Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #29

Kabar Duka yang Kedua

Aku terbangun dari mimpi buruk. Sena langsung memelukku begitu kusandarkan punggungku pada dipan tempat tidur. Hela napasnya terdengar di samping telingaku. Di ambang pintu kamar, Udoyok berdiri dengan pose bersedekap.

"Kalian apakan pintu depan rumahku?" tanyaku menatap jarum jam yang berhenti tepat di angka tiga. Aku memijat keningku, memaki diriku dalam hati karena bablas tidur hingga menjelang sore hari. Kulirik jendela kamarku. Selain mobil Sena, mobil MPV hitam kapan hari muncul lagi di depan rumahku. Membuat kepalaku berdenyut makin kencang.

"Aku pakai meriam," ujar Udoyok kesal bercampur lega. Kesal sebab dia sampai tidak masuk kerja demi memastikan aku bisa bangun. Sena juga.

"Kamu tidak datang makan malam. Kami mencemaskanmu. Paman menyuruh kami kemari untuk melihat keadaanmu." Sena menjelaskan seraya melepaskan pelukannya dariku.

"Semalam ke mana dalam tidurmu, Lembut?" Udoyok mencium keanehan. 

"Aku ketiduran," jawabku singkat. Jemariku merayap di bawah bantal-bantal kasurku, mencari handphone.

"Kamu mendapat banyak pesan hari ini," kata Sena meminta HP-ku dari Udoyok.

Udoyok maju memberikan telepon pintar milikku lewat perantara Sena. Apa sih, tujuan mereka kemari dan berlagak seperti intel?

Sepuluh panggilan tak terjawab atas nama Adi muncul di notifikasi, berikut banyaknya pesan yang dia kirim semalam. Aku membalasnya dengan segera. Akan tetapi, pesanku yang melejit terjeda. Entah sinyalnya buruk atau ponsel Adi dimatikan.

"Kemarin malam, mobil Bu Inggrid mengalami kecelakaan parah." Sena mengabariku berita pertama yang mencengangkan.

Aku menunggu semenit lamanya sampai mereka melanjutkan berita itu, tapi Sena dan Udoyok nampak enggan berlugas-lugasan. Perasaanku tidak enak melihat ekspresi mereka berdua. Aku terseret kembali ke layar ponsel. Bunyi-bunyi notifikasi masuk berentetan.

Grup karyawan ramai oleh ucapan-ucapan belasungkawa. Semua anggotanya mengagendakan rencana melayat bersama ke komplek perumahan dinas setelah sif pagi pulang. Aku menjadi semakin tidak tenang. Aku bergegas bangun, meraih jaket dan kunci sepeda motorku. Di pintu depan Udoyok menghalangi jalanku. Tubuh prianya tidak sanggup kuterjang begitu saja. 

"Mau ke mana? Belekmu menggantung di bulu mata, tuh." Udoyok berkata.

"Tenanglah dulu, Lembut." Sena mengajakku duduk.

"Katakan saja dengan jelas. Siapa yang meninggal?" Aku mendesak mereka.

"Kuantar kau pergi ke rumah Adi, tapi berjanjilah untuk tetap tenang," kata Udoyok.

Apa ini? Untuk apa Udoyok membuatku harus berjanji? Perasaanku sulit dipaksa tenang. Aku mengharapkan Adi membalas pesanku. Alih-alih kekasihku, kawan pabrikku yang lain mengirimiku pesan berisi kabar duka. Mbak Karim meninggal dunia. Jantungku kontan serasa jatuh ke lantai.

Aku tahu dari mimpi semalam, kabar kematian Mbak Karim telah dibingkai rapi. Cepat atau lambat akan dilantunkan bersama kalimat tarji di toa-toa masjid, tapi biar sampai kapan pun, aku tidak akan pernah siap mendengarnya. Memangnya, aku bisa apa melawan iblis? Andaipun aku memiliki keberanian melawan Baphomet dan Lelaki Hitam Berselendang Kuning, aku hanya akan kalah. Hanya akan kalah. 

Aku menitihkan air mata penyesalan. Bicara tentang kematian, kita selalu dipaksa menerimanya, bukan?

Sementara Sena menjaga rumahku yang pintunya jebol, Udoyok mengantarku ke rumah Adi menaiki mobil Sena. Mobil MPV hitam di seberang jalan rumahku turut bergerak mengikuti laju kami dari belakang.

"Apa perasaanku saja kalau mobil belakang itu mengikuti kita?" Udoyok merasa kami dibuntuti.

"Mobil itu sudah sepekan mengikutiku."

"Apa kamu masih menjual tanaman transgenik tanpa surat izin?" tebak Udoyok menautkan dua alisnya.

Aku mengangguk.

"Astaga, Lembut! Apa Paman tahu kamu berulah lagi?"

Aku menggeleng. Aku malas bersuara. Tenagaku habis memikirkan keadaan Adi.

Lihat selengkapnya