Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #12

Satu Suro

Sebelum jam bandul ruang tengah berbunyi, pertanda seluruh karyawan kantor berkumpul di ruang makan untuk briefing pagi dan sebelum ruangan itu menjadi sesak oleh keberadaan mereka, Na menunda kegiatan mandinya. Ia berencana mengais makanan di dapur. Perutnya butuh asupan. Setidaknya roti meski tidak dengan isian selai bluberi kesukaannya.

Ketika Na muncul dari koridor, ternyata sudah banyak karyawan tengah menunggu briefing dimulai. Mereka berkelompok dengan masing-masing kubu menghuni setiap sudut-sudut ruang tamu. Kubu di bawah tangga sibuk dengan gadget-nya masing-masing, kadang diselingi dengan obrolan singkat dan sapaan hangat. Adi terlihat menjadi bagian dari mereka. 

Sementara kubu di halaman depan rata-rata dihuni karyawan yang berusia paruh baya. Mereka paham manfaat sinar matahari pagi untuk tulang mereka yang menua. Satu lagi, yakni kubu pinggir tembok. Mereka paling membuat Narah merasa tidak nyaman. Mereka mengamati setiap langkah kakinya seraya berbisik-bisik. Na tidak tahu obrolan apa yang kubu tembok itu gali dari dirinya.

Na melipir halus, beringsut di balik rak-rak dapur. Mati-matian ia berusaha agar pergerakannya tidak mencolok. Meja bar yang lumayan tinggi dengan lemari di atasnya sebenarnya sempurna untuk arena petak umpet. Itulah sebabnya mengapa Sabastian dahulu memilih tempat ini untuk bersembunyi. Terlihat cangkir-cangkir ukuran 200 mili dijajar di atas permukaan bar. Kurang lebih hanya ada lima cangkir, berarti hanya karyawan tertentu yang dijatah. Pada tiap-tiap gelas, Minanti telah menyesuaikan isian serta takaran gula dengan kebiasaan masing-masing karyawan. Semua sajiannya berupa teh dan kopi.

Kedatangan Harto, anak Pak Bas yang bekerja di bagian produksi hendak menyapa Narah sekaligus merangkap kurir cangkir-cangkir itu membantu bapaknya. Dahulu, Harto baru berumur lima tahun saat Na pindah ke Belanda. Harto menangisinya kalau itu. Sedari kecil, Harto memang tipe anak yang perasa dan cenderung lebih bahagia bermain dengan anak-anak perempuan. Mereka sering bermain boneka bersama. Harto suka boneka Susan, sedangkan Na lebih suka boneka berkaki panjang. Urusan mainan, Na dan Harto punya selera yang berbeda. Itu menjadikan mereka nyaris tak pernah berkelahi. 

Kalau ditamat-tamati, semua mungkin setuju kalau sebenarnya Harto itu tampan. Kulitannya resik dan tubuhnya tinggi seperti bapaknya. Sekilas tentang Pak Bas, kita akan merasa ada yang ganjil dengan Pak Bas yang berhidung mancung, berperawakan tinggi tegap meski kulitnya coklat; itu pasti karena pigmen kulitnya menyerap panas matahari saban hari. Terlebih Pak Pas beserta keluarganya mendiami salah satu rumah dinas yang notabenenya hanya diperuntukan untuk para petinggi pabrik dan perkebunan, sedangkan Pak Bas hanyalah seorang tukang kebun. 

Tak banyak yang tahu kisah hidup Pak Bas. Sebatas keluarga Na yang tahu bahwasanya Pak Bas memiliki hubungan kekerabatan jauh dengan Tuan Willem. Pendiri pabrik yang pertama adalah bapak biologis Pak Bas, jauh sebelum Tuan Bill dan Nyonya Leri Rickloff mengambil alih pabrik dan perkebunan. Dalam budaya kolonial, anak yang lahir dari rahim babu tidak relevan masuk silsilah keluarga kolonial. Anak-anak campuran yang keluar dari rahim gundik seperti Pak Bas, tetap dianggap sebagai kaum subaltern. Hal demikian membuat Pak Bas sulit mengklaim harta benda peninggalan bapaknya.

"Hai, Mbak Narah!" Harto menyapa Na dengan ceria. Dari kejauhan saja dia sudah berteriak kegirangan melihat Narah. Semua orang jadi mengarah ke konter dapur, termasuk Adi.

"Hai, To! Bagaimana kabar Pak Bas?"

"Bapak sehat, Mbak. Puji Tuhan."

"Senang mendengarnya, To. Kamu bekerja di bagian apa?"

"Bagian pengeringan. Lama sekali kita tidak bertemu. Harto rindu. Mbak Narah, kalau ke Belanda lagi ajak-ajak Harto, yah? Harto pengen liburan." Harto dengan suaranya yang feminim menambatkan tubuhnya di meja dapur. Gelagatnya diendus oleh Minanti.

"Kamu pengen ikut? Mainnya hujan sama panas saja besoknya alasan gak masuk kerja. Sakit. Sok-sokan nyuruh bapakmu izin ke Pak Mandor," sindir Minanti.

"Sampeyan iku, Mbak. Ngendi gelas wenehe Mas Adi?" Harto cemberut.

"Teh tutup warna hijau. Jangan keliru. Mas Adi itu sukanya teh anyep."

"Adi gak suka manis?" telisik Na memandang Adi dari bar dapur.

Harto dan Minanti saling lirik. Apabila anak majikan mereka kepincut Pak Mandor itu wajar. Figur Mandor mereka memang memikat. Banyak karyawan wanita yang mengidam-idamkannya, dalam tanda kurung, itu sebelum mereka tahu watak sang mandor saat sedang bekerja. 

Jam bandul berdenting. Seluruh karyawan kantor merapat di dekat tangga. Bu Inggrid, Mandor Kebun, Kepala Gudang, Mandor Pabrik,  dan Kepala Administrasi berdiri memimpin pertemuan pagi ini dengan dikelilingi karyawan-karyawan yang diberi akses keluar-masuk ke rumah utama. Yah, tak sembarang karyawan boleh masuk. Karyawan-karyawan semacam itu biasanya punya jabatan serendah-rendahnya  menjabat sebagai kepala bagian. 

Na dengan anteng tertahan di dapur selama pertemuan itu berlangsung. Dirinya menikmati roti selai bluberinya seorang diri.

"Kukira Mbak Minanti tidak punya selai bluberi," kata Na setengah berbisik.

"Ibu ingat kesukaan sampean. Tadi subuh-subuh Ibu sampai menyuruh Pak Bas membelikan selain bluberi. Kalau Mbak Na biasa sarapan dengan roti isi bluberi, nanti saya akan siapkan setiap hari."

Na tersenyum. Ia meleleh mendengar penyampaian Minanti tentang ibunya terhadapnya. Kemudian semua mata yang terhimpun di ruang tengah menatapnya serentak. Percakapannya dengan Minanti yang sedang mencuci piring membuatnya mengabaikan materi briefing orang-orang itu. Menyadari banyak mata kini tertuju padanya, Na mengelap mulutnya. Wajahnya mengekspresikan tanda tanya.

"Ibu tadi sedang membicarakan tentang sampeyan," bisik Minanti yang semakin sibuk di wastafel.

"Perkenalkan putri tunggal saya Narah Van Rijckloff. Dia yang nanti akan melanjutkan pabrik dan perkebunan. Sudah mandi, Nduk?" Inggrid berkata dengan menunjuk putrinya.

Na menggeleng samar. Na belum mandi. Pipinya masih menggelembung penuh roti. Walau tak tahu apa Na perlu merasa malu atau tidak, ia tetap berusaha tersenyum menyapa sekumpulan orang-orang di ruang tengah itu. Hanya Adi seorang yang kelepasan meringis. Karyawan-karyawan lain mati-matian menahan bibir mereka demi menghargai anak majikan.

"Pergilah mandi!” kata Inggrid. “Setelahnya, mulailah belajar dari Pak Hilmi, Adi, Elijah, dan Jaka. Setiap hari setelah mandi tentunya, ikuti mereka, pelajari pekerjaan mereka. Lebih cepat lebih bagus, kamu bisa menggantikan Mama. Ketika hari itu tiba, kita segera mengadakan rapat besar bersama para investor," perintah Inggrid pada putrinya sambil menunjuk ke masing-masing orang yang dia sebutkan.

"Mama tidak bilang apa-apa sebelumnya," gumam Na menggaruk kepalanya yang mendadak gatal, “siapa saja mereka, Mbak Min?”

“Pak Hilmi itu mandor kebun, Elijah dan Jaka adalah kepala administratur dan kepala gudang. Kalau Mas Adi, yah Mandor Pabrik.” Minanti berbisik menerangkan.

“Oh ....” Kalau cuma Adi, Na sudah tahu. 

"Mbak Na butuh sunscreen kalau jadi ikut Pak Hilmi ke perkebunan?" tanya Minanti masih setengah berbisik seperti siswa yang bertanya contekan.

Lihat selengkapnya