Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #37

Pergi Jauh

Oke, Rei, aku sudah menghitung lama perjalanan kita. Ini masih tiga jam dari yang seharusnya lima jam. Pemandangan bumi Papua luar biasa indah, tapi panas sekali di dalam mobil. Aku sudah hampir menyerah. Kamu menyewa pikap yang AC-nya rusak. Aku banjir keringat hingga tidak terasa aku menghabiskan persediaan air minum kita. Melihat handuk kecil di bahumu—mirip yang biasa dibawa sopir truk untuk mengelap keringat—yang berarti kamu tahu cuaca di Papua akan sepanas ini. Sepertinya kamu sengaja ingin aku tewas dalam perjalanan.

Rei berhenti ketika kami sampai di ujung jalan aspal. Selain bajuku yang basah oleh keringat, handuk Rei juga nyaris bisa diperas.

"Belum ada dana lagi dari pemerintah untuk melanjutkan proyek pengaspalan," kata Rei mengusap keringatnya dengan handuk, "kita istirahat dulu, Lembut."

Aku langsung turun, berlari ke bawah pohon kelapa. Berteduh. Ini gila. Aku seolah di panggang hidup-hidup di dalam pikap sialan itu sampai-sampai aku tak punya waktu menikmati pemandangan. Sepanjang jalan aku hanya mengumpat dalam hati. Dan Rei ... dia tidak punya rasa sungkan-sungkannya terhadapku yang seperti kena tipu ini. Memangnya apa yang kuharapkan? Aku segera tersadar, sudah bagus dia mau menjemputku.

Sepoian angin di bawah pohon kelapa bagai kenikmatan yang tak terbantahkan. Untuk sesaat Rei membiarkanku melihat-lihat pemandangan. Di sebelah kiri jalan, agak turun ke bawah, ada pantai yang lautnya biru dan pasirnya putih. Ombaknya ramah. Aku ingin menggelinding ke bawah, bermain dengan pasirnya yang bersih dan berenang bersama ombaknya yang bergulung santai, sayangnya setelah tersiksa di dalam mobil kematian itu aku tidak berdaya jika harus melalui tebing walau sebenarnya tidaklah terlalu curam. Kemudian bukit hijau yang membentang di sisi kanan jalan menjinakkan keinginanku. Seindah ini panorama yang kulewatkan sedari tadi.

Matahari tepat di atas kepala. Rei kuat berpanas-panasan di dekat pikap. Matanya menebar seperti jala ikan. Kaum wanita pemuja kulit putih sepertiku kasihan melihat kulitnya yang kuning langsat disengat panas matahari. Rei yang kelihatannya punya pigmen kulit cerah tidak peduli. Dia tidak takut kulitnya gosong. Gosong pun bisa kembali dalam waktu seminggu tanpa menggosoknya dengan krim pemutih.

Tak lama kemudian Rei melambai ke anak-anak Papua yang bermunculan dari balik bukit hijau. Di balik bukit itu terdapat perkampungan warga lokal. Anak-anak Papua: kulitnya coklat kehitam-hitaman, rambutnya keriting kecil-kecil, bibir mereka tebal, dan hidung mereka mancung dengan ujung yang besar mendekat ke arah Rei. Mereka berakrab-akraban dengan Rei.

"Ko libur sekolah kah?" Rei bicara memakai logat mereka.

"Kitorang libur semester." Anak-anak itu menjawab. Mereka seperti sudah mengenal Rei lebih lama dari jalan aspal.

"Sa beli dua botol." Rei menukar uang dengan dua liter air minum kepada anak-anak itu, bonus sekantung permen. "Sa ada permen untuk kamorang. Jang barebut e!"

Mereka masih saja berebut. Aku ikut senang. Selesai menebar kegembiraan pada anak-anak itu, Rei mendekat ke bawah pohon kelapa, membawa satu botol air mineral kemasan. Dia juga memberiku permen mint yang dia sisakan. Dari pada mengkhawatirkan bau mulut, aku lebih mengkhawatirkan bau badan. Rei membaca wajahku saat menerima permen itu darinya.

"Kamu tidak bau, kok. Aku yang bau." Rei menjaga jarak, tapi sungguh aku tidak masalah. Dia tidak sebau badan yang dia cemaskan.

"Apa masih jauh, Rei?"

"Tidak, Lembut. Tian mengabariku, dia sudah dapat kapal." Sehabis membaca pesan pada ponselnya, Rei memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan lanjut berkata, "Oh, ya, sampai sini sinyalnya akan semakin buruk dan di distrik kita nanti kamu akan sangat kesulitan berkomunikasi dengan dunia luar. Jika ingin menghubungi seseorang—Sena, keluargamu, atau kekasihmu—lakukan sekarang."

Proyek yang mengumpulkan sekelas ilmuwan tidak menyediakan sinyal telekomunikasi?

"Ada. Karena ini proyek rahasia jadi semua jaringan internet terpaksa harus diperketat. Kita masih bisa menggunakan internet, tapi kita dilarang berkomunikasi dengan siapa pun di luar distrik. Foto, angka, huruf, simbol sandi apa pun yang kamu unggah nantinya juga akan melalui proses filtrasi dengan saksama. Em ... kita semacam diretas."

Aku segera menghubungi Sena, mengabarkan kalau satu jam ke depan aku akan bertemu dengan temannya yang bernama Tian dan menyeberang selat. Rei bilang lokasi distrik bertempat di sebuah pulau seluas 300 kilometer persegi. Sena mengiyakan semua ucapanku.

Aku tidak jadi menghubungi Paman, mengingat Paman selalu meninggalkan ponselnya di kamar. Sementara Adi, aku merasa harus menghubunginya karena mungkin aku tidak bisa dihubungi dalam waktu yang lama. Ini tidak ada hubungannya dengan berhenti berharap atau menahan diri.

Lihat selengkapnya