Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #15

Rekanku

Kecewaku melebur di atas kasur. Peri-peri kantuk perlahan terbang menghampiriku. Hinggap di ujung-ujung bulu mata. Mereka bergelayutan, memaksaku memejamkan mata, memaksaku melupakan persoalan resign yang berlarut-larut. Namun, aku tak pernah benar-benar lelap dalam tidurku. Aku terbangun tidak lama kemudian. Jiwaku bangkit berjalan ringan di udara. Aku dapat melihat ragaku meringkuk di dalam selimut, menyisakan kepalaku. Tubuh fisikku itu memang butuh istirahat. Beristirahatlah! 

Ini kehidupan lainku. Hidup sebagai jiwa yang berkelana dalam dimensi empat yang terasa seperti mimpi. Aku menyebutnya mimpi karena sebetulnya setiap kali aku berkelana, aku meninggalkan tubuhku yang tak berdaya di tempat tidur. Tapi sebagian orang menginterpretasikan fenomena mimpi berbeda dengan mimpi bagi kebanyakan orang. Istilah khususnya astral projection. Bagian ini tidak bisa kita hubungkan dengan fisika. Jika astronot harus meluncur jauh hingga mencapai lubang hitam, dalam kajian esoterik tidaklah sekomplek itu. Aku tak tersulut mencari tahu lebih dalam tentang konsep proyeksi astral. Sedikit yang kupetik dari esoterime, apabila dimensi kasat atau dimensi ketiga membutuhkan tubuh fisik untuk eksis, maka tidak dengan dimensi sesudahnya. Tubuh kita terjebak karena terikat ruang di dimensi ketiga, dan hanya mampu melihat dimensi di bawahnya. Begitupun dengan dimensi di atas kita, yaitu dimensi keempat dan seterusnya. Untuk mengakses kehidupan di dalam dimensi-dimensi itu, berinteraksi dengan energi-energi yang telah menjelma, kita perlu mengastralkan diri. Jiwa bisa melakukan itu dengan melepaskan diri dari tubuh fisik.

Bermula saat aku masih balita. Umay saat itu tengah menidurkanku dalam gendongannya. Aku keluar dari badan mungilku dan melompat dari gendongan Umay. Lalu bermain bersama hantu-hantu kecil yang ada di rumahku. Karena aku masih kecil, aku tidak banyak memusingkan mengapa Umay ada di mana-mana dan melakukan aktivitas berbeda-beda. Kupikir senormalnya juga mengalami apa yang juga kualami, melihat apa yang juga kulihat, sehingga tidak pernah kuceritakan pada siapa pun. Selama tidak ada yang bertanya, aku yang irit bicara ini tidak punya alasan mengungkapkannya.

Sepanjang tubuh astralku bolak-balik antar dimensi, baru ada satu orang yang kukenal memergokiku. Dia mempunyai bola jiwa berwarna biru tua. Orang itu adalah Paman Manuku. Sedikit sekali jiwa dengan warna biru tua berinkarnasi menjadi manusia. Paman adalah salah satunya dari sedikit sekali itu. Jiwa warna biru tua menandakan level tertinggi dari semua warna-warna jiwa.

Tepatnya momen itu terjadi di malam pertama Paman membawaku ke panti asuhan. Ia melihat jiwaku yang berwarna bening seperti gelembung sabun berkelana dari pintu ke pintu rumah panti. Warna jiwaku menandakan jiwa muda yang baru diciptakan Tuhan. Selugu itu aku dilahirkan ke dunia tanpa pengalaman masa lalu.

"Apa kamu tahu di mana kamu berada?" Sinar mata Paman Manu menyampaikan rasa khawatir dan tak luput rasa takjub kepadaku kala itu.

"Dalam mimpi." Dengan polos aku menjawab.

"Lembut!" panggilnya meraih bahuku, "kau harus waspada saat lintas dimensi. Lebih dari setengah makhluk astral itu jahat, tidak lebih dari seperempatnya baik, sisanya netral. Jangan meninggalkan tubuhmu terlalu jauh dan jangan bertamu ke mana pun kalau tidak diundang, mengerti?"

Paman lalu mengalungkan sesuatu di leherku. Aku tidak dapat memastikannya karena benda itu terbenam sangat cepat di dadaku. Paman berkata lagi, "Ini untuk memagarimu. Tapi, kamu tetaplah berhati-hati!"

Kesepakatanku dengan Paman tidak mencakup kalau aku harus meredam rasa penasaranku juga. Aku selalu penasaran pada pabrik dan perkebunan teh secara kacamata astral, yang katanya angker, mengerikan, dan berbahaya itu.

Tekadku bulat menemui Sabastian. Melewati kebun sawi, menerabas hutan, aku kembali ke portal yang kapan hari kumimpikan bertemu tujuh hantu anak kecil dan Sabastian. Yah, portal yang dekat tanjakkan itu. Aku dan Sabastian sempat berikrar mengintip komplek pabrik dan perkebunan bersama. Hanya mengintip. Kami berdua sudah berjanji demikian pada gadis bergaun ungu.

Anak lelaki berambut coklat itu duduk di tiang portal. Kakinya mengayun-ayun, terlihat mulai jenuh menungguku. Wajahnya langsung berseri begitu melihatku keluar dari hutan.

"Apa kabar, Newbie?" sapanya menyebalkan.

Aku melengos, berjalan cepat, mengabaikan sesi tegur sapa dengan bocah sok tua itu. Sabastian susah payah mengejarku dengan langkah kecilnya. Aku tertawa dalam hati.

"Kamu sudah bicara pada kakakku?"

"Tidak mudah. Kakakmu adalah pewaris pabrik dan perkebunan. Banyak yang memanfaatkan suasana sepi untuk mendekatinya. Aku mungkin hanya punya sedikit kesempatan untuk bicara dengannya. Tunggulah sampai kesempatan itu datang padaku, maka akan kumanfaatkan sedikit itu untuk menyampaikan pesanmu.”

"Kakakku pasti rindu privasi." Sabastian mengingat betul perangai kakaknya yang menikmati kesendirian.

Lihat selengkapnya