Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #26

Makan Malam

Bulan bersinar terang malam ini. Batuan kali di taman ruang tengah membiaskan cahaya bulan. Seekor burung hantu bertengger santai pada ranting pohon kersen yang terlihat seperti bonsai di tengah taman. Biarlah. Manuku tidak mengusir burung itu pergi.

Makan malam ini dihadiri Bu Inggrid di sebelah Iriana. Na dan Adi duduk berdampingan di depan Manuku, sementara Udoyok dan Sena bersebelahan dengan paman mereka. Jika semua orang dewasa menempati satu meja bundar, maka anak-anak menempati meja lain bersama pengasuh mereka.

Aku, Sena, dan Udoyok tinggal dalam satu kota. Kami punya kesadaran tinggi berkunjung di waktu libur. Sekadar bermain bersama saudara-saudara kecil kami hingga makan malam tiba. Akan tetapi, malam ini menjadi berbeda dengan malam di hari libur sebelumnya. Tidak ada bangku kosong yang dipersiapkan untukku. Aku tidak datang kali ini.

Makanan pembuka dihidangkan. Sena ketiban ide mengganti lilin bertingkat di pusat meja dengan lentera minyak tanah.

"Mari bermain filosofi lentera!" Sena membuka perjamuan.

Na terkekeh. Suaranya didengar banyak orang. Tatapan mereka tertuju kepadanya. Bu Inggrid apalagi, ia mendelik pada Na. Adi tetap sibuk dengan ponselnya, pantang menyerah menghubungiku.

"Maaf," kata Na menelan tawanya, memperbaiki ekspresinya, belum-belum tenggorokannya sudah aus. Dia tidak bermaksud menertawai, hanya saja pembukaan makan malam ini terasa seperti pertemuan para pujangga.

"Belum pernah melihat lentera, ya?" Raden nyeletuk di meja makan anak-anak, "di zaman dulu lentera menggunakan minyak zaitun." Kami sudah biasa dengan mulut sembilan pedang dari anak itu.

"Enteya!" Bayi perempuan berusia delapan bulan tertarik mengucapkan nama benda yang bersinar di atas meja. Tentu dengan cara bicaranya yang cadel.

"Len-te-ra. Lentera." Bian mengejanya untuk bayi perempuan itu.

"Aku saja yang pertama." Udoyok mengangkat tangan sebagai pujangga pertama. "Bersikap seperti lentera yang mampu memotivasi orang dengan cahayanya."

Sena cekikikan. Suasana lucu baru terasa ketika Udoyok memulai permainan dengan suara yang dibuat-buat. Na benar, permainan ini menggelikan.

"Kamu tadi tidak perlu minta maaf, Na," ujar Manuku, lalu mendulang mulutnya dengan makanan ringan.

"Benar." Iriana mengangguk-angguk, lagipula tidak ada larangan tertawa.

"Semua orang di sini sungguh absurd. Jika pernah melihat film berjudul The Menu, koki-kokinya seperti orang-orang di sini. Psikopat cenderung punya selera humor yang aneh. Kau merasakannya?" bisik Adi di samping telinga Narah. Ia akhirnya meletakkan ponselnya.

Na tersenyum kaku.

"Giliranku." Sena berdiri, berdeham, dan mulai berkata, "Saat kita harus memilih, cobalah tenang dan lihatlah ke dalam hatimu! Mungkin cahaya kecil itu sebenarnya adalah kata hatimu."

"Lentera itu ibarat iman manusia. Allah subhanahu wa ta'ala sudah memberikan wadahnya. Tinggal kita yang menyalakannya supaya kita tetap di jalan yang benar. Meski terkadang redup karena kita lalai mengisinya dengan minyak tanah atau minyak zaitun, atau apalah dan baru dinyalakan saat kegelapan sudah membutakan kita." Minyak zaitun, entah mengapa Iriana tiba-tiba memikirkannya. Perkataan Raden sedikit mengganggu Iriana dalam memfilosofikan lentera.

"Amin," sahut Udoyok seraya mengedepankan kedua harinya persis seperti orang berdoa. 

Sena dengan keras mendepak kaki Udoyok. Bunyi keras terdengar di kolong meja.

"Apa salahku, Sena? Kamu menertawai filosofiku dan aku diam saja." Memerah muka Udoyok karena kesakitan.

“Kamu meledek keyakinan orang, Yok!"

"Aku benar-benar tidak bermaksud begitu, Bu." Udoyok menangkupkan tangannya ke depan wajah.

"Bagus sekali, Iriana. Semoga kita semua dijauhkan dari kegelapan iblis," puji Manuku. Namun, pujiannya justru membuat Iriana tercekat. Kenapa harus ditambahi kata iblis? Demikianlah Manuku, kadang agak rusuh dalam seni menyindir.

"Demon? How it's horrible." Si kecil Bian bergidik. Tiba-tiba anak itu teringat pada keluarganya yang binasa karena menjalin perjanjian dengan iblis, lalu menyisakan ia seorang dalam sebuah kebakaran hebat di rumah para penyembah mata satu. Bian beruntung karena Manuku menyelamatkannya kala kebakaran hebat itu terjadi.

"Cukup!" Sena segera mengakhiri permainan filosofi yang dirasa mulai memanas.

Na setuju. Semua orang-orang di panti ini aneh. Na menatap ke ibunya yang terlihat baik-baik saja meski kena sindiran yang menurutnya sadis.

"Kalian melupakan api itu sendiri,” katanya tak terima. Wajahnya mengeras.

"Kita bicara tentang lentera," Sergah Inggrid, menahan putrinya meluapkan perasaan dengan gaya tenangnya yang terkesan natural.

Lihat selengkapnya