Na meraba permukaan meja kerja ibunya di lantai dua. Produksi air matanya sudah mencapai target maksimum. Na tak lagi ingin atau bisa menangis. Dia harus lekas menyudahi kesedihan. Pabrik dan perkebunan pasti bakalan menghadapi resesi sepeninggal ibunya. Supaya dapat melalui masa sulit itu, pabrik dan perkebunan butuh pemimpin baru yang tidak manja, tidak malas, dan tidak memusingkan urusan privasi di dalam rumah. Membaurkan pekerjaan dengan tempat tinggal adalah suatu ide yang rupanya dapat menyederhanakan kesibukan.
Pintu diketuk. Minanti masuk membawa seikat bunga sedap malam dari pasar. Tangannya dengan cekatan mengerjakan tugas menata nakas panjang di bawah lukisan keluarga. Wajah Minanti menggambarkan seseorang yang tegar menghadapi nasib buruknya. Di tengah kesibukan kecil mengganti bunga lama dengan bunga segar, Minanti bertanya kepada Na, "Mbak Na, roti selai bluberi apa mau saya bawa ke atas?"
"Tidak perlu. Saya akan bawa sendiri setelah briefing." Sebagai pewaris yang terlepas dari perjanjian darah antar keluarganya dengan iblis, Na merasa berat memikul keberuntungan. Dia merasa digayuti rasa bersalah setiap kali berinteraksi dengan karyawan-karyawannya. Kebaikan kecil seperti meringankan pekerjaan Minanti dengan membawa sendiri sarapannya terasa tidak bernilai.
Minanti kembali turun ke pos dapur menyiapkan jatah teh dan kopi karyawan. Bunga yang ditinggalkannya dalam vas bening meriliskan senyawa organik ke segala penjuru ruangan. Meski tidak seharum pada malam hari, tapi aromanya beradu imbang dengan harum udara pagi dari jendela balkon. Wangi bunga itu pada akhirnya mengusik sentimental Na. Ini aroma khas yang melekat pada tubuh ibunya. Membuatnya kemudian hanyut lagi dalam gelombang duka. Ia melabuhkan perasaannya dengan menatap lukisan keluarga.
Lukisan keluarga di atas nakas panjang itu punya kisah lahirnya sendiri. Di pagi yang cerah ketika lukisan itu pertama kali dibuat, persis di ruangan ini dengan aroma yang juga sama, seorang seniman terbaik dengan kuas di tangan kanan dan palet cat di tangan kiri tengah bersungguh-sungguh memoles kanvas di hadapannya.
"Tersenyumlah, Nak!" pinta Inggrid, entah berapa kali ibu muda yang saat itu masih berseri ayu, belum ditinju takdir buruk, menjewer telinga anak perempuannya dari belakang.
Pelukis melihat mereka seraya memaklumi.
"Dia tidak benar-benar ahli melukis. Sesuatu mengendalikan tangannya." Narah kecil menelisik. Mata bulatnya menyipit.
Untung pelukis yang mendengar ucapan ceroboh anak perempuan keluarga Rijckloff tidak marah, atau sebenarnya dia mengakui kebenaran dari ucapan anak tersebut dalam hati.
"Itu disebut kreativitas, Na," sahut Tuan Willem. Pria berperawakan Kaukasoid dengan rambut dan iris mata berwarna coklat itu selalu rasional orangnya.
"Kuku-kukunya hitam dan tidak pernah dipotong. Apakah itu dinamai kreativitas? Afschuwelijk!" Na kecil menggerutu.
"Aku tidak melihat apa pun selain kuas yang dia gerakan, Zus." Sabastian menimpali dengan gaya mengejek.
"Lihat, Sabastian! Sekarang jarinya menunjuk kepadamu dan akan mencubit pipi gendutmu." Na berbisik di telinga sang adik, menggodanya.
"Nee! Aku bersumpah besok pagi akan menghabiskan roti selai blueberry milikmu sebelum kamu keluar kamar." Sabastian yang takut lalu menjambak kepang kakaknya. Jadilah saat lukisan sedang dibuat, keluarga itu minta rehat berulang-ulang karena dua anak yang sedang dilukis terus-terusan tidak mau diam.