Sementara itu banyak sekali hal yang menggelandang Adi terus berpikir selama perjalanannya menuju rumah utama. Malam ini Bu Inggrid mengundang Adi makan malam guna membahas pengunduran dirinya. Itu artinya Bu Inggrid berharap Adi mempertimbangkan keputusannya sekali lagi. Tapi, Adi sudah mematangkan keputusannya. Ia sungguh memilih meninggalkan pekerjaannya yang juga sepaket pergi meninggalkan ibu dan adiknya. Tak pernah terbayangkan kalau pada akhirnya dia akan membuang pekerjaan yang selama ini membuatnya merasa hidup sebagai manusia layak. Entah apa konsekuensi yang bakal dia dapat. Mati atau beruntung seperti Bang Salim dan Iriana.
Teringat dia pada Bang Salim. Tak berselang lama usai Adi menekan gambar telepon di layar ponselnya, dia berhasil terhubung dengan Bang Salim. Tentu nomor yang disimpannya berbeda dengan nomor yang Mbak Karim ketahui. Bang Salim sudah lama mengganti nomor teleponnya. Hanya beberapa dari kenalan Bang Salim yang dikabari soal nomor baru itu. Adi salah satunya.
"Assalamu'alaikum, Bang!" Meski Adi beragama Katolik, dia sudah biasa beruluk salam dengan kultur muslim pada orang-orang bergelar haji dan gelar kehormatan lain dalam Islam. Orang-orang seperti mereka terbiasa mengimplementasikan salam mereka kepada semua orang tanpa mengkategorikannya lebih dulu. Lagipula itu hanya sebuah bahasa dari negara lain. Adi tidak terlalu mempermasalahkannya.
"Wa'alaikumsalam wa rahmatullahi wabarakatuh! Adi, kah? Ada apa, Dik?" balas Bang Salim memanggil Adi dengan sebutan "adik". Adi merupakan adik kelas SMA-nya dulu yang kemudian menggantikannya di akhir masa jabatannya.
"Yah, Bang ini aku. Maaf menganggu waktumu. Bagaimana kabar Abang di Jakarta?" Adi mengeraskan suara ponselnya untuk kemudian meletakkannya di atas dashboard sembari mengemudi.
"Alhamdulillah, aku dan keluargaku sehat. Bagaimana kabarmu di pabrik dan perkebunan?"
"Itulah Bang, ada yang ingin kutanyakan pada Abang. Boleh aku meminta waktumu sebentar?"
"Tentu, Dik." Bang Salim seperti menangkap sinyal kekhawatiran. Hela napasnya terdengar berat di telepon.
"Ini mengenai resign Abang dulu—"
"Sebentar aku memotong, apa kamu memimpikan karyawan-karyawan yang memberikan surat pengunduran diri kepadamu?"
Keduanya hening sejenak.
"Iya, Bang," kata Adi lirih, "aku berpikir itu hanya sebuah mimpi."
"Tidak ada mimpi yang begitu terasa nyata dan berkesinambungan, Dik. Aku takut tidak bisa membantumu."
"Sebenarnya aku ingin berhenti bekerja," Adi mulai kehilangan suara besarnya, "aku tidak mau bertahan di tempat ini."
"Aku tahu. Aku tahu bagaimana perasaanmu sekarang. Jujur, perkara pengunduran diri tidaklah mudah. Nyawa taruhannya. Sebab kutukan itu nyata. Bapakku seorang dukun. Dia yang membantuku selamat, tapi bapakku tidak. Sesuatu yang disembah Bu Inggrid luar biasa kuat. Kamu harus hati-hati, Dik." Bang Salim sama-sama kehilangan suara besarnya. Demikian ia menceritakan kisah selamatnya dari kutukan di pabrik dan perkebunan.
Adi menyandarkan punggungnya, masih sambil berkendara. "Bang, masih ingat Iriana? Kepala HRD yang dulu."