Selama ini kegiatan bebersih lingkungan dilimpahkan pada Pak Bas. Seminggu sudah semenjak tukang kebun itu jatuh sakit, lalu kemarin meninggal dunia, rumput-rumput tidak ada yang menyiangi, semak tumbuh tidak beraturan dan guguran daun berserakan. Bekas taman melati yang terbakar juga belum direboisasi. Terlebih area pemakaman keluarga Rijckloff punya taman yang cukup luas. Rerumputan di sana sudah setinggi betis orang dewasa hingga menenggelamkan foto-foto para mendiang pada batu nisan.
Pagi-pagi sekali sebelum para karyawan berdatangan. Na dan Bu Inggrid hendak menziarahi makam Pak Bas. Pak Basuki dikuburkan di makam keluarga pendiri pabrik dan perkebunan teh. Rupanya, mereka satu kroni. Jalan Na masih timpang karena kecelakaan. Tampak Bu Inggrid telaten menuntun Na berjalan bersama-sama.
Selesai memanjatkan doa di makam Pak Bas, Inggrid mengajak Na menyambangi pusara Tuan Willem dan Sabastian. Di situ mereka menekuri kedua nisan bergiliran. Wajah bersedih mereka menggambarkan betapa rindunya mereka memiliki keluarga utuh. Ibu dan anak itu kemudian terdampar di pusara Tuan Bill dan Nyonya Leri Rijckloff.
Foto pada nisan Tuan Bill Rijckloff menggunakan potret dirinya terakhir kali mengunjungi studio foto. Usianya menginjak enam puluh tahun waktu itu, sedangkan foto di batu nisan Nyonya Leri Rijckloff menggunakan cetakan lamanya di akhir usia tiga puluh tahun. Anggun dan cantik, mirip sekali dengan bibi Na ketika masih muda.
"Apakah Bibi Margaret akan datang?" Na bertanya mengingat Pak Basuki masih saudara jauh mereka.
"Bibimu tidak akan pernah kemari. Kejadian ketika warga kampung dengan begitu brutalnya menghabisi keluarga kita telah mencetak trauma besar di hatinya. Karena bibimu tidak mau kembali, Mama yang harus menghidupimu tidak punya pilihan selain mengambil semua aturan main dari kakek dan nenekmu." Ini di luar kebiasaan wanita bersangul itu. Inggrid bicara sedikit lebih banyak dan terbuka.
"Mama tak benar-benar kehabisan pilihan. Masih ada kakung saat itu. Tapi Mama memilih mengabaikan kakung. Lagipula, tadi aku hanya bertanya apa Bibi akan datang?" Pandangan Na terpaku di tanah, menyeringai. Ini waktu yang tepat baginya untuk mengetahui hal-hal yang seharusnya ibunya jelaskan kepadanya. "Tentang aturan main. Apa ada hubungannya dengan kematian karyawan-karyawan resign? Bisakah kita hentikan semuanya, Ma? Kembali ke jalan Tuhan."
Inggrid urung mengusap pundak putrinya. Jemarinya mencengkram udara. “Kamu tidak tahu apa yang terjadi pada malam panas itu, Nak. Andaikan kamu melihatnya,” gumam Inggrid, sinar matanya meredup.
Na menggeleng. “Aku keluar dari lemari di atas loteng dan melihat siapa saja yang didorong ke dalam api. Siapa pula yang mendorong mereka. Bagaimana aku akan lupa. Mama yang lupa kalau aku juga bisa melihat semua,” ujar Na, “termasuk semua yang tidak terlihat. Mari hentikan, Ma! Hentikan mengutuk orang-orang tidak berdosa. Masa lalu sudah selesai.”
Inggrid menggeleng. “Sudah sepantasnya warga kampung menanggung akibat dari perbuatannya dahulu. Itu karma untuk mereka. Bukan kutukan." Inggrid berkata tanpa rasa bersalah dan tanpa rasa penyesalan. Baphomet pasti membisikkan kalimat sesat itu kepadanya dengan merdu.
Karma merupakan program semesta atas segala perbuatan manusia, sedangkan kutukan adalah sumpah serapah yang dikobarkan dengan amarah. Na mampu membedakan dua kata tersebut secara bijak, tidak tercampur-baur oleh rasa.
“Aku tidak mau menggantikan Mama. Aku tidak mau pabrik dan perkebunan. Kalau Mama memaksaku menggantikan tempat di meja tengah itu, aku akan mengakhiri semuanya. Apapun yang terjadi padaku nanti. Aku tidak takut,” kata Na.
“Siapa suruh kau pulang, Na? Kenapa tidak seperti Sabastian? Diam dan bersembunyi.” Inggrid menunduk. Sejak awal ia tak begitu senang dengan kepulangan putrinya. Belasan tahun ia menahan-nahan Na tetap di Belanda. Inggrid pikir ia telah berhasil menjauhkan kedua anaknya dari tempat terkutuk ini. Akan tetapi, tibalah saat ketika ia, begitu pun Margaret, tak bisa lagi menahan keinginan Na sebab kini anak itu telah dewasa.
Jeda yang lumayan panjang antara Narah dan ibunya. Jadi selama ini ibunya sudah lebih dulu tahu Sabastian masih hidup di suatu tempat. Na tampak tidak terkejut.
“Aku pulang untuk menemani Mama.” Pandangan Na ikut luruh ke tanah.
Langit mendadak bergemuruh. Awan mendung mendadak berarak menaungi mereka.
“Kembalilah lebih dulu, Nak, sebelum hujan turun! Mama akan tetap di sini menunggu seseorang datang,” ujar Inggrid memendam perasaan luluh akan ucapan putrinya. Kepulangan Na sepatutnya memang membuat hari-harinya bertambah hidup. Inggrid menjadi lebih bahagia melihat putrinya beraktivitas di sekelilingnya. Meski pada akhirnya Inggrid mesti memutar otaknya demi menjauhkan Na dari perjanjian darah keluarga Rijckloff, yang mana perjanjian itu telah merenggut hidupnya.
Hujan yang mendadak mengguyur pagi ini mengabarkan, bahwa seseorang datang dengan payung hitamnya. Na terhenti tepat di gerbang makam. Ia bertaruh pria yang memanggil hujan muncul saat dirinya menoleh. Betul saja, dari gerbang makam, Manuku terlihat sedang meletakkan karangan bunga di bawah nisan Pak Bas.
Inggrid dengan pandangan kelompang karena memikirkan soal perjanjian itu, menghampiri Manuku seolah berkewajiban menyambut pria itu. Manuku membaca apa nian yang membuat langkah Inggrid menjadi gontai sehabis bersama anaknya.
"Kelak apa putrimu akan mewarisi ritual perjanjian darah dengan iblis?" tanya Manuku pada Inggrid.
"Tidak.” Inggrid pernah waras dengan berpikir bahwa perbuatan menumbalkan nyawa manusia adalah tindakan keji. Untuk orang yang tidak dikelabui dendam dan hasutan seperti Na, menumbalkan nyawa manusia hanya akan menciptakan rasa bersalah yang berlarut-larut seumur hidup. Inggrid mengenal putrinya sebagai pribadi yang altruisme. Na tidak mungkin sanggup hidup menanggung rasa bersalah. “Aku telah memilih seseorang untuk memutus perjanjian darah kami,” ujar Inggrid.
“Kau selalu membuatku ketakutan dengan rencana-rencanamu,” kata Manuku.
“Bagaimana keadaan putraku?” tanya Inggrid mengganti arah perbincangan mereka.
“Dia tumbuh dengan baik.”
Hujan deras hanya lewat sesaat. Na tidak sampai basah kuyup. Dia terus memandang ibunya dan Manuku dari kejauhan. Pembicaraan kedua pelaku ekonomi itu tidak dapat diterkanya dari sini. Tapi bisa Na simpulkan kalau lima menit setelah hujan berlalu pergi, keduanya terlihat mulai gigih saat saling merespons. Adakah hal yang coba ibunya dan Manuku sepakati?