Elijah meletakkan secarik permohonan resign di atas meja kerja Bu Inggrid. Karyawan yang bersangkutan sudah melewati Adi. Kertas itu juga telah memenangkan perhatiannya, hingga terdamparlah dokumen itu di atas meja kerja Bu Inggrid. Angin yang masuk melalui jendela balkon biasanya cukup kencang. Elijah lalu menindihnya dengan reed diffuser tepat di bagian nama pemohon.
Bu Inggrid sedang membuka gorden jendela yang mengarah ke balkon. Cahaya pagi menyinari wajahnya, mempertegas garis lipatan baru di dahinya. Elijah yang bekerja selama hampir dua tahun hafal setiap kali Bu Inggrid sedang banyak pikiran, kerutan seperti itu muncul dalam waktu semalam. Klinik kecantikan langganan Elijah menamai lipatan horizontal itu dengan sebutan "garis khawatir". Seseorang harus membebaskan stresnya supaya lipatan itu hilang.
"Tuan Manuku membuat janji temu dengan Ibu pagi ini,” ujar Elijah menata meja kerja majikannya.
"Kenapa mendadak sekali, El?" Bu Inggrid pun sama terkejutnya dengan Elijah. Kedatangan investor itu biasanya membawa tujuan yang sebelumnya sudah mereka ketahui, tapi hari ini benar-benar di luar kebiasaan. Mereka tidak tahu apa yang melandasi Manuku berkunjung kemari.
Ini masih pagi, jarum pendek belum menyentuh angka sembilan. Baru beberapa karyawan saja yang datang. Suasana hati karyawan administrasi diserang bunyi pesan yang masuk di grub obrolan khusus. Mereka di-deadline akan ada kunjungan mendadak dan mereka harus segera tiba di kantor sebelum jam masuk. Tidak ada ngeteh-ngeteh ataupun ngopi-ngopi santai di ruang tengah sambil menunggu briefing dimulai. Semua harus bekerja lebih awal.
"Beliau sudah sampai di parkiran." Elijah tergopoh-gopoh menyiapkan dokumen-dokumen yang barangkali akan ditanyakan investor satu itu.
"Bersiap untuk menyambutnya!"
"Baik, Bu." Elijah menyuruh karyawan seadanya merapat.
Mereka menuruni tangga. Bu Inggrid mendahului, Elijah dan tiga orang lainnya mengekori. Meja makan sudah rapi, bersih berkilau disapu Minanti, menyisakan Narah yang masih menikmati roti isi selai bluberinya dengan secangkir teh panas. Bu Inggrid berhenti untuk sekadar mengamati putrinya yang asyik benar berleha-leha.
"Aku tadi sudah menghabiskan nasiku, Ma." Na yang dungu memandang ibunya tidak mengerti.
"Lekas mandi dan ganti pakaianmu!" perintah Bu Inggrid pada putrinya.
Ya Tuhan, ini masih jam delapan, batin Na seraya bangkit menuju kamarnya. Na kepikiran ide meninggali salah satu rumah dinas agar hidupnya kembali mengenal privasi dan kenyamanan.
Di pintu masuk, Manuku disambut Bu Inggrid dan Elijah beserta iring-iringannya. Terdapat Adi yang berjalan di belakang Manuku. Mereka berpapasan di parkiran. Mandor pabrik itu lebih dulu menyapa Manuku sebelum akhirnya mereka berdua berjalan bersama menuju rumah utama. Kalimat-kalimat ringan mengisi obrolan mereka sepanjang perjalanan sampai ke teras rumah utama.
Manuku dijamu Inggrid dengan ajakan minum teh di sofa ruang tamu. Teh premium buatan pabrik disuguhkan. Duduk pula Elijah, Adi, dan tiga karyawan bagian administrasi lain menggantikan Jaka dan Pak Hilmi yang belum datang.
"Tanaman melati Anda berbunga lebat." Manuku membuka percakapan.
Inggrid langsung mengarahkan matanya ke taman melati yang bisa terlihat dari jendela ruang tamu. Ia cenderung bersikap kaku setiap tanaman melatinya disebut.
"Kami memanfaatkan kotoran kuda sebagai pupuk," timpal Inggrid.
"Kalian punya kuda?" Meski Manuku sudah cukup lama menanamkan jasanya pada perusahaan ini, dia sendiri jarang berkunjung. Rapat umum yang mengundang beberapa investor untuk hadir selalu diadakan di sebuah hotel, tidak pernah di rumah ini.
Pabrik dan perkebunan berkonsep agrowisata sebenarnya tepat sekali untuk destinasi wisata anak-anak. Sayangnya, menurut Manuku, tempat ini amat tidak ramah untuk anak-anak panti binaannya. Yang peka dengan hantu seperti Bian bisa-bisa menjerit ketakutan, lalu yang moody seperti Raden bakal sering uring-uringan.
"Hanya peternakan kecil, Pak. Fasilitas tambahan bagi wisatawan." Inggrid membiarkan Elijah menjawab selagi dirinya menyeruput cangkir teh.