Lina menulis "pamit" di grup karyawan pabrik. Dia juga mengucapkan permintaan maaf pada seluruh rekan pabrik jika selama bekerja dirinya kelepasan kata yang kurang mengenakkan. Kami semua membalas kalimatnya dengan salam perpisahan, kecuali Pak Adi. Selepas Lina keluar dari grup obrolan, Pak Adi mengundang masuk nomor baru. Mbak Karim memberitahuku kalau nomor tersebut ialah pegawai anyar yang menggantikan Lina.
Pada pagi harinya saat aku terbangun, usai malam memabukkan pertama kali dalam hidupku, aku mendapat kabar Lina tewas tertabrak truk bermuatan kerikil. Kabar itu sontak membolongi dadaku. Kondisinya mengerikan. Hanya beberapa orang yang berani memastikan bahwa jenazah yang dibawa pulang dari rumah sakit itu benar dirinya.
Ketika kabar itu sampai kepadaku, Mbak Karim dan aku segera menuju ke rumah duka. Sesampainya di sana isak tangis mendengung di telinga kanan dan telinga kiriku tiada henti. Sementara para tetangga sibuk mengurusi pemakaman, keluarga masih terus menangis. Aku dibantu Mbak Karim secara bergantian memperdengarkan ayat-ayat kitab suci di samping jenazah. Tak seorang pun dari bapak, ibu, maupun adik almarhum sanggup melafalkan bacaan kitab. Mereka masih belum menerima kenyataan. Bapak Lina hanya seorang juru parkir di pasar, ibu Lina tidak bekerja, sedangkan adik Lina masih menempuh pendidikan sekolah menengah pertama. Sebagai sandaran keluarga, kepergian Lina yang begitu mendadak merupakan pukulan berat bagi keluarga.
Orang-orang silih berganti menyampaikan duka mendalam mereka pada keluarga Lina dan tak luput kepadaku dan Mbak Karim. Aku, Lina, juga Mbak Karim sebenarnya hanya teman biasa, tapi semua orang menilai kami teman dekat. Padahal Lina tidak tahu apa pun tentang hobiku, begitu juga sebaliknya. Terlebih Mbak Karim—dia telah berkeluarga. Rencana pengunduran diriku dan Lina itu kebetulan adanya. Aku lebih dulu melayangkannya, nyatanya Lina yang lebih dulu mencapai kesepakatan dengan Pak Adi.
Jenazah rekanku sudah rapi terbaring di ruang tamu, berselubung kain kafan. Wajahnya ditutupi, kata pemandi jenazah wajah Lina sudah hancur, mengerikan, dan tak perlu diperlihatkan. Lina akan dikebumikan pagi ini. Keranda mayat menunggu di teras depan. Kemudian terdengar sebuah mobil menderu memasuki halaman. Mbak Karim menyenggolku keras dan intensif sampai aku mau menoleh ke jendela. Aku menuruti kemauannya. Terlihat Pak Adi dan Bu Elijah turun dari mobil. Mereka utusan dari pabrik dan perkebunan untuk menyampaikan belasungkawa. Alih-alih pakaian warna hitam, Pak Adi dan Bu Elijah memakai seragam kerja.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam sambil terus mengaji seraya menunggu jenazah diangkut dan disalatkan di masjid. Hingga kudengar pekikan lantang ibu Lina mengamuk. Aku baru menyadari, ternyata teriakan itu untuk mengusir Pak Adi dan Bu Elijah dari rumah duka.
"Bawa pergi semua uang ini!"
Puluhan lembar uang ratusan ribu berceceran di samping jenazah. Hampir saja jenazah Lina bermandikan uang. Pak Mandor berlutut di bawah kaki ibu rekanku yang air mukanya membengis. Ibu rekanku seperti melihat pembunuh anaknya muncul. Aku bertatap-tatapan dengan Mbak Karim. Kami tertegun bercampur bingung dengan niat baik Pak Adi dan Bu Elijah yang malah berujung kena maki.
Bu Elijah yang tak ikut bersimpuh menarik-narik lengan seragam Pak Adi. Mengajaknya lekas menyudahi saja, tapi Pak Adi justru terhantam rasa bersalahnya seorang diri. Satu demi satu uang ratusan ribu itu dipungut untuk selanjutnya dimasukkannya kembali ke dalam amplop dan ditinggalkan di bawah kaki ibu rekanku. Jumlahnya lumayan banyak. Lebih dari cukup untuk menutup biaya pemakaman sampai tahlilan tujuh hari. Adi sempat tertegun melihat darah merembes dari kain kafan jenazah.
Yang kutahu tentang Adi, pria itu tidak tahan hinaan. Biasanya dia akan balas meradang, tapi kali ini dia menekurinya. Wajahnya bagai ditinju penyesalan. Dia kemudian menatapku yang melongo. Rambutku yang dibalut kerudung pasmina hitam membuatnya pangling, dia baru menyadari aku tengah menyaksikan situasi ini. Pak Adi memutuskan undur diri sesuai hardikan ibu Lina.
"Ojok dimek duit iki, Lur! Nek gak pengen mati koyok anakku." Ibu Lina menggeram. Amarah dan kesedihan bersatu padu menghantamnya hingga ia pingsan. Sudah sekian kalinya, ia jatuh bangun.
Kroni almarhum tak jadi menyimpan segepok uang itu. Bayang-bayang kematian seperti sedang mengawasi siapa pun yang berani memanfaatkan uang pemberian itu.
"Mbak Lembut!" panggil ibu rekanku saat terbangun dari pingsannya yang hanya sebentar. Sebelumnya ia bangun hanya untuk menangis lagi.
Wajahku menengadah kepadanya yang berdiri lemas. Kini suaranya dipaksa tenang saat mengajakku bicara. "Tolong kembalikan uang ini kepada mereka, sampaikanlah ...," beberapa detik dia coba menstabilkan emosinya sebelum melengkapi kalimatnya, "sampaikan kepada mereka, dosa mereka tak mungkin diampuni. Gusti Allah ora turu." Ibu rekanku berteriak serak di akhir kalimat.
Aku menganga mendengarnya. Kira-kira dulu kalau titip pesan. Keberanian saja tidak cukup. Butuh kegilaan mengatakan pesan sarkas itu kepada atasanku. Biar bagaimanapun, biar dulunya aku kekasihnya pun, aku tahu respon apa yang bakal Adi berikan kepadaku, dan aku tidak mau dipecat secara tidak terhormat.
Tapi baiklah, sekalian aku bisa melarikan diri dari kesedihan yang mengurut hati ini. Aku mengejar kepergian Pak Adi dan Bu Elijah. Kudengar perdebatan kecil mereka di dalam mobil, lantas aku merepet dengan gerakan halus. Telingaku melebar. Aku serupa mata-mata.
Bu Elijah merasa bahwa dia sangat dipermalukan. Dia menyalahkan Pak Adi, mengapa sampai bersimpuh padahal seharusnya jika orang-orang itu tahu diri, sepatutnya mereka berterima kasih.
"Apa kamu tidak berpikir ini terlalu kebetulan, Elijah?" Adi merenung. Dari wajahnya, ia menyampaikan ada sebuah keganjilan.
"Sudahlah, Mas," Elijah menolak percaya, "itu nasib buruk saja."
"Bagaimana kalau nasib buruk terjadi pada salah satu dari kita ketika nanti kita memutuskan resign? Lalu sampai mana kita terus menutup mata?"
Aku mengerutkan kening, mencoba menyimpulkan garis besar dari percakapan mereka.
"Ya ampun, Mas Adi! Giliranmu kemakan omongan mereka," protes Elijah.
Adi buru-buru menyuruhnya diam. "Masuk apa, Lembut?" Pak Adi menangkap basah penguntit lewat spion. Dia memergoki aku. Situasi macam apa ini? Aku gugup, malunya bukan kepalang. Adi segera turun dari mobilnya.