Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #34

Kabar Duka yang Ketiga

Subuh-subuh sekali delman yang dikendarai Supri menurunkan Minanti di depan gerbang komplek pabrik. Minanti membawa banyak kunci yang dikaitkan pada selingkar besi. Kabut menyelimuti dataran tinggi hampir setiap hari di waktu pagi. Dan, kalau kabut sedang tebal-tebalnya seperti hari ini, matahari bakalan terlambat muncul. Tahu-tahu nanti siang matahari sudah di atas gunung. Minanti menahan Supri untuk tidak pergi lebih dulu sebelum dia berhasil membangunkan petugas sekuriti di pos jaga.

Gerbang besi ini masih bentukan awal dari pembangunannya yang pertama kali. Dinding temboknya menjulang tinggi selayaknya benteng-benteng kolonial. Ukuran kunci gerbangnya saja sepanjang satu jengkal tangan wanita, masih sangat kuat dan berfungsi dengan baik. Meski usianya sudah berabad-abad, gerbang ini tetap kokoh. Pemilik pabrik dan perkebunan yang pertama membangunnya untuk perlindungan. Konon, dia menempatkan makhluk tak kasatmata di depan gerbang untuk mengelabui tentara Jepang. Benar saja, pasukan Jepang tak melihat ada komplek pabrik dan perumahan di balik tembok ini.

Minanti mengizinkan suaminya pergi setelah ia menggedor keras-keras kaca pos jaga. Pria di dalamnya terperanjat bangun. Melihat jarum jam menunjuk pukul lima, petugas pos lega karena telah melalui sif malam yang rasanya panjang dan mengurut mental. Minanti berlalu masuk ke dalam rumah utama, lantas petugas itu baru berani berkeliling ke sekitar pabrik memastikan semua aman saat ditinggal tidur semalaman. Lebih baik tidur daripada diganggu setan. Itu kiat jaga malam dari petugas. Lagipula pabrik dan rumah utama sudah dijaga oleh sosok penunggunya masing-masing. Maling gila macam apa yang berani melawan setan Genderuwo dan Delima si siluman ular.

Sesuai tupoksi anyarnya, Minanti membuka semua pintu dengan kunci duplikat yang dibawanya. Ketika membuka rumah utama, dirinya dikagetkan oleh majikannya yang duduk  dengan berlipat tangan sendirian di ujung meja makan. Mata Bu Inggrid membelalak ke arah pintu. Rambut yang kesehariannya disanggul rapi terurai. Majikannya juga terlihat masih mengenakan piyama tidur kemarin malam.

"Assalamu'alaikum, Bu!" Minanti menyapa. Biasanya majikannya itu membalas sapaannya dengan kalimat “selamat pagi” atau akhir-akhir ini sejak Na kembali dari Belanda, Inggrid keceplosan bilang, goedemorgen.

Akan tetapi, Bu Inggrid tak kunjung membalas tegurannya. Minanti mendekat. Bola mata Bu Inggrid tidak mengikuti ke mana dirinya bergerak. Bu Inggrid masih saja lurus menatap pintu,  meski Minanti tidak mendapati ada sesuatu di daun pintu itu. Semakin Minanti mendekat, semakin yakin ia bahwa majikannya tampak aneh. Ujung jari Bu Inggrid hitam kesepuluh-puluhnya, bibirnya biru, dan wajahnya kaku.

Minanti mencoba menggugah dengan menggoyang pundak majikannya pelan dan sopan. Bu Inggrid yang pucat dan terasa kaku tetap tak merespons. Pada tahap rigor mortis ini Minanti sadar, dia tidak mungkin bisa membangunkan majikannya yang telah menjadi mayat. Minanti berlari menuju koridor seraya memanggil-manggil Narah. Minanti tidak menemukan Na di kamarnya, dia justru membangunkan Na di kamar Sabastian. Dia menyampaikan pada putri tunggal majikannya itu dengan tergugu bahwa sang ibu telah tiada.

Kabar duka yang ketiga ini menghentikan seluruh aktivitas pabrik dan perkebunan. Karena tidak ada sanak saudara yang datang, Bu Inggrid dikuburkan siang harinya, di samping makam Tuan Willem. Papan ucapan dukacita dan karangan bunga berdatangan dari para kolega memenuhi pelataran rumah utama hingga pelataran pabrik. Suasana sendu menyelimuti seluruh pabrik dan perkebunan, mungkin sampai beberapa hari ke depan.

Orang-orang silih berganti datang dan pergi di makam penuh bunga bertulis "Inggrid Purwanti Rijckloff". Sedari tadi Na terus memeluk foto ibunya di samping gundukan tanah yang masih basah. Na hanya berdiri di saat harus melayani orang-orang yang mengucapkan belasungkawa kepadanya. Dia tidak memiliki sepatah kata untuk diucapkan selain "terima kasih" kepada orang-orang yang berdatangan karena telah mendoakan dan memberi penghormatan terakhir kepada ibunya.

Empat jam berlalu, Minanti tetap setia memayungi Na yang belum ingin pergi. Terdengar derap sepatu besar berhenti. Na tahu pemiliknya. Adi baru menampakan batang hidungnya di saat matahari setengah turun. Itu pun karena mendengar dari orang-orang kalau Na susah dibujuk pulang. Adi menunduk dan berdoa. Selepas itu ia berkata kepada anak majikannya.

"Aku turut berdukacita, Na."

Seorang pembunuh yang datang ke makam korbannya tanpa menjinjing sesal, ditambah dengan beraninya memandang keluarga yang ditinggalkan sambil mengatakan dukacita, maka orang itu sudah bukan lagi manusia, tapi iblis. 

"Berapa orang yang sudah kamu bunuh? Apa menyiksa katak tidak cukup memuaskanmu?" Suara Na lemah. Rasa-rasanya Na tak sudi mengajak Adi bicara meski untuk mencela.

Adi senyap. Ternyata Na masih mengingat dengan sangat baik soal katak-katak di belakang kelas yang Adi dapatkan. 

Lihat selengkapnya