Pohon sawo kecik itu membawaku kembali ke tubuhku. Mulanya aku dan Na hanya memutari batang besarnya. Cahaya biru melingkar di atas dahan kemudian memecah jiwa kami menjadi partikel kecil, lebih kecil dari partikel terkecil yang manusia bayangkan pada umumnya. Pecahan jiwa kami lalu diterbangkan kembali ke rumah utama seperti serbuk cahaya yang bergerak melayang dengan cepat.
Medan elektromagnetik lemah tubuh manusia mampu memanggil, menarik, dan melekatkan kembali partikel-partikel kecil jiwa kami ke tubuh masing-masing. Tubuh manusia memang tidak mengandung magnet. Namun, sel-sel dalam tubuh kita mengandung muatan listrik dan memproduksi medan listrik kecil. Itu tidak mengejutkan karena sebenarnya tubuh kita terdiri dari banyak elektron, dan elektron memiliki muatan negatif. Hanya itu yang mampu kujelaskan dari bagaimana cahaya biru di atas dahan pohon sawo kecik akhirnya memulangkan jiwa kami. Kelak akan ada seseorang yang mampu menjelaskannya secara fisika teori kepadaku.
Aku terbangun. Aroma bunga sedap malam melintasi hidungku. Butuh beberapa menit untuk sanggup mengangkat kepala. Orang-orang berkumpul mengelilingiku, melihat aku bangun. Suasana ini tak kupersiapkan sebelumnya. Oh! Kuremas ujung seragam kerjaku. Aku mencoba duduk sembari memegangi kening. Berlagak pusing, padahal aku tidak nyaman dilihat banyak orang.
"Kamu baik-baik saja, Lembut? Kamu berkeringat dingin." Adi mengusap peluh yang meleleh di pelipisku.
"Tidak apa, Pak." Kusingkirkan tarian jemari Adi di wajahku. Aku berupaya berdiri, melihat sekeliling, tapi tubuhku terhuyung. Adi gesit memegangiku. Sepintas aku melihat Narah menarik diri menuju koridor sambil sesekali mengusap pipinya.
"Jangan memaksa diri! Kuantar kamu pulang." Suara Adi berbobot dan tegas. Siapa saja yang mendengar otomatis akan bersikap loyal kepadanya.
“Sampeyan itu gimana, seh? Kan, sudah diperingatkan, jangan metik bunga melati pekarangan!" Pak Bas ngedumel.
"Maafkan saya." Kujatuhkan tatapanku ke lantai persis orang habis kena maki.
Apa yang mencengangkan dari petualanganku tadi adalah manusia yang ada dibalik teror kematian karyawan pabrik dan perkebunan. Inggrid. Aku mulai paham alasan Paman Manuku menyuruhku berhati-hati pada majikanku itu, sekaligus mewanti-wantiku selalu menjauhi lingkungan tempat kerjaku saat aku berproyeksi astral ke dalam hutan sekitar.
Pandanganku dan Bu Inggrid sempat bertumbukan. Tatapan Bu Inggrid setajam bilah katana yang baru dikikir dan diminyaki. Silaunya seakan mengiris selaput mataku. Aku dengan refleks berpura-pura teralihkan oleh gerakan kecil Adi di depanku.
Adi menggiringku masuk ke kandang berjalan miliknya, yaitu mobil bercat hijau botol yang bagaikan belahan jiwanya yang setia. Dia meminta petugas sekuriti membiarkan sepeda motorku parkir satu malam. Berita aku yang kerasukan sudah menyebar hanya dalam hitungan menit. Petugas lantas memahami keadaanku tanpa bertele-tele.
"Lembut!" panggil Adi di dalam mobil, di tengah perjalanan mengantarku pulang.
Kutengok dirinya. Telapak tangannya yang lebar bergerak meyentuh pipi hingga sebagian leherku. Sentuhannya memacu jantungku berdegup keras. Semoga ia tak mendengarnya.
"Kamu demam, Lembut." Kecurigaannya benar.
"Apa yang kulakukan tadi, Pak?" Aku khawatir melakukan hal memalukan seperti berteriak, kelonjotan, menangis, menari tidak jelas, bicara tak keruan. Uh, tidak.
"Kamu cuma makan melati lalu pingsan." Adi tersenyum, "sebenarnya apa yang ada di pikiranmu saat ambil melati di pekarangan rumah utama? Tidak ada yang boleh memetiknya. Kamu pasti sangat paham itu, kan? Kamu bukan karyawan baru, Lembut."
Aku tahu pasti akan mendengar omelannya juga. Dalam perjalanan ke rumah tinggalku, Adi mengatakan akan mampir ke rumah makan dan apotek untuk membekaliku makan malam dan obat penurun panas. Aku secara khusus memesan gulai kambing. Restoran yang menyediakan aneka masakan daging kambing agak jauh dari rute ke arah rumahku, tapi Adi tidak keberatan. Dia hafal daging kambing termasuk makanan favoritku.
Mengingat tubuh dempal Baphomet, tiba-tiba nafsu makanku menggelora. Aku suka daging kambing. Aku suka Iduladha di panti asuhan karena dalam satu minggu itu dapur panti hanya mengolah bagian tubuh kambing. Aku rela berlama-lama meninggalkan laboratorium di rumah lantas memilih menginap di rumah panti hanya untuk makan masakan daging kambing pagi, siang, dan malam.
Setelah membungkus makanan dan obat penurun panas, Adi kembali mengemudi. Ia memarkir mobilnya di halaman depan rumah tinggalku. Tanpa pagar, dia tinggal membelokkan roda kemudi. Rumahku sangat segar. Hampir sepanjang musim, bunga hortensia yang mengitari halaman depan rumahku selalu berbunga lebat. Siapa saja orang yang melihatnya pasti terkagum-kagum. Mereka dengan niatnya kemudian mendatangi rumahku untuk memperoleh bibit yang sama dengan hortensia yang kutanam, dan aku memberikannya secara cuma-cuma. Namun mereka tidak pernah benar-benar datang dengan tangan kosong demi bibit ajaib yang memunculkan bunga tak kenal musim.
"Jika butuh sesuatu hubungi aku," kata Adi.
"Dengan banyaknya pesan-pesan di HP-mu yang terabaikan? Bagaimana jika pesan-pesanku sama tertimbunnya dengan yang lain?" ujarku.
"Kamu tidak pernah lagi mengirimiku pesan, Lembut. Lagipula tidak ada satu pun pesan darimu yang pernah kuabaikan." Adi mantap betul dengan jawabannya.
Aku terdiam, belum mau meninggalkan aroma parfum lavender di dalam mobilnya. "Jadi, kapan pengunduran diriku akan diurus?” tanyaku, “pabrik sudah mendapat pengganti Lina." Dijawab Adi dengan hela napas.
"Kamu tidak takut?"
Aku menggeleng. Aku tidak punya firasat akan mati lebih cepat. Di benakku, aku bisa mengandalkan Paman. Malaikat tanpa sayap yang menyambung hidupku dan hidup semua anak-anak panti.
"Urungkan saja rencanamu. Aku tidak mau terjadi hal buruk kepadamu."
Sebuah mobil MPV warna hitam berhenti di seberang jalan rumahku, tepat sebelum aku menolak keras imbauannya. Kurasa mobil itu belum sekalinya kujumpai di sekitar tempat tinggalku. Jika itu milik kenalan tetanggaku, mobil itu rugi besar parkir di situ. Jarak antar hunianku dengan tetangga berkisar satu hektar kebun sawi.
"Kenal dengan mobil itu, Lembut? Pria yatim piatu kemarin barangkali?" Intonasi Adi mengejek.
"Namanya Udoyok. Udoyok lebih suka naik transportasi umum daripada membawa kendaraan pribadi." Aku memperisai saudara pantiku.
"Oh, ya. Apa jabatannya?"
Kutatap Adi dengan rasa muak. Dia tidak berubah. Apa pentingnya bertanya jabatan? Ah, mungkin jawaban ini bisa sedikit menyentilnya. "Direktorat Komunikasi SAR Nasional."
Adi cuma mengangguk-angguk. Aku tertahan setengah jam lamanya menunggu pengemudi mobil hitam itu turun. Dan, nampaknya tak seorang pun berniat keluar dari sana. Aku mulai gelisah. Gara-gara mulut emberku sendiri pada malam memabukkan kemarin, aku menjadi paranoid.
"Kenapa kamu terlihat takut?"
"Daerah rumahku sepi. Aku tidak kenal mobil siapa itu. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya," ujarku terus menerus menegok mobil itu dengan perasaan was-was.
Tak tahan melihatku menyimpan kegelisahan, Adi mencari sesuatu di laci pintu kemudi. Ketemu. Dia memutuskan keluar mengenggam sebuah pisau lipat.
"Adi! Mau apa?" Aku berseru menarik lengan kemejanya. Bagaimana jika di dalam mobil MPV hitam itu ternyata mata-mata Interpol? Sekarang bukan waktu yang tepat untuk melawan atau karena perlawanan itu sama saja dengan menyerahkan diri. Kepalaku berdenyut serasa mau meledak. Adrenalin membuat darahku mengalir terlalu cepat ke otak.
"Biarkan aku memastikannya untukmu."