Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #41

Anggrek Hantu

Pulau seluas 300 kilometer persegi ini, aku bingung memikirkan sebutan yang tepat untuk pulau berteknologi mumpuni. Pulau terpencil? Sepertinya kurang tepat walaupun tempatnya terpelosok. Satuan TNI ditugaskan untuk menjaga pulau ini. Terdapat beberapa bangunan megah dan serba modern telah dibangun, antara lain: PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) untuk memasok kebutuhan listrik lengkap dengan cerobong asapnya yang besar menjulang, lima gedung tinggi apartemen untuk menampung tempat tinggal 150 ribu pekerja proyek, satu gedung universitas teknik nuklir, dilemgkapi tiga laboratorium besar; masing-masing mengembangkan senjata nuklir.

Aku bertanya pada Rei dan Tian, senjata apa yang mereka buat di laboratorium berbentuk kubah itu. Kulihat Rei dan Tian kerap keluar-masuk ke sana. Tian menjawab, laboratorium satu khusus mengembangkan dan memproduksi bom nuklir, laboratorium dua untuk bom hidrogen dan aku disuruh menebak sendiri, apa yang berusaha diciptakan para ilmuwan dan fisikawan di laboratorium tiga. Karena laboratorium tiga itu lebih selektif lagi dalam urusan keluar dan masuk. Aku digulung ombak penasaran. Rei lalu menenangkan keingintahuanku dengan berkata, "Kami membuat senjata pemusnah dari antimateri. Kamu pernah dengar, Lembut? Satu gram antimateri saja, daya ledaknya sama dengan bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki."

Antimateri? Terdengar begitu delusif. Sesuatu yang dikerjakan Rei dan Tian dalam gedung-gedung dengan desain atap kubah itu sudah diluar kemampuan berpikirku. Tapi bagi Rei terutama Tian, fisika membuat mereka merasa lebih dekat dengan Tuhan. Bagaimana bisa?

"Andai kamu mau memahami dua teori besar Einstein tentang kuantum dan relativitas khusus, kamu akan bisa menjelaskan dengan masuk akal hal-hal imaginatif yang kita alami." Tian tersenyum. "Perjalanan antar dimensi," tambahnya.

Aku menggeluti dunia bioteknologi tumbuhan, tak seberapa mengerti keseluruhan tabel periodik, tak berniat pula merambah ke dunianya yang mempelajari ada dan tiada, kecil dan besar, lambat dan cepat. Aku harus mengakhiri obrolan ini. Kalau tidak, Rei akan menjelaskan panjang kali lebar yang semakin membuatku terpana pada penalarannya. Cukup. Cerita ini harus kuluruskan kembali.

Aku dan Sena menjadi rekan satu tim. Kami bekerja di divisi ujung belakang. Divisi ini mengelolah limbah nuklir dan limbah-limbah radioaktif lainnya agar ramah lingkungan. Rencananya limbah-limbah nuklir itu akan dibuang ke dalam tanah yang telah dikonstruksi sedemikian rupa menjadi wadah yang memisahkan tanah kontaminasi dengan tanah sehat. Kira-kira Sena membutuhkan lahan sepuluh kali lebih luas dari alun-alun kota. Di atasnya akan dibuat taman dengan kerudung kaca anti radiasi.

Kini aku sedang melihat-lihat pengerjaannya dari jendela salah satu ruang di dalam gedung universitas. Senalah yang mendesain taman itu. Sekarang masih dalam proses pembuatan sekat-sekat baja berlapis timah. Jika Sena sukses menggarapnya, maka taman itu akan menjadi taman kaca terbesar yang bisa di-zoom dari satelit.

Tentu taman itu akan sangat berbahaya. Apalah arti taman Sena tanpa tumbuhan fitoremediasi. Maka, di sinilah peranku untuk menciptakan varietas tanaman berbunga indah yang bisa menyerap dan mengakumulasi radionuklida dari pembuangan limbah nuklir ke dalam tanah kontaminasi. Menumbuhkan bunga adalah spesialisasiku. Taman tanpa bunga, Sena tidak mau membayangkannya. Rekan laboratoriumku ada yang sedang khusyuk menciptakan pohon yang tahan radiasi. Aku termenung di jendela. Jujur saja, aku belum mendekati keberhasilan. Aku takut tidak kompeten dan mengecewakan orang-orang yang telah menaruh harapan besar kepadaku.

"Apa kabar, Sena?" Rekan timku menyapa masuk Sena. Semua orang di laboratorium universitas beramah-tamah pada Sena. Mereka tidak begitu kepadaku. Mereka hampir tidak menganggapku ada, lagipula siapa yang tidak kenal arsitek lanskap terkemuka dunia. Sena Tri Vimala.

"Sama dengan kalian semua, Muka-Muka Buntu. Hahaha!" Sena merapat ke meja rekanku yang berambut ikal. Mulutnya berceloteh dengan tangan menggerayangi cemilan.

"Bagaimana kemajuan kalian?" tanya Sena.

Perempuan berambut ikal panjang yang mejanya Sena duduki mengangkat bahu. Ada satu-dua orang yang kelepasan menatapku seolah mempertanyakan kinerjaku. Aku menunduk daripada dituntut. Semakin kusibukkan diriku di depan layar biru besar dan mikroskop.

Sena mengangkat kedua alisnya dan tersenyum. "Apa yang dilakukan saudara pantiku?" Sena berbisik keras. Tatapannya menyapu semua orang. Tidak ada gunanya Sena berbisik kalau aku dapat mendengarnya. Yang dia lakukan hanya mengedarkan bau mulutnya ke penjuru ruangan.

Lihat selengkapnya