Adi sungguh membuang semua obat antidepresan miliknya. Malam ini dia tidak punya kesibukan. Sepulang dari klinik Iriana, Adi mampir ke warung miras untuk membeli satu krat minuman keras. Ia tak perlu lagi berlangganan minum di sana sampai tengah malam. Mulai hari ini dia bisa langsung pulang ke rumah dinas tanpa mengkhawatirkanku.
Melewati rumah utama dan pabrik yang penuh jajaran karangan bunga dukacita, Adi memperlambat laju kendaraannya. Dilihatnya juga sebuah mobil terparkir di halaman rumah utama. Menandakan Na sedang menerima tamu. Mungkin kolega sebab rasanya tidak mungkin keluarga Bu Inggrid peduli pada kematiannya. Namun siapa pun itu tetap melegakan. Setidaknya Na yang muram jadi tak terlalu muram malam ini.
Di dalam rumah besar itu, Narah berkumpul bersama Udoyok dan Sena. Minanti tak luput mengambil bagian makan malam bersama di antara ketiganya. Sebentar lagi Harto juga akan bergabung. Kendati wajah Na terlihat masih sembab, tetapi kedatangan dua saudara pantiku itu tekun sekali dalam melipur. Udoyok dan Sena menguarkan aura yang menghibur. Mereka setelan pelawak. Guyonan Udoyok condong ke bualan, sementara Sena senang memparadokskan berbagai hal menjadi lucu. Kala mereka berdua saling menimpali, satu meja tertawa terpingkal-pingkal. Khususnya Minanti yang kalau tertawa suka lupa diri.
"Aku kenal manusia yang sulit dibuat tertawa. Akan kutelepon orangnya." Udoyok menekan tombol pengeras suara. Nada sambung terdengar keras.
"Paman Manuku?" tebak Sena. Agaknya ia kurang setuju ide Udoyok.
"Tenang saja! Bukan Paman. Ponsel Paman kan, tidak berguna."
"Benarkah?" Na tertarik bertanya tentang Manuku dan mengapa ponselnya tidak berguna.
"Panggil namanya 3 kali dia akan datang. Tidak perlu ponsel-ponselan segala," seloroh Udoyok.
"Jangan percaya! Paman kami bukan Jailangkung," tepis Sena. Tertawa sebentar.
"Kami pernah bertukar nomor, tapi paman kalian tidak sekali pun menghubungiku," ucap Na.
Udoyok dan Sena lantas terbahak-bahak.
"Bagaimana dia akan menghubungimu kalau Paman saja suka lupa kata sandi ponselnya," kata Udoyok.
“Jangankan kata sandi, Paman juga sering lupa di mana ia menaruh ponselnya terakhir kali,” imbuh Sena. Ia dan Udoyok tertawa kesekian kalinya.
Terhubung. Aku mengangkat panggilan video Udoyok. Udoyok menyapaku riang gembira. Aku dapat melihat bahu Sena di sampingnya, tak lama kemudian Sena melongok ke layar. Menyapa.
"Assalamu'alaikum. Bagaimana perjalanan lautmu, Lembut?" Sena menyambar.
"Wa'alaikumsalam. Sejauh ini lancar. Kalian makan malam bersama?" tanyaku.
Udoyok dan Sena serentak mengangguk. Mulut mereka mengunyak makanan. Senang alu cepat-cepat menelan makanannya untuk berkata, "Menu makan malam kami mengingatkanku padamu. Gulai kambing dengan roti maryam." Sena mencubit pinggiran roti maryam, memperlihatkannya padaku.
"Oh, yah, Lembut. Kami makan malam di rumah Narah," sahut Udoyok seraya menggeser ponselnya, memperlihatkan wajah ayu Narah di seberang meja kepadaku.
Na tersenyum. Mata bengkaknya kentara sekali dari kamera layar.
"Jangan tanya pacarmu! Dia tidak ada di sini." Udoyok ceplas-ceplos.
Aku bisa mengamati ekspresi Na yang mendadak mangkel mendengar siapa yang dimaksud Udoyok.