Iriana menghabiskan dua gelas teh lemon di ruangannya hanya untuk menunggu seseorang. Secara khusus orang tersebut menjadwalkan diri bertemu dengannya di akhir jam operasional. Iriana tidak keberatan. Sudah bagus klien satu itu mau datang setelah berbulan-bulan tidak kembali ke klinik psikologinya.
Satu jam setelah tulisan tutup terpampang di pintu kaca, seorang klien pria datang membuka pintu tanpa keragu-raguan. Pria itu menuju meja resepsionis. Kehadirannya sudah di nanti-nantikan petugas yang terpaksa harus mengulur jam pulang. Resepsionis dengan ramah mengarahkannya ke ruangan konseling yang berada di lantai dua.
Ruangan berukuran 4x4 meter persegi menyapa. Sudah duduk Iriana di sofa tunggal yang menghadap meja kecil dan sebuah sofa panjang. Ruangan konseling itu memiliki sebuah taman kecil outdoor yang terpisahkan oleh partisi kaca. Batu-batu kali, rerumputan alami, bunga-bungaan indah, tanaman rambat, dan kolam ikan koi tertata apik, menarik, dan nyaman. Ditambah pula suara menentramkan dari gemericik air kolam. Tempat ini memiliki cukup energi dalam menghipnotis seseorang untuk menyuarakan keluhannya.
"Selamat sore, Adi!" sapa Iriana kala pintu ruangannya dibuka dari luar.
"Sore Iriana!" Adi mengisi sofa panjang yang empuk, yang juga menenggelamkan puluhan klien Iriana secara bergantian.
"Kabar duka dari rumah utama sampai padaku pagi tadi. Aku belum bisa melayat. Janji temuku dengan beberapa klien hari ini sangat padat. Na pasti terpukul. Kamu satu-satuya teman baik yang dia butuhkan." Iriana mengawali.
"Yah, begitulah,” respons Adi sangat tanggung. Adi menoleh ke taman mini. Bunga hortensia ungu yang tumbuh di sana mengingatkannya padaku. Kalau Adi pikir-pikir, bunga itu selalu tumbuh di dekatku dan orang-orang terdekatku.
"Bagaimana keadaanmu, Adi?"
"Aku merasa jauh lebih baik seperti ini." Adi mengatakannya dengan ekspresi datar.
Di atas meja kecil bundar tepat di depannya, tergeletak kotak plastik berisi mainan figure family. Iriana sengaja meletakkannya di sana untuk dimainkan para kliennya selagi mereka berkeluh kesah. Mainan itu sangat efektif dalam membantu para kliennya yang sukar mengungkapkan persoalan hidup dengan kata-kata.
Adi mengambil satu figur laki-laki, mendirikannya di tengah meja. Ia membiarkan Iriana mengevaluasi pikirannya melalui mainan itu. Sebentar-bentar fokusnya teralihkan ke arah taman. Adi seakan dapat melihat sentuhanku pada tiap helai mahkota bunga hortensia di taman.
"Jika cahayanya menyilaukanmu atau bunga itu mengingatkanmu pada Lembut, aku bisa menggeser gordennya," ucap Iriana.
Adi mengangguk, minta taman mini itu ditutup. Iriana segera mengerudungi partisi kaca dengan gorden. Ruangan itu kini hanya mengandalkan penerangan dari lampu meja. Iriana menatap wajah Adi yang dibasuh cahaya seadanya. Iriana merasa ada yang berubah dengan garis wajah pria di depannya itu. Adi terlihat lebih datar, tenang, dan dingin dari biasanya. Kemudian Adi mengeluarkan botol kecil berisi obat dari saku jaketnya dan meletakkan botol itu di atas meja kecil.
"Aku tidak memberikanmu resep. Apa kamu juga mengunjungi psikiater, Adi?" tanya Iriana.
"Datang kepadamu saja aku sering mangkir apalagi psikiater."
"Apa obat itu bekerja?" tanya Iriana.
"Lembut lebih efektif daripada obat ini." Adi meringis.
Iriana tersenyum. Begitulah semua orang di panti merasakan hal yang sama.
Adi memainkan miniatur di atas meja lagi. Kali ini dia menyandingkan figur wanita di samping figur pria. Adi bersandar, merelaksasikan punggungnya yang tidak pegal, tapi terasa berat. Sofa yang didudukinya begitu nyaman. Pikirannya sempat berkelana. Kira-kira Iriana menghabiskan berapa juta hanya untuk melengkapi ruangan ini dengan sofa yang sepertinya berharga mahal?
"Sudahkah kekasihmu memberi kabar hari ini? Kudengar dari Sena, Lembut berangkat ke Papua kemarin sore." Iriana menggiring Adi kembali ke tujuannya datang kemari.
"Aku sengaja tidak membalas pesannya."
"Kenapa?"
"Keputusanku bisa sangat menyakitkan buatnya. Aku ingin mengajarinya tidak mengharapkanku."
"Kalian berniat LDR? Atau kamu berencana memutuskannya?” Apapun keputusan Adi, Iriana tetap tidak berhak mencampuri urusan kami. Adi pasti punya alasan mengapa berlaku demikian terhadapku. Mungkin Adi ada benarnya, aku harus fokus pada apa yang kukejar. Hanya saja, ini fatal bagi Adi kalau kami terpisah jauh. Kehadiranku berdampak baik dalam membantu Adi mengelolah emosinya.