Mobil SUV Bu Inggrid melaju menjauhi panti asuhan Manuku. Melalui CCTV lalu lintas, mobil terpantau keluar dari bundaran pada pukul sebelas malam. Pengemudi mantap menambah persneling. Mobil pun melaju cepat di permukaan arteri kota yang lengang.
Na bersandar di bangku depan menemani Adi mengemudi, sedangkan Bu Inggrid duduk di belakang berteman dengan salinan laporan perusahaan. Sesekali Bu Inggrid menanyakan kepada Adi perihal masalah produksi di pabrik. Adi menanggapinya sambil fokus berkendara.
Lima ratus meter kedepan, terlihat lampu merah menyalak. Hingga radius tiga ratus meter, kecepatan masih saja stabil dari yang seharusnya melambat. Na menghentikan kegiatan scroll media sosialnya dan menoleh ke Adi.
"Kenapa, Adi?" tanya Na panik. Dilihatnya Adi meringis kesakitan sambil memegangi dada sebelah kiri.
Mengetahui ada yang tidak beres dengan Adi, Bu Inggrid mencondongkan bahunya ke depan. “Menepilah!”
Tidak sempat. Adi sudah hilang kesadaran. Mobil meluncur melampaui lampu merah. Setir oleng, lalu menerjang bahu jalan dan mobil pun berguling-guling. Tak ada waktu untuk merekam kepanikan. Kejadian itu berlangsung cepat dan mengejutkan.
Beruntung arteri kota malam itu sedang sepi sehingga tidak sampai menyebabkan kecelakaan beruntun. Orang-orang berdatangan mengerubungi mobil yang terbalik, menolong. Na dan Bu Inggrid berhasil dievakuasi ke tepi jalan dalam keadaan beberapa luka perlu segera dijahit. Adi yang terparah. Badannya terjepit badan mobil yang ringsek. Perlu tuas untuk mengungkit dan mengeluarkannya.
Na dan Bu Inggrid menerima pertolongan pertama dari relawan-relawan setempat. Seorang wanita bertanya pada Na yang mengernyit memegangi keningnya.
"Apa sakit?"
"Cuma sedikit pusing." Na tampak masih mampu menahan sakit di kepalanya.
"Kalian keluar jalur. Lima ratus meter dari lampu merah Jalan Ambarawa," kata wanita itu sembari memeriksa denyut nadi Na.
Darah mengucur keluar dari kulit paha Na. Awalnya tidak sakit. Baru setelah mengetahui otot pahanya robek, Na mendesis kesakitan.
"Berapa usiamu?" Wanita penolong bertanya.
"Dua puluh sembilan. Ibuku? Bagaimana dengannya?" Na melihat ibunya terbaring di bahu jalan, tidak jauh darinya.
"Wanita itu ibumu? Lukanya tidak serius. Ambulans akan tiba. Apa sopir itu temanmu?" Wanita itu memberi banyak pertanyaan.
"Ja, Waar is hij nu?" Na berusaha terus merespons karena ia tahu tujuan relawan wanita menjejalinya banyak pertanyaan: menjaga kesadarannya.
"Kamu peranakan Indo-Belanda, ya? Orang-orang sedang berusaha mengeluarkan temanmu." Wanita itu menekan luka di paha Na dengan keras.
Na berjingkat.
"Biarkan begini. Lukamu mengeluarkan banyak darah. Kita perlu menghambatnya. Apa temanmu mabuk?"