Jam bandul ruang tengah berdenting di jam empat sore. Sudah tiba waktu pulang bagi seluruh karyawan administrasi. Na dan Adi baru saja duduk di sofa ruang tamu, lalu segerombol karyawan dari lantai dua rumah utama menuruni tangga. Demi menghindari sapaan yang bertubi-tubi dari karyawan-karyawan itu, Narah beranjak berdiri dan memandang ke luar jendela. Bukannya apa, membalas sapaan orang-orang sebanyak itu sudah pasti melelahkan. Mulanya ia hendak berpura-pura memandang langit sore, tapi guratan jingga di langit yang begitu indah menggusur kepura-puraannya. Na sungguh terpesona.
Adi sepakat dengan Na soal tidak ingin disapa. Karyawan dari lantai dua sudah jelas akan tertambat dulu di mesin absensi. Jurus Adi demi menghindari tegur sapa mereka adalah dengan menyibukan diri pada layar HP. Hari ini lumayan menguras stamina dan perasaannya. Dia nampak lelah. Ditambah tidur malamnya semalam kurang nyenyak. Gara-gara ia bermimpi buruk lagi. Mimpi buruk yang sama setiap kali ada karyawan yang resign. Dalam mimpinya, Adi melihat Lina, karyawan resign itu berdiri di hadapannya dengan tubuh dipocongi dan kain kafannya bersimbah darah.
"Hai, Mas! Belum pulang? Hai, Mbak Narah!" Suara dan senyuman Elijah menyeruak.
Begitulah, masih saja ada yang menyapa meski keduanya berpura-pura sibuk sendiri. Na tersenyum lebar. Sifat ceria Elijah kadang melenakan. Setiap orang yang disapanya selalu merasa mendapat suntikan energi. Demikian itulah Elijah. Dia begitu periang dan penuh kepercayaan diri.
"Nanti Elijah." Adi membalas lambaian tangan wanita berambut hitam dan begelombang indah itu dari tempatnya duduk.
Langit biru dan jingga beradu padu menghasilkan layaknya panorama musim gugur di negara-negara Nordik. Na terlihat bagai lukisan Renaissance yang menggambarkan wanita di jendela dengan kusen kayu sebagai bingkainya. Matanya terpusat pada sesuatu yang menarik perhatiannya di taman melati.
Na melihatku merapatkan diri di rerimbunan melati. Ia menyukai rambut hitam legam milikku. Rambutku panjang, aku menggerainya setiap pulang bekerja. Ia membayangkan karakter kartun Snow White yang digambarkan memiliki rambut hitam sehitam malam. Tapi, aku jauh dari si Snow White. Alih-alih gaun indah atau paling tidak rok panjang motif bunga seperti yang kerap ia kenakan, aku terlihat memakai jaket hoodie tebal dengan celana denim panjang. Dibandingkan gayanya yang selalu anggun, tampilanku sangat biasa saja.
Perlahan tanganku merayapi pucuk-pucuk melati. Kucari bunga melati yang belum kuncup karena matahari mulai menyingsing. Kemudian kudengar teriakan Pak Bas dari kejauhan.
"Mbak ngapain di situ lama-lama?"
Aku tertampar nada Pak Bas yang menghardik. Tidak sengaja ujung jariku yang bergetar karena kaget memotel bunga kecil yang kusentuh. Hanya berselang satu detik dari jatuhnya bunga kecil itu, sepoian angin menerpa wajahku, menggerakan helai-helai poniku. Detik itu juga aku kehilangan kendali atas kesadaranku.
Keseluruhan bola mataku berubah menjadi warna hitam. Dengan kasar kurenggut bunga melati yang lain. Kuciumi aroma kelopaknya. Ekpresiku tak menyampaikan sebagaimana bunga melati memiliki aroma wangi yang kuat. Berikut kumakan bunga itu, mengunyahnya dengan tersenyum. Lagi dan lagi aku memetik bunga-bunga lain dan memakannya seperti gelandangan yang kelaparan.
"Astaga!" Narah bergegas keluar diikuti oleh Adi.
"Melati ini ja-ngan dipetik!" Pak Bas menjerit. Terlanjur sudah.
Semua orang merapat dan berkerumun mengelilingiku. Mereka menggeriap menonton ketidakberesan tingkah lakuku. Kegilaan ini sungguh diluar kendaliku.
"Lembut!" Adi mencapai keramaian.
Sesuatu yang menguasai tubuhku menggerakkan otot-otot leherku. Masih dengan bola mata hitam dan senyuman cemplang, aku meneleng menatap pria yang memanggil namaku.
"Jadi itu nama gadis lancang ini," kataku. Suara yang keluar dari bibirku berbeda dengan suara asliku. Nadanya lebih halus, tapi sanggup membuat semua orang merinding mendengarnya.
"Kesurupan iki, Mas!" teriak Pak Bas yang tidak dapat menyembunyikan kemarahannya.
Kerumunan orang bertambah banyak sejak Pak Bas meneriakkan kata melati; sebuah tanaman yang disakralkan di wilayah pabrik dan perkebunan teh keluarga Rijckloff.
"Bawa masuk saja, Di." Na meminta Adi membawaku ke dalam rumah utama.
"Tak panggilin Ibu." Pak Bas mendahului masuk.
Adi mengerahkan seluruh keberaniannya. Ia membopongku. Bulu di tangannya berdiri. Tubuhku bertambah dua kali lebih berat dari yang terlihat. Karyawan yang berkerumun dibelah oleh Narah. Narah lalu menyuruh mereka supaya tidak ikut masuk ke dalam rumah utama. Sekeras apa pun seorang majikan berusaha membubarkan kerumunan karyawan, orang-orang yang penasaran seolah membiakkan diri dengan memanggil rekan-rekan yang lain.
Adi mendudukkanku di sofa ruang tamu rumah utama. Perlahan dia meninggalkanku dan menepikan dirinya ke pinggiran tembok. Diam-diam Adi menenggak butiran obat penenang dari saku kemejanya supaya menekan rasa cemasnya demi melemahkan kejeriannya.
"Ada apa ini?" Bu Inggrid turun. Rautnya bingung dengan banyaknya karyawan berdesakan di luar pintu dan di luar jendela-jendela rumah utama.
"Metik melati, Buk." Pak Bas lanjut mempermasalahkannya, dan Bu Inggrid langsung dapat memahami situasi ini.
Alis Bu Inggrid terangkat mengetahui siapa gerangan yang berhasil menguasai ragaku. Minanti diminta menyiapkan air putih dalam sebuah kendi. Bu Inggrid kemudian menerima kendi itu dan merapalkan suatu mantra dalam bahasa Jawa. Jari-jari Bu Inggrid yang lentik seperti jari anak perempuannya menggapai daguku, menengadahkan kepalaku. Nyatanya tubuhku tidak menggelinjang kepanasan ataupun kesakitan. Gigi-gigiku juga masih dengan santun mengunyah melati.
Mantra telah diucapkan. Bu Inggrid mulai mengajakku bicara; bukan diriku yang sesungguhnya, melainkan sesuatu yang tengah menguasaiku. "Keluarlah. Maafkan perempuan ini atas kelancangannya." Ia memercikkan air dari kendi yang sudah ia mantrai ke atas kepalaku.
Mulanya, aku terlepas dari ragaku ketika demit berbadan setengah ular, setengah manusia muncul di antara rimbun tanaman melati lalu tiba-tiba mendepakku dengan ekor bersisiknya. Tahu-tahu, sekarang ini aku sudah berada di dalam rumah utama, berdiri di samping sofa, tidak jauh dari ragaku berada. Aku melihat tubuhku duduk di sofa panjang dan tersenyum patuh pada majikanku. Beberapa orang kulihat juga mengelilingi ragaku dengan ekspresi cemas.
Tampaknya demit yang merasuki tubuhku itu tunduk pada Inggrid. Dengan menyerap energi di sekitarnya, si penunggu taman melati itu membentuk wujudnya semula. Ia makhluk empat dimensi berwujud manusia setengah ular. Dijuluki Delima oleh orang-orang yang pernah melihat penampakannya: rambutnya putih, wajah seelok bidadari, penampakan dari perut hingga ke bawah menyerupai ekor ular bersisik putih.
Ragaku melenguh panjang, otot-otot tubuhku merenggang, kemudian terkulai lemas di sofa. Ular itu telah setuju keluar dari tubuhku. Setengah tubuhnya lalu melata sementara badan manusianya tetap berdiri tegak dengan hanya meliuk-liukkan pinggul. Delima menembus jendela teralis dan membenamkan setengah tubuhnya kembali ke dalam rerimbunan melati. Melihat caranya bergerak membuatku kemudian berpikir, mengapa makhluk dari dimensi empat mengambil bentuk yang sangat tidak modern. Dengan melihat masa depan, mereka seharusnya mengadopsi konsep yang lebih baik dari sebuah robot sekalipun.
Sudahlah, sebaiknya aku kembali ke ragaku. Tapi tunggu sebentar, ini sudah setengah jalan menuju jawaban yang semua orang ingin ketahui.
"Bangunkan dia sebelum hal buruk terjadi padanya!" Inggrid yang mengetahui niat spontanku, segera memerintahkan siapa saja membangunkan ragaku.
Adi bergerak dengan cepat. Dia sadar bahwa kejadian yang menimpaku ini tidak bisa dianggap remeh setelah banyak orang pernah mengalaminya. Adi memanggil-manggil dan mengguncang tubuhku. Minanti ikut berusaha dengan menciprati wajahku dengan air. Semua rangsangan itu tak kurasakan. Sebab, aku belum ingin kembali. Situasi memuncak ketika aku tidak kunjung bangun walau berbagai cara dicoba demi membangunkanku. Saat itulah aku lalu merasakan satu sentuhan yang menjawil pundakku dari belakang.
Aku menoleh dan mendapati Narah juga meninggalkan raganya. Betapa terkesimanya aku mendapati apa yang kulihat dari dirinya. Na mengendalikan dua sosoknya sekaligus. Satu di dimensi tempat tinggal kami; dia memasang muka cemas selayaknya semua orang yang sedang berusaha membangunkanku, satu lagi seperti melepas kloningannya ke dimensi empat.
"Apa yang kamu lakukan. Kembalilah! Cepat!" titahnya.
"Bagaimana kamu bisa melakukannya?" Bukannya sadar, aku yang begitu terkesan malah balas bertanya dengan menunjuk-nunjuk tubuh fisiknya.
"Tidak penting bagaimana aku bisa,” katanya.
"Tunggu. Aku ingin tahu tempat macam apa ini?" ujarku menatap keluar jendela, menanyakan di mana lapisan waktu yang lain. Kenapa tempat ini hanya memperlihatkan waktu saat ini?
"Tak siapa pun boleh kemari. Tempat ini dikuasai hal yang gelap. Kau tak akan bisa mengubah masa lalu atau melihat masa depan di sini. Kembalilah ke ragamu, Lembut!” Lagi Na mengingatkan, tetapi aku terus abai.
Aku memandangnya tak mengerti.
“Tidak ada yang benar-benar tahu tentang dunia ini, Lembut.” Anomali yang terjadi di setiap dimensi itu lumrah. Pengetahuan manusia tentang alam semesta masih begitu kecil.
Kupandangi sekelilingku. Akhirnya aku masuk kemari: rumah utama versi dimensi ke empat. Perabotannya sama saja. Yang berbeda hanyalah pencahayaannya. Di sini lebih temeram dengan dinding rumah yang gelap gulita. Begitu gelapnya hingga jendela dan pintu terlihat mengambang di kegelapan. Betul. Dinding yang gelap di semua sisi rumah ini menyembunyikan lapisan waktu yang lain.
Aku ingat. "Aku punya pesan untukmu dari Sabastian," kataku sambil mengamati dinding yang gelap. Penasaran sekali, apa aku bisa merabanya?
"Kamu sudah mengatakannya pada semua orang tadi malam."