Na mengawali kiprahnya belajar dari mandor kebun, Pak Hilmi. Rupanya, Na adalah tipe orang yang tidak bisa langsung nyaman dengan orang baru. Dia juga tidak dididik serba sendiri oleh paman dan bibinya di Belanda. Alhasil, dia meminta Adi menemaninya.
Adi mungkin tidak secara terang-terangan menyatakan bahwa dirinya merasa direpotkan, walaupun kenyataannya jelas sekali Adi sangat direpotkan. Diantaranya Narah menemui Pak Hilmi, yang ternyata Adi malah terjebak berkelana di kebun teh bersama mereka.
Terlihat gelombang wisatawan mulai berdatangan. Bus-bus besar membawa rombongan study tour masuk. Perkebunan menjadi yang pertama dihinggapi para murid dan para pelancong. Ada yang sudi merangsek sampai ke tengah-tengah kebun untuk menghasilkan foto terbaik, ada yang berkeliling dengan menyewa kuda, ada yang berpiknik bersama keluarga besar, ada pula pasangan pengantin yang tengah melakukan sesi pemotretan di tengah kebun.
Paras molek Na menarik banyak perhatian dari mereka. Adi dan Pak Hilmi serasa mengawal artis film. Sepanjang perjalanan, Pak Hilmi memaparkan pendapatan dari wisatawan tidak main-main. Ekowisata merupakan konsep yang bagus di tengah tren wisata saat ini. Bu Inggrid sudah menggagaskan pembangunan penginapan. Implementasinya hanya menunggu waktu.
"Menerapkan konsep bangunan kolonial pasti menarik," cetus Na, matanya menyapu keramaian pengunjung.
Tidak bisa terus begini. Harus ada yang mengawasi kegiatan produksi dan segala macamnya di pabrik. Adi melakukan kontak mata dengan Pak Hilmi. Pria tua itu langsung setuju dengan apa yang dipikirkan oleh Adi. Adi lalu membelokan setengah perjalanan mereka.
Pak Hilmi mengerti tujuan Adi menyasarkan anak majikannya, yang seharusnya mengarah ke titik kumpul para pemetik teh jadi berbelok arah kembali ke pabrik. Sama seperti Adi, Pak Hilmi juga punya kewajiban lain di kebun yang kudu ditunaikan dan dilaporkan di akhir jam kerja. Memangnya mereka rela lembur tanpa bayaran?
Adi sukses menggiring Na ke pabrik dan meninggalkan perkebunan, sementara Pak Hilmi pamit ke tempat lain. Peraturan tertulis di pintu pabrik menjelaskan standar higienis yang wajib dipatuhi sebelum mencelupkan diri ke dalam pabrik. Yang mana, siapa pun itu, termasuk para wisatawan harus mengenakan celemek, masker, dan topi seperti yang dikenakan para karyawan produksi.
Tampilan Adi sedikit berbeda dengan karyawan pabrik lainnya. Dirinya selaku mandor pabrik bebas menggunakan masker dan topi keluaran toko. Gayanya yang kerap memakai masker buff dan topi hitam membuatnya terlihat senjang dan menjadi seseorang yang paling mudah ditemukan saat dicari.
Na mendekatkan hidungnya, membaui celemek. Ekspresinya dapat dipahami. Orang-orang eksklusif macam Na pasti meragukan kebersihan celemek dan topi.
“Masker dan topi setiap hari dicuci. Sanitasi di dalam pabrik benar-benar diperhatikan, kok,” sela Adi menaikkan masker buff-nya, menutupi hampir seluruh wajahnya, menyisakan mata dan alis tebalnya.
Na mengangguk, tetap memakai topi dan celemek biarpun digenangi keraguan. Benar saja, topi dan celemek pabrik bau laundry, sementara maskernya bisa sekali pakai. Sudah selesai dengan kostumnya, Na membuntuti Adi menaiki tangga. Mandor itu tidak akan mengajak anak majikannya blusukan ke mesin-mesin pabrik yang kesemuanya berukuran besar dan raksasa. Adi hanya akan menjelaskan poin-poin penting dari lantai dua.
Beberapa wisatawan tampak sedang melihat-lihat proses produksi teh dari lanjur wisatawan. Mereka sangat tertarik mengamati bagaimana buruh dan karyawan pabrik bekerja menggunakan mesin-mesin besar untuk menghasilkan bubuk teh berkualitas.
"Berapa total karyawan pabrik kita, Di?" tanya Na. Ia harus berteriak untuk menyaingi suara berisik dari mesin pabrik.
"Kita punya 500 karyawan pabrik," jawab Adi.
“Berapa jumlah karyawan perempuannya?"
Pertanyaan Na satu ini agak mengejutkan Adi. Adi teringat pembahasan mereka kemarin malam. Soal mantan pacarnya yang berponi.
"Maksudku tidak seperti yang sedang kamu pikirkan." Na meluruskan pertanyaannya.
"150 orang dibagi dua sif, Na."
"Aku tidak setuju perempuan dipekerjakan malam hari." Tatapan Na menelusuri satu per satu pekerja perempuan. Mereka semua tampak serupa dengan masker, topi, dan celemek warna putih.
"Kamu benar, Na. Tapi laki-laki di sini ingin kesetaraan sebagaimana para perempuan tuntut di luar sana."
Na mengernyit. Adi terdengar seperti sedang berorasi membela dirinya.
Di pabrik semua berjalan mulus. Mulai dari lusinan karung teh dari para pemetik masuk ke ruang sortir pertama. Daun teh yang diterima, dipilahi oleh gadis-gadis desa dengan upah harian. Mereka memisahkan pucuk-pucuk teh dari benalu dan kotoran lain yang ikut terangkut.
Daun teh kemudian dikirim ke ruang pelayuan, di mana daun-daun itu dihamparkan di atas mesin yang berjalan maju menuju proses penggilingan. Sekitar 10 unit mesin penggiling bekerja optimal hari ini. Sebagian hasil penggilingan akan dioksidasi menjadi teh hitam, sisanya dijadikan teh hijau. Pada ruang selanjutnya, teh-teh dikeringkan dan kembali disortir.