereka.

Tidak-tidak! Ayolah! Tidak penting integritas malam ini. Kendalikan keganasanmu dalam bekerja! Sungguh otot tubuhmu yang berkharisma itu tidaklah berguna melawan sesuatu yang tak kasatmata nanti. Apa? Kamu menyebut dirimu pengecut?

Oups, Adi! Terlalu banyak kekhawatiran berkerumun di sorot matamu.

Gejala khawatir berlebih ini bermula semenjak Adi naik jabatan jadi mandor pabrik. Adi memimpikan sesuatu yang tidak biasa, yang muncul berulang kali dalam tidurnya. Dia bermimpi bertemu dengan karyawan-karyawan pabrik yang resign. Ketika bangun esok harinya, Adi mendengar kabar duka tentang mereka, tentang mereka yang mati setelah surat pengunduran dirinya ia terima.

Lama-lama Adi jadi tertekan setiap ada karyawan pabrik yang menyodorkan surat pengunduran diri kepadanya. Mengikuti arahan seorang pastor yang menyarankannya lebih rajin beribadah, Adi juga diperkenalkan dengan obat golongan antiansietas yang membantunya supaya tenang. Entah mengapa, menurut Adi lebih mudah menuruti pastor itu ketimbang psikolognya—Iriana. Iriana di sepanjang sesi pertemuan mereka, seringkali memberinya misi yang berlawanan dengan kemauannya.

Adi keluar dari mobil. Dia pria tangguh yang penuh tanggung jawab. Hal kecil seperti lampu sialan ini seharusnya tidak jadi masalah serius sampai membuatnya gundah gulana. Adi mendirikan tangga lipat. Dicobanya melepas bohlam lampu, lalu memasangnya sekali lagi. Mungkin saja putarannya tadi kurang pas sehingga lampu itu berkedip. Besok dia bersumpah akan mengusulkan pergantian lampu sepanjang jalan menggunakan lampu tenaga matahari.

"Lihat saja nanti," gerutunya sambil memutar bohlam. Tak menggerutu sampai situ saja. Adi juga bakal mengajukan ide supaya pinggir tebing diberi pagar pembatas. Banyak sekali yang sedang Adi pikirkan semata-mata untuk mengelabui rasa takutnya.

Selesai memperbaiki lampu biadab itu, Adi turun dari tangga lipatnya. Dia sempat melirik ke sisi jurang yang gelap hingga tidak ada apa pun yang terlihat di sana. Kemudian betapa terkejutnya dia ketika kakinya serasa menginjak sesuatu. Adi terperanjat kaget.

Dengan sigap seseorang menahan tangga yang oleng walau harus meringis kesakitan. Sakit tangannya terinjak oleh mandornya yang gagah berani itu.

"Pak Agus! Sejak kapan di situ?" erang Adi jengkel berpadu rasa lega. Lega rasanya lebih ke arah bertemu orang daripada lega karena selamat dari mulut jurang.

"Saya liat Bapak sendirian. Pak Adi kenapa betulin ginian segala?" ucap pria paruh baya itu khawatir.

"Hadeh, Pak Agus ini. Nyapa dulu ,kek," sebegitu kacaunya perasaan Adi sampai lupa berterima kasih. "Saya kebetulan lewat, sekalian saja membetulkan lampu jalan ini. Pak Agus dari mana?"

"Dari pabriklah, Pak. Pak Mandor tahu waktu, dong! Bapak bikin yang lain jadi gak enakkan. Nanti kalau Bapak sudah punya anak-istri, waktu adalah uang. Semua waktu kalau tidak menghasilkan uang mendingan buat anak dan istri di rumah. Mereka menunggu kebersamaan." Pak Agus kenal betul bagaimana mandor muda satu ini bekerja dan seperti sudah menunggu waktu yang tepat untuk berbagi petuah.

Lihat selengkapnya