Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #18

Bunga Matahari

"Apa yang kamu katakan pada mandor pabrikku, Yok?" Aku mendatangi Udoyok, prihatin dengan nasibku besok di tempat kerja.

"Aman, Lembut. Dia tidak akan melakukan apa pun kepadamu. Kau tak lihat sikapnya tadi? Dia cemburu. Orang menjadi bodoh jika cemburu," katanya pelan. Aku mencoba tak peduli.

Makanan berdatangan ke meja dua penyewa malam ini. Kami menikmati aneka masakan ikan laut, kerang-kerangan, rumput laut, dan minuman sari buah-buahan. Semua makanan ini ampuh melipur kami dari ketegangan barusan.

Petir menggelegar. Hujan deras mengguyur di luar jendela. Beberapa tahun terakhir, ozon terus terkikis dan cuaca jadi suka bercanda. Negara ini menyumbang polusi udara terbesar di dunia. Namun, permasalahan itu selalu gagal mengambang di permukaan berkat berita perang partai politik yang memuakkan setiap tahun-tahun pemilu digelar. Paru-paru dunia ada di negeri ini, dan itu membuat pemimpin negeri seolah-olah menutup mata, padahal laju deforestasi demikian gesitnya.

Udara segar menjalar masuk memenuhi rumah makan lewat jendela-jendela yang terbuka. Ini ketiga kalinya suara lonceng pintu rumah makan terdengar lagi. Seseorang masuk membawa sekuncup payung hitam yang basah.

"Bukankah pria itu investor perusahaan?" Pak Hilmi menyipitkan matanya. Mata tuanya menjadi kurang berguna tanpa kacamata.

Orang-orang di meja Elijah menoleh memastikan penglihatan Pak Hilmi. Lenggang sejenak di meja Eljah dan kawan-kawannya, sedangkan meja anak-anak panti bersorak menyambut Paman. Paman dengan payung hitamnya yang selalu basah melambai kepada anak-anak yang bersorak sorai dengan senyum lebar.

"Kamu mengundangnya, El?" Adi akhirnya bergumam.

Elijah menggelengkan kepala. “Kalau aku mengundangnya sekalian saja aku mengundang Bu Inggrid. Malam ini bukannya menjadi pesta ulang tahun tapi rapat kerja.”

"Kalau aku tidak keliru, Tuan Manuku punya yayasan panti asuhan di tengah kota. Aku mendengar sekilas dari Iriana." Pak Hilmi merentangkan informasi di atas meja.

"Iriana?" gumam Na. Pandangannya membeku ke arah Manuku. Bukankah orang itu adalah pria tampan yang ditemuinya di gerbong kereta? Yah, dia orangnya. 

"Sekarang aku mengerti mengapa Iriana tidak ragu resign. Karena dia dekat dengan Tuan Manuku," jawab Pak Hilmi semakin yakin.

"Apa tadi mereka bilang dia investor perusahaan?" Na masih saja terpaku. Maksud hati mengatakan itu pada dirinya sendiri, Elijah membalas perkataanya.

"Besok aku akan memberitahumu semua investor perusahaan kita. Salah satunya adalah Tuan Manuku ini."

"Astaga Mas Adi, bagaimana ini?" Harto berbisik cemas. Takut di antara anak-anak panti itu ada yang mengadukan bentrokkan barusan pada Tuan Manuku.

"Siapa yang lebih bermasalah dariku?" Adi memelotot pada Harto. Kenapa pula pikiran kekanak-kanakan semacam itu muncul di kepala Harto?

"Eh, saya cuma tanya." Harto ciut.

Manuku meletakkan payung hitamnya ke pinggiran pintu. Hujan yang mendadak deras, mendadak pula reda. Anak-anak panti meneriaki paman mereka dengan penuh keceriaan. Raden melejit entah habis dari mana, langsung memeluk Manuku.

"Aku baru tahu pemilik menyewakan rumah makannya pada dua orang malam ini." Manuku tersenyum serasa semesta memberinya kejutan. Kejutan bertemu perempuan dengan bola jiwa berwarna ungu yang pernah ditemuinya di dalam kereta.

"Mereka datang lebih dulu," kata Sena, sangat terlihat tidak begitu menyukai orang-orang di meja Elijah.

"Selamat malam Tuan Manuku! Saya tidak menyangka kita bisa bertemu di luar rapat umum," sambar Elijah ,berjalan menjemput Manuku di dekat pintu masuk.

"Selamat malam, Elijah. Aku juga sama tidak menyangka bertemu dengan kalian. Apa ini acara perusahaan?"

"Hanya acara makan malam biasa, Tuan." Elijah malu mengatakan terang-terangan kalau sebenarnya ini acara ulang tahunnya.

"Wah, kebetulan sekali," ucap Manuku.

"Salah satu anak panti Anda adalah karyawan produksi kami. Bergabunglah bersamanya nanti, Tuan," celetuk Elijah yang mahir beramah tamah kepada orang-orang sekelas Paman.

 "Lembut? Dia putriku." Manuku mengoreksi ucapan Elijah.

Elijah meringis manis. Hanya saja Manuku tampak terlalu muda untuk menganggap semua anak-anak panti itu adalah anaknya.

Lihat selengkapnya