Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #27

Lari

Kutinggalkan tubuhku terbaring di kasur hangat rumah tinggalku dengan ponsel yang kusenyapkan di bawah bantal. Aku bertemu Sabastian dan tujuh hantu anak kecil di batang portal dekat tanjakan. Selalu di sana titik kumpul kami. Bersama-sama mereka menunjukkan jalan ke tengah hutan, di mana aku bisa menemukan anggrek hantu yang kapan hari mereka janjikan usai kupertemukan Sabastian dengan kakak perempuannya. Aku sudah tak sabar melihat bunga langka itu dan ingin segera membedah informasi genetiknya.

Hutan. Aku sudah terbiasa dengan lapisan masa lalu yang ada di hutan. Hewan-hewan yang sudah lama punah berkelebatan di lapisan itu. Tapi ada satu lapisan masa lalu yang tidak seperti biasanya. Lapisan itu menampilkan sekerumun warga tengah mengerubungi mayat seorang gadis kecil yang mengenakan gaun warna ungu. Aku langsung tertuju memandang Gadis Bergaun Ungu yang saat ini bersamaku.

“Adakah dari kalian yang mayatnya belum ditemukan?” tanyaku tiba-tiba. Habisnya masa lalu Gadis Bergaun Ungu begitu mengusik batin. Aku sadar pertanyaanku ini juga mengusik batinnya. 

“Semua sudah dikuburkan,” jawab Gadis Bergaun Ungu. Lalu keheningan mengisi jarak masing-masing di antara kami.

Baru mencapai seperempat perjalanan dalam keheningan, aku bertemu jiwa Mbak Karim. Tidak seperti kami yang mengikuti jalan setapak, Mbak Karim merabas semak belukar. Kulihat kulitnya penuh luka beset. Segera saja aku menghentikannya.

"Mbak Karim sedang apa di sini?" tanyaku. 

Mbak Karim tersadar, kemudian balik bertanya, "Loh, kamu seharusnya minggu ini satu sif sama aku, Lembut. Ayo, kita berangkat bersama!" Ia menggandengku.

Sabastian dan tujuh kawan kecilnya menggeleng. Seketika perintah mereka membuat tubuhku mengeras. Aku mengelak ikut ajakan Mbak Karim. Teringat olehku akan pertemuan terakhirku dengan Lina. 

"Kita tidak perlu bekerja. Ini hanya mimpi, Mbak," kataku mengusap bahu Mbak Karim.

"Aku belum cerita ya, kalau hari ini hari terakhirku bekerja."

"Apa?" Aku kaget. Kutunggu dia mengatakan selarik kisah hidupnya yang tak kuketahui. 

"Anak-anakku tidak ada yang mengurus. Ibuku sudah terlalu tua menjaga mereka. Kuhitung-hitung lagi seandainya tetap bekerja, gajiku cuma cukup buat sewa pengasuh. Sisa sedikit untuk jajan anak-anak. Kalau cuma jajan aja sih, aku bisa nyambi jualan kue di rumah. Jadi aku memutuskan berhenti kerja, Lembut."

Aku belum memberontak dari keterkejutanku, Mbak Karim kembali melamun. Langkahnya menganga lagi. Hampir saja aku membiarkannya berlalu begitu saja, kemudian aku menarik lengannya, menahannya tetap di tempat.

"Kalau Mbak ke pabrik sekarang, Mbak gak akan bisa pulang lagi. Mbak Karim, ini hanya mimpi. Bangunlah!"

Mbak Karim mengabaikanku, sampai kemudian aku sedikit bisa menggugahnya dengan berkata, "Memangnya sampeyan sudah telepon Bang Salim?"

"Bang Salim," Mbak Karim menjatuhkan pandangannya, "nomornya ternyata tidak aktif, Lembut. Pak Adi telanjur meneruskan surat pengunduran diriku ke Bu Elijah. Bu Elijah juga sudah menaruhnya di meja kerja Bu Inggrid." Suaranya tak berdaya setakberdaya pikirannya. 

"Kita bisa bicarakan lagi dengan Pak Adi? Pak Adi pasti mau membantu."

Mbak Karim tersenyum. Senyumnya mengatakan ia tetap akan baik-baik saja sambil melepaskan tangannya dari belengguku. "Aku mau berangkat sebelum terlambat." Mbak Karim tak mengindahkan ucapanku. Jalan setapak longgar yang kupijak terlihat sia-sia di matanya yang sebentar-sebentar padam, sebentar-sebentar menyala. Mbak Karim lebih memilih menerobos apa pun seakan ada benang menarik kakinya, menarik pikirannya. 

"Jangan bodoh! Jangan gila, Lembut!" Sabastian tegas memperingatkanku. Sekali lagi suara rendah dan imutnya itu merusak citra ketegasannya. Di mataku dia tetap anak kecil yang perkataannya tidak perlu didengarkan dengan antusias.

Lihat selengkapnya