Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #39

Elijah

Dia ingin marah. Dia ingin meluapkannya. Namun, sebagai wanita yang terbiasa tampil elegan dan berkelas, Elijah tidak tahu bagaimana menumpahkan kecamuk di hatinya tanpa melewati batasan. Ketika dia cuma bisa mendekap erat-erat berkas di pelukannya, Na, si majikan baru itu menghentikan dan meremas lengannya dengan lembut. Elijah merasa kecarutmarutannya lumpuh sementara waktu.

"Oh ya, Mbak, tadi tuan Manuku mengabarkan beliau akan datang siang ini. Mengenai rapat investor, saya sudah mengagendakannya minggu depan di salah satu hotel," terang Elijah. Majikan di depannya mendengarkan penuh. Karena sekarang mereka hanya bersisipan dan akan lebih banyak lagi yang perlu dibahas di kantor nanti, Elijah meminta diri pamit melanjutkan tujuannya.

"Elijah," panggil Na menghentikan langkah Elijah yang kembali menganga. 

Elijah menoleh dan mendapati Na telah memfokuskan pengelihatannya pada berkas-berkas yang Elijah dekap begitu kuat. Elijah yang memang menyembunyikan sesuatu di antara berkas-berkas dalam pelukannya seketika membatu serasa tepergok. Bebera orang percaya termasuk dirinya, Na punya kelebihan yang sama dengan Bu Inggrid: ibu dan anak itu sama-sama berkemampuan menelisik isi hati dan pikiran orang lain.

Semalaman jari dan hati Elijah bergulat mencetak paragraf demi paragraf di atas sehelai kertas yang kini tersisip di antara berkas-berkas dalam pelukannya. Surat itu pasti akan Elijah sampaikan secara terbuka kepada majikan barunya. Hanya saja, tunggu sebentar, dirinya butuh kesiapan sebab perkara ini adalah tentang hidup dan mati. 

Begini Elijah, tak perlu istilah cenayang untuk menebak apa yang kau sembunyikan di pelukanmu. Sungguh pun situasi yang menimpamu, bahasa tubuhmu, dan ekspresi wajahmu, semua itu mampu menginterpretasikan apa yang sedang engkau pikirkan. Orang lain dengan kemampuan observasi yang tajam—biasanya dimiliki oleh kebanyakan orang-orang pendiam—bisa melakukannya.

"Lain kali suruh saja Harto mengantarkannya. Kamu tidak perlu bolak-balik." Na membelokkan ketakutan Elijah.

"Iya, Mbak." Elijah mengangguk, tersenyum senewen.

Biarpun terasa ada yang mengganjal, Na membiarkan Elijah melanjutkan arah dan tujuan menuju ruangan Adi.

Setibanya di ruangan Adi, diiringi suara mesin pabrik yang mendebarkan, Elijah mengetuk pintu, lalu mendorongnya tanpa menunggu perintah. Didapatinya Adi duduk di kursi meja kerja. Adi kemudian mempersilakan Elijah duduk. Mereka terdiam untuk waktu yang singkat, anehnya bagi Elijah terasa lama dan penuh tekanan. Elijah lantas memberikan berkas-berkas dipelukkannya kepada Adi. Semua berkas itu adalah untuk bagian pabrik. Ada secarik amplop coklat yang kemudian Elijah sisihkan. 

"Aku tidak menyangka kita berempat memimpikan peristiwa yang sama." Elijah dengan suara lirih berkata.

Adi bergeming. Amplop coklat yang Elijah sisihkan menarik perhatiannya. 

"Aku enggak sanggup, Mas. Aku mau berhenti saja." Elijah menitikkan air matanya.

Adi terus diam.

"Kamu tidak akan sampai hati membunuhku, kan? Kamu pasti akan membiarkanku pergi, kan, Mas? Seperti yang kamu lakukan malam terbunuhnya Bu Inggrid. Kamu akan menukar nyawaku dengan orang lain, kan, Mas?" Elijah menuntut tanpa jeda.

Adi masih tetap mengunci bibirnya, sementara lawan bicaranya fokus menatapnya sambil berharap menemukan kepingan emas dari diri Adi. Sayangnya, Elijah tidak segera menemukan kepingan emas yang bisa mengabulkan keinginannya. Adi justru balas menatap dingin Elijah.

"Jika ingin kabur, kaburlah, El! Semoga beruntung."

Lihat selengkapnya