Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #25

Taman Hortensia

Minggu pagi, Na dan Adi baru selesai mengikuti Perayaan Paskah di gereja. Mereka pergi bersama-sama dengan ibu Adi, Ida, si bayi Rani, dan Ipung. Bagian belakang mobil Adi sudah dipasang bangku standar dengan menurunkan sementara peralatan kampingnya. Ida terlihat lebih gembira menyambut Na yang satu mobil dengan keluarganya dibanding menyambutku ketika dulu Adi mengajakku mampir ke rumah semipermanen orang tuanya. Padahal aku pembeli setia pot gerabah buatan Ida dan media tanam jualan Ipung. Ipung berdalih, penyebab Ida tidak nyaman denganku karena pacar kakaknya seumuran dengannya.

Aku tahu Ipung hanya mengarang alasan itu sebagai bentuk kepedulian. Ketimbang Adi, Ipung lebih mengerti dan menghargai perasaanku karena dia tahu sendiri sesayang apa Adi terhadap Ibu dan Ida. Namun menurut kacamataku, aku menangkap kesimpulan lain yang kurasa lebih tepat ketimbang karangan Ipung. Ida hanya tidak suka melihatku begitu menikmati kemandirian. Mandiri karena di usia kami yang sebaya, aku telah mampu membeli rumah dan mendapat pekerjaan untuk menghidupi diriku sendiri. Seharusnya dia mampu setingkat lebih beruntung dari anak pasangan teroris sepertiku, tapi kenyataannya menjadi ibu muda terasa seperti mengarungi rintangan. Aku berpikir, kenapa dia tidak mencoba menikmati apa yang ada karena sesungguhnya itu yang kulakukan terhadap hidupku. Jika aku harus terus bekerja untuk hidup, maka Ida hanya perlu hidup untuk merawat bayinya. Bayi adalah anugerah terlucu yang ingin kumiliki suatu hari kelak bersama kakaknya. Aku bersabar untuk itu. 

Berbeda denganku, Na cantik dan kaya dari sananya. Impresinya saja sudah sangat baik. Ida memberi kakaknya lampu hijau. Ketika Adi hendak mengantar pulang keluarganya karena sebentar lagi Na mengajaknya ke toko mainan anak-anak, dengan raut gembira Ida menolak tawaran kakaknya. Ida kira toko mainan anak-anak cuma kedok kakaknya pamit untuk berkencan. Padahal nanti sore, Na dan Bu Inggrid memang diundang ke panti asuhan Manuku. Na berniat membawakan oleh-oleh untuk anak-anak panti. Pak Bas yang mestinya bertugas mengantar Na dan Bu Inggrid masih dirawat intensif di rumah sakit karena asap kebakaran kemarin.

Ida lantas memanggil delman untuk pulang. Supri yang kerap jadi langganan ibu Adi datang bersama delmannya dan mengangkut mereka. Rumah mereka dengan Supri cuma berjarak dua rumah. Setiap minta diantar ke pasar, ibu Adi suka menceritakan berbagai hal tentang kedua anak-anaknya pada Supri. Jadilah Supri merasa begitu mengenal mandor pabrik dari cerita-cerita ibu Adi.

"Menurutmu, anak-anak zaman sekarang suka mainan bentuk apa?" Na mengulurkan tisu dari jendela mobil Adi. Delman Supri sudah berderap pergi meninggalkan mereka lebih dulu.

"Lebih baik belikan mereka mainan yang dimainkan secara berkelompok," ucap Adi sambil membersihkan kaca mobilnya dari tahi burung. Nasib sial bagi mobil-mobil yang kebagian parkir di luar gedung. Burung-burung yang suka bertengger di menara-menara gereja menghujani kaca-kaca mobil dengan tahi mereka.

"Basuh saja pakai air, Adi!" Na memberikan Adi alternatif menggunakan air mineral miliknya.

"Investor itu kaya raya, Na. Tipikalnya tidak butuh sumbangan. Bagaimana kalau dia tersinggung?" Adi menerima pemberian botol minum kawannya lewat jendela mobil.

"Aku tidak peduli," ujar Na masih dongkol mengingat kebakaran taman melati di pekarangan rumahnya. Neneknya dulu begitu memperhatikan taman itu. Seluruh pabrik dan perkebunan sampai mengkeramatkan. Siapa Manuku yang hanya masalah kecil tega membumihanguskan seluruh taman melati neneknya?

"Bisa saja bukan Tuan Manuku pelakunya." Adi masuk. Menekan tombol wiper. "Bisa jadi pelakunya Pak Bas," tuduh Adi. Aku sukses mengukir nama Pak Bas di kepala Adi.

"Pikirkan sekali lagi! Memangnya, apa motif Pak Bas sampai membakar taman melati yang dia rawat selama ini?"

Betul juga, pikir Adi jadi bingung.

"Ada yang aneh dengan investor itu. Kamu tidak merasakannya?" Na tetap ngotot.

"Tidak." Adi tidak berkemampuan unik seperti teman masa kecilnya itu.

Percakapan mereka berdua berlanjut di sisa perjalanan. Adi menceritakan kabar teman-teman kelas mereka. Sebagian besar sudah menikah dan memiliki momongan. Beberapa teman lainnya yang sulit diketahui kabarnya, Adi ketahui dari teman ke teman. Banyak yang menanyakan Narah si pewaris kepada Adi si mandor pabrik. Adi sendiri pun ketika ditanya waktu itu, tidak bisa menjawab apa-apa. Dia dan Na dulu hanya berteman di sosial media.

"Ingat Selin, Na?" tanya Adi sembari mengemudi.

"Selin kembarannya Satrio? Natuurlijk. Apa kabar dia?"

"Sekitar empat bulan lalu, aku bertemu dia di gereja. Dia bertanya padaku tentangmu. Apa kamu masih bisa berkomunikasi dengan hantu? Selin ingin bertanya kepadamu tentang suaminya yang demam setelah menebang pohon pisang di dekat rumahnya. Aku bilang saat itu, kamu belum kembali dari Belanda."

"Kemudian bagaimana keadaan suaminya?"

"Demamnya hanya seminggu. Setelah itu mereka membiarkan anakan pisang tumbuh." Syukurlah. Na dan Adi tertawa sejenak.

"Kita hidup berdampingan. Dimensi mereka melintasi garis waktu kita. Penunggu pohon itu mungkin cuma mencoba mengingatkan mereka bahwa mereka harus berbagi dunia. Jangan lupa bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia seorang diri. Makhluk-makhluk dari dimensi sebelah ingin kita saling menghargai satu sama lain sebagai sesama ciptaan-Nya."

"Kalau aku jadi suami Selin, aku mau memperkarakannya ke pengadilan. Itu tanah ada sertifikatnya. Main serang saja."

"Kom op, Adi! Mana ada pengadilan antar alam?" Lagi, mereka tertawa ringan.

Sampai di toko mainan, Na membeli banyak mainan dan malah terkesan berlebihan. Setelah dari toko mainan, Adi mampir sebentar ke bengkel sepeda motor untuk membeli aki motor. Jika ada waktu aki itu akan Adi tukar dengan aku lama sepeda motorku. Usai dua sahabat itu selesai dengan pembelian mereka, keduanya mampir makan siang di salah satu rumah makan Padang di pinggir jalan. Na sedang ingin makan nasi dengan siraman kuah Padang yang kental dan menggugah selera.

“Jadi sekarang kalian pacaran lagi?” Na memperhatikan Adi yang sekarang lebih sering melihat ponsel dan membalas pesan-pesan yang masuk. Kadang Adi melakukannya dengan tersenyum.

“Ya,” jawab Adi selesai menghabiskan es teh jumbonya.

“Aku ikut senang,” ujar Na tampak begitu menyayangi piring dan sendoknya yang bersimbah kuah nasi Padang.

“Ngomong-ngomong soal kemarin, dari mana kamu tahu Lembut punya nama lain?” tanya Adi meletakan ponselnya. 

“Saat kami berjabat tangan di ruang uji mutu, sekilas aku mendengar nama itu saat dia masih—” Na terlihat berpikir, “aku tidak tahu tepatnya, tapi saat itu dia ada di sebuah tempat yang … mungkin dia terpaksa di sana.”

“Pesantren?”

“Dia pernah?”

“Ya, dia punya kenangan traumatis selama tinggal di sana.” Adi mengonfirmasi.

“Hidup setiap manusia tidak mudah,” gumam Na. 

“Aku setuju.”

Lihat selengkapnya