Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #33

Telah Tiba Waktuku

Makan malam mengejutkan itu menyisakan Minanti di meja makan. Tangannya bergetar seraya mengepak sisa makanan yang tak terjamah sama sekali. Setelah mengetahui nasibnya bekerja di sini, niscaya seumur hidup dia akan selalu merasa dekat dengan kematian. Minanti menjatuhkan dengkulnya di lantai sambil mencengkram sudut meja. Dia menangis tanpa suara.

Malam ini juga bakal menjadi malam menyakitkan bagi Narah. Baru saja Na mengizinkan jiwanya keluar dari raganya yang tengah duduk di kursi meja belajar Sabastian sambil mengusap foto anak laki-laki itu. Dia berkata pada tubuh fisiknya, “Aku akan mencoba mengakhiri ini.” Tubuh fisiknya mengangguk seraya tetap memandang foto Sabastian. 

Jiwa Na lalu menembus pintu. Berhenti sejenak untuk mengerahkan keberaniannya berjalan menuju ujung koridor. Tapi kepalanya tidak menyimpan rencana. Akan lebih baik seandainya dia tidak tahu apa yang sebentar lagi terlihat dari ujung koridor itu.

Sesampainya Na di ujung koridor, tampak ritual penumbalan telah dimulai di meja makan. Ini pertama kali Na melihat ritual berlangsung di dimensi empat. Dulu ritual diadakan secara ragawi. Dan, ketika keluarganya mulai menyanyikan kidung-kidung pemanggil iblis, Na kecil dan adiknya digiring ke dalam kamar. Papanya yang selalu absen mengikuti ritual pemujaan itu memilih menemani anak-anaknya tertidur seraya membacakan kisah-kisah 12 rasul Yesus kepada Na dan Sabastian.

Kini ritual berlanjut dalam dimensi yang berbeda demi menghindari bukti-bukti nyata yang berisiko tinggi ketahuan warga. Selalu ada lima manekin hidup mengelilingi meja persegi panjang di ruang tengah rumahnya. Tak seorang pun dari kelimanya menyadari Na mengintip di koridor. Di meja makan itu tidak menyajikan menu hidangan. Hanya ada lima lilin merah menyala. Saat kelima manekin  berdiri bersama-sama, manekin Inggrid terlihat sebagai sosok yang paling menonjol karena hanya dia yang sosoknya tidak ditutup-tutupi.

Lelaki Hitam Berselendang Kuning bergerak naik ke atas. Dia membawa turun satu manekin yang masih terbungkus kain warna putih lusuh. Tak berselang lama sesuatu menyusul turun. Derap langkahnya berat, menggetarkan lantai-lantai. Itu langkah kaki Baphomet.

Na selangkah mundur melihat kemunculan Baphomet. Tenggelam dia dalam bayangan koridor. Dia takut. Sedari kecil Na menolak terlibat komunikasi dengan iblis bermata merah yang dipuja keluarganya itu.

Lalu derit pintu depan rumah utama terbuka. Seseorang diundang masuk menghadiri ritual. Kehadiran orang tersebut  begitu mengejutkan Narah. Manuku berjalan menghampiri meja panjang dengan tenangnya, lantas pria itu memilih duduk di kursi paling jauh. Selayaknya tamu, Manuku bersikap santun. Namun, pembawaannya yang tegas dan jauh dari rasa takut tetap tak berubah. Baphomet tidak mempan membuatnya bergidik.

Manuku mengendus seseorang bersembunyi di dalam bayangan koridor. Sejak dirinya datang untuk bertamu, seseorang yang mengintip dari koridor langsung menunjukkan gerak-geriknya. Semua manekin orang yang berkumpul di ruang tengah itu tak menyadari karena mereka memunggungi koridor. Sebetulnya Manuku agak ragu membiarkan Narah melihat apa yang akan terjadi dalam ritual malam ini. Melihat mata Na yang terus memancarkan keingintahuan, Manuku paham, dia tak mungkin berhasil menyuruh Na berbalik.

Lelaki Hitam Berselendang Kuning membuka kain penutup manekin yang dibawanya dari atas. Dia tiba-tiba mundur beberapa langkah setelah membukanya.

"Aku tidak bisa," gumamnya. Lelaki Hitam Berselendang Kuning menjauhkan dirinya dari manekin yang wajahnya membentuk rupaku. Sebetulnya dia sudah tahu bahwa malam ini dalam mimpinya dia menerima tugas untuk membunuhku, tapi mendadak saat menghadapiku unsur manusianya memberontak.

Na terkejut bukan main.

Aku sama sekali tidak merasa berdiri di antara mereka. Malam ini aku sedang kesulitan tidur. Sepanjang perjalanan di dalam mobil pikap Ipung, aku memikirkan Adi dan berharap Paman menyanggupi permintaanku untuk menyelamatkan kekasihku juga.

Lihat selengkapnya