Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #16

Organoleptik

Langit masih subuh ketika aku mengunci gembok halaman belakang rumahku dari luar. Kuikat kencang tali sepatuku, kututup seleretan jaketku, dan mulai berlari-lari kecil. Saat pagi sedang berkabut tipis seperti hari ini, aku keluar untuk jogging. Tidak di taman, jalan aspal, atau jalan trotoar, tapi di hutan. Belakang rumahku berhadapan langsung dengan hutan. Aku menyukai nuansa tenang hutan yang teduh, sepi, dan segar.

Kuarungi jalan setapak hutan yang dibuat oleh para buruh pemetik teh dan warga sekitar. Para buruh suka sekali memotong rute agar lebih cepat sampai ke kebun. Karena kerap dilalui, jalan ini jadi ramah dipijak. Kakiku bebas dari ranting-ranting yang menjulur tajam. Kadang aku bertegur sapa dengan buruh pemetik teh yang kebetulan lewat.

Mereka berangkat memetik teh dengan berjalan kaki sambil menjinjing keranjang-keranjang anyaman di punggung, tak lupa topi caping di atas kepala. Jalan ini sepertinya harus segera diberi sebutan sangking terkenalnya jalan ini oleh para buruh pemetik teh dan juga oleh karyawan sepertiku yang tidak suka memutar jalan meski jalan itu beraspal mulus.

Para buruh pemetik berangkat dari rumah pukul lima pagi. Mereka mulai memotel pucuk-pucuk teh dari jam enam pagi sampai dua belas siang. Pada jam tersebut, kualitas udara masih baik dan belum terkontaminasi polusi. Pemilihan waktu dalam proses pemetikan teh dapat memengaruhi mutu dan kualitas daun teh.

Setengah jam berlari, aku keluar dari payung hutan dan bertemu jalan aspal. Langit sudah terang. Kendaraan terlihat berkelebatan di jalanan itu. Tanpa terduga aku melihat si pewaris lari dengan pakaian olahraga yang lumayan terbuka, tipis, dan sesak. Dia memakai celana gym short dan bra sport. Na mungkin tidak menyadari kalau kami tidak terbiasa melihat pemandangan fashion seperti itu di jalanan. Orang-orang pada melihatnya heran. Sebenarnya aku agak prihatin kalau tidak menyampaikan keanehan ini padanya.

Mumpung Na sedang sendirian. Ini waktu yang tepat untuk mendekatinya dan mengatakan pesan Sabastian. Aku mengikutinya dari belakang, berusaha menyamai kecepatan. Karakteristik jalan pegunungan selalu berkontur naik dan turun. Lumayan ngos-ngosan. Kudengar auman mobil menanjak. Sembari memastikan siapa yang lewat, kupelankan lariku.

Sudah kuduga, suara deru mobil yang familiar di pendengaranku itu adalah mobil Adi. Adi menghentikan laju kendaraanya tepat di depan Na. Aku segera merangsek masuk ke pinggiran hutan sebelum ketahuan. Kuamati mereka seraya bersembunyi di belakang batang pohon pinus.

Adi yang turun bicara sebentar dengan si pewaris. Tak berangsur lama setelah itu, dia menawarkan jaketnya untuk Na kenakan sementara. Mereka berdua lalu masuk ke dalam mobil. Jam menunjukan pukul tujuh saat Adi mencomot kesempatanku bicara dengan Narah. Ini amat kusayangkan. Molor lagi janjiku pada Sabastian.

Sedari subuh Minanti sibuk di dapur rumah utama menyiapkan sarapan. Karyawan belum ada yang melangkahi pintu rumah utama. Karyawan administrasi baru akan memenuhi ruang tengah, nanti pada jam sembilan. Mesin absensi adalah benda terbising sebelum jam bandul raksasa berdenting dan menggetarkan dinding-dinding, menandakan jam masuk kerja bagi karyawan kantor. 

"Jaket siapa, Mbak?" Minanti melirik kedatangan Na dari dapur.

"Jaket Adi. Setelah dicuci taruh saja di kamar, nanti akan kuberikan sendiri padanya."

"Oalah, Mbak …. Dingin, ya?" Minanti meringis. Tadinya dia mau memberitahu soal pakaian olahraga Na yang kelewat terbuka. Minanti belum sempat menasihati, eh, majikannya keburu keluar.

Na tidak mendapati roti selai bluberi di meja makan. Ibunya berpesan pada Minanti kalau Na harus belajar sarapan nasi. Seonggok nasi terakhir Na habiskan. Sebentar lagi jika masih saja tak terbiasa sarapan nasi di pagi hari, dinding lambungnya akan menggerutu, lalu perutnya menjadi mulas.

"Mama ke mana?"

"Ibu pasti ruwatan di kamar. Mungkin Ibu sarapannya nanti." Minanti berinisiatif mengantar makanan Bu Inggrid di meja kerjanya. Siapa saja paham hobi klenik Bu Inggrid. Ruwatan Bu Inggrid biasanya berupa mandi kembang tujuh rupa di dalam bath up. Minanti hafal karena dia selalu membersihkan ceceran bunga-bunga di kamar mandi setiap hari-hari tertentu dalam penanggalan Jawa.

"Mbak Min, bukankah dulu di pekarangan melati ada tulisan dilarang memetik bunga melati. Sekarang, kok, gak dipasang lagi?" Na mengutarakan ingatannya. Mudah-mudahan Minanti sempat mengetahui kalau tulisan semacam itu dulu pernah terpampang di taman melati. 

"Masalahnya wisatawan, Mbak. Semisal dikasih peringatan malah banyak dilanggar. Sok-sok gak percaya mereka, huh! Pak Bas udah sering negur."

Minanti mengenang sebuah kisah nyata yang pernah terjadi. Sekelompok turis tergoda menuai bunga-bunga melati di pekarangan rumah utama, padahal papan peringatan telah dicanangkan. Pak Bas mengaku lalai. Dia berada di kandang kuda ketika turis-turis itu membawa pulang hasil petikan mereka. Lalu mereka menghadapi nasib sial. Bus yang membawa rombongan itu pulang terperosok ke dalam jurang. Untungnya mereka semua selamat, meski sebagian dari mereka menderita luka-luka yang cukup serius.

"Mbak Min, betah-betah di sini, ya." Na sedikit melipur pembantu rumah tangganya.

"Bu Inggrid orangnya baik, Mbak. Saya bisa betah-betahin daripada bayar mahal."

"Loh, perusahaan kasih pinalti?"

"Saya dengar-dengar ...," Minanti terlihat enggan bercerita, "dengar-dengar loh ini," ulang Minanti dibayangi keraguan.

"Dengar-dengar apa?" Na menekan nada serta memusatkan pendengarannya.

Minanti terdiam barang beberapa detik.

"Mbak Min?" Na menyadarkan lamunan Minanti.

"Oh. Tunjangannya besar, Mbak. Betah-betahin saja sampai pensiun." Jelas sekali Minanti sedang menutup-nutupi sesuatu.

Pintu berderit. Pak Bas membuka bilah pintu utama lebar-lebar. Karyawan yang datang kepagian sudah boleh masuk. Di tangan kirinya membawa grendel kunci. Semua kunci pintu pabrik, gudang, dan portal-portal kebun, dibawa dan disimpan oleh Pak Bas. Usai memberi salam hangat kepada anak majikannya, Pak Bas pamit pergi.

Tanpa berselang lama dari waktu Na menggigit buah pertamanya usai membalas sapaan Pak Bas, Elijah datang. Sepatu hak tingginya bersuara formal. Dia kemudian mendaratkan ibu jarinya di mesin absensi, dekat ruang tamu, tepat di atas mesin fotokopi yang selalu berisik pada jam-jam kerja.

"Selamat pagi, Mbak Narah! Jangan lupa nanti malam datang, yah!" Tampilannya parlente, bicaranya asyik, padahal mereka baru kenal kemarin.

"Pagi, Elijah! Nanti aku datang bersama Adi," balas Na memandangi Elijah dari ujung rambut sampai ujung sepatu kepala administratur itu.

Rambut panjang bergelombang indah yang kerap keluar-masuk salon menyingsing ke satu bahu Elijah. Pakaiannya, kemeja lembut yang modis dengan celana panjang diatas mata kaki. Senyuman Elijah sopan dan elegan. Orang-orang cenderung lebih menghargai orang berdasar tampilan yang seperti Elijah ini. Apa kabar dirinya yang telat mandi dan masih bau keringat?

"Mbak Minanti, tolong nanti kalau orang-orang pada kumpul di sini, bilang saja, pagi ini tidak ada briefing!" Elijah berpesan pada Minanti, lalu naik ke atas.

Lihat selengkapnya