Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #31

Interpol Datang

Sudah seminggu aku tidak lagi melihat mobil MPV hitam itu lagi di depan rumahku. Walau begitu, aku masih saja bertanya-tanya, apa mereka Interpol atau pasangan mesum seperti kata Adi? Ketiadaan mereka beberapa hari ini justru membuatku semakin berhati-hati. Aku menganut peribahasa “air tenang menghanyutkan.

Na juga mulai menyepelekan alat bantu jalannya. Kami sempat saling menyapa pagi tadi ketika berpapasan di taman. Aku membaca keinginannya lewat sorot matanya yang indah itu, Na ingin berlama-lama denganku dari sekadar menyapa. Sayangnya, ia disibukkan belajar serba-serbi administrasi perusahaan bersama Elijah.

Hari ini adalah hari rabu. Adi masuk kerja dan membuang tiga hari sisa masa istirahatnya. Wajahnya lebih segar, lukanya sembuh. Seperti biasa, dia mengumpulkan semua karyawan pabrik dan mengawali hari kami dengan pertemuan singkat.

Usai itu Adi masuk ke ruangannya di lantai dua gedung pabrik. Tidak lama kemudian dua pria tegap memakai topi hitam diantar petugas sekuriti masuk ke dalam pabrik menemuinya. Perasaanku tidak enak melihat tatapan mata dua pria itu dari mesin sortasi. Rekan-rekanku mulai pada membahasnya.

Tak berselang lama kepala bagian sortasi dipanggil masuk. Dia kemudian diperintah memanggil beberapa pekerja perempuan untuk masuk ke ruangan mandor bersama-sama. Aku tidak termasuk dalam list yang kepala bagian sortasi bawa dari dalam ruangan mandor pabrik. Sekiranya satu jam kemudian satu per satu dari mereka diperbolehkan turun untuk kembali bekerja. Ada saja rekanku yang lain, yang tidak betah diganyang rasa penasaran melipir bertanya pada mereka yang baru saja turun.

Jawabannya sampai ke telingaku begini, Pak Adi hanya memanggil karyawan pabrik yang bernama Aisyah saja. Hanya ada tiga nama itu di parbik. Ketiga-tiganya diberi pertanyaan-pertanyaan. Dua pria bertopi dapat dipastikan mereka adalah polisi lapangan. Mereka punya surat tugas menangkap seorang perempuan berusia kurang lebih dua puluh empat tahun—usiaku tahun ini. Bodohnya dua pria itu hanya mengantongi nama dan umur buronannya, sedangkan nama-nama pada dokumen yang kuserahkan ke pabrik bukan lagi tertulis Aisyah. Nama itu sudah lama hilang. Nama itu hanya kupakai saat transaksi tanaman dan saat-saat yang lain, seperti mendaftar di pos pegunungan atau di mana saja yang tidak perlu orang tahu tujuanku.

Dari cerita yang beredar, dua pria bertopi itu juga sempat menemui mandor kebun. Namun, semua buruh pemetik teh berusia baruh paya. Jelas tidak mungkin mereka menemukan buronannya.  Menuju ke mandor pabrik pun sebenarnya hasilnya tetap nihil. Perempuan buruan mereka terkenal licin seperti belut. Pak Adi menanggapi mereka seperlunya. Selebihnya, Adi hanya membagi senyuman.

Hari ini Adi langsung menyuruhku pulang lebih awal untuk mengemasi barang-barangku. Dua pria yang tadi menemuinya akan kembali besok pagi. Mereka ingin memeriksa semua karyawan berusia dua puluh empat tahun. Aku sangat tegang dan gelisah mengetahui Interpol berhasil mengendusku sampai kemari. Jika besok aku tidak pergi, mereka akan meringkusku semudah menangkap lalat menggunakan raket listrik.

Adi menyewa jasa pikap Ipung untuk membantuku. Sisanya—perizinan dan dokumen-dokumen sitaan pabrik—diurus oleh Adi. Adi mungkin bisa berdiskusi dengan Elijah soal mempercepat proses pengunduran diriku.

Sore tiba. Mobil Adi menderu kasar dan berhenti di depan rumahku. Dilihatnya pikap Ipung belum terisi satu pun barang bawaan. Ada mobil Sena juga di halaman. Udoyok dan Sena datang setelah kumintai pertolongan darurat.

Ipung keluar setelah mendengar deru mobil iparnya. Dia langsung menyambar Adi. "Tidak cukup, Mas! Lembut memaksa membawa semua tanaman rumah kacanya."

"Di mana dia?"

"Di belakang," tunjuk Ipung.

Lihat selengkapnya