Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #24

Buron

Kebakaran taman yang terjadi siang ini benar-benar tak terduga penyebabnya. Api membesar hanya dalam sekejap. Seluruh tanaman melati di pekarangan rumah utama dilahap api. Bahkan dinding yang dekat dengan taman kena gerayang si jago merah. Karyawan administrasi di lantai dua rumah utama berlarian mengevakuasi diri sebelum api mencicipi tubuh mereka.

Kebakaran menyebabkan kegiatan produksi terhenti sementara. Semua karyawan diajak membawa timba berisi air untuk bantu memadamkan api. Tampak Pak Bas empot-empotan menjunjung timba sambil terbatuk-batuk. Paru-parunya sudah uzur. Dia kemudian pingsan di tengah kepanikannya.

Sementara Bu Inggrid, sangking terkejutnya hanya mematung di balkon. Di bawah kakinya, api sudah menjilati dak beton. Asap hitam yang membumbung, mengingatkannya pada malam panas di hari kematian suaminya. Seluruh karyawan berteriak dari bawah balkon untuk menyadarkannya, akan tetapi Bu Inggrid dan putrinya tidak kunjung tergugah dari lamunannya.

Adi, Jaka, dan Pak Hilmi membantu merelokasi karyawan-karyawan di rumah utama yang diberondong kepanikkan.

"Elijah!" teriak Adi pada rekannya yang kalut.

"Mas!" Elijah menggapai Adi.

"Bagaimana dengan Bu Inggrid dan Narah?" tanya Adi.

"Mereka masih di atas, tidak mau turun. Kami tidak tahu kenapa."

Adi melesat cepat menaiki tangga, melawan arus karyawan administrasi yang berbondong-bondong menuruni tangga. Setibanya di atas, Adi menggugah kedua majikannya. Luapan asap pekat di luar jendela, yang seperti monster, mengingatkan ibu dan anak itu pada malam membara pada masa kelam keduanya. Terlihat jelas trauma di wajah ibu dan anak itu. Adi kemudian berhasil menggugah dan mengajak keduanya menyelamatkan diri.

Persoalan api merambah serius. Merambat melalui dinding bagian depan, api telah mencapai lantai dua. Manuku memperhatikan situasi kacau dari dalam mobilnya yang menghadap ke sana. Cukup satu kedipan mata darinya, api padam seketika. Rimbun tanaman melati di pekarangan rumah besar itu telah habis tak bersisa. Ini hanya contoh kecil yang ia berikan kepada siapa saja yang berani menyentuh anak pantinya. Bunyi sirine pemadam kebakaran baru terdengar sesaat setelah api padam.

Aku melihat wajah puas Paman saat kami bersisipan. Dia baru saja meninggalkan rumah utama ketika aku berangkat kerja di sore hari. Karyawan sif sore yang baru datang kaget, termasuk diriku. Pekarangan rimbun yang tadinya semerbak bau melati, kini bau terbakar menyisakan arang dan abu. 

Aku bergabung ke kerumunan karyawan guna melihat tempat kejadian. Para karyawan administrasi terlihat sedang berkumpul di teras rumah utama. Kepanikkan mereka tampaknya sudah mereda. Mereka saling menanyakan kondisi satu sama lain dengan raut yang kacau karena habis dilanda kecemasan.

"Apa ada yang terluka, Na?" Adi mencurahkan perhatiannya, begitu juga karyawan lain terhadap kedua majikan mereka. Na dan Bu Inggrid ibarat ratu dalam sebuah koloni semut. Keberadaan mereka berdua begitu fundamental.

Na menamatiku yang berdiri di antara para karyawan produksi. Aku berlagak seperti karyawan lain pada umumnya, bertanya-tanya penyebab taman melati itu kenapa bisa hangus tak bersisa. Di balik itu, aku sudah menduga mengapa semua ini sampai terjadi.

"Lembut masuk apa?" bisik Na kepada Adi.

"Sif sore. Kenapa?"

"Kamu yakin mengenal betul dirinya?" ujar Na kemudian pergi masuk ke dalam rumah, membiarkan pertanyaannya bersarang di benak Adi.

Adi seraya menerkam sosokku dengan kilat matanya, lantas mengejar jejak Narah. Di ambang pintu rumah utama mereka terlibat pembicaraan serius.

"Mana mungkin Lembut membakar taman melati. Menyentuhnya saja dia kerasukan. Tidak ada yang berani dekat-dekat melati itu apalagi membakarnya."

"Bukan Lembut, tapi pria sok tua yang datang kemari, yang juga bersamanya di restoran makanan laut."

"Tuan Manuku? Kenapa dia membakar taman melati?"

"Coba tanyakan itu kepada mantan kekasihmu, Aisyah adalah nama asli perempuan itu. Aku bertaruh dia menggenggam jawabannya. Aku juga bertaruh semua yang kukatan adalah benar.” Na berlalu pergi.

"Dia masih kekasihku." Adi meralat sebutan Na kepadaku disamping kebingungannya mendengar nama “Aisyah”.

Mendengar pengakuan Adi, Na terhenti beberapa saat tanpa berniat menyuarakan balasan. Dia kemudian memilih meneruskan langkahnya.

Lihat selengkapnya