Seluruh pekerja proyek libur pada hari Minggu. Sebagian dari mereka pergi ke pelabuhan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan yang sulit didapatkan di wilayah pelosok, selain itu untuk menemui sanak saudara yang datang menjenguk, atau mereka sekadar mengecek dan membalas pesan-pesan masuk yang terpending karena distrik benar-benar mem-filter urusan komunikasi dengan dunia luar. Seperti kegiatan pergi ke pelabuhan yang dua minggu sekali rutin kulakukan demi melihat apa ada pesan masuk dari Adi.
Berbulan-bulan sudah, Adi tidak pernah mengirim atau membalas pesanku. Aku mulai berpikir dia tak sungguh-sungguh dengan ucapannya saat malam perpisahan kami yang mengatakan, dia akan menyusulku kemari dengan menjual mobil kesayangannya untuk biaya tinggal dan hidup sampai mendapat pekerjaan baru di sini. Nanti akan kutanyakan juga pada Paman mengenai apa yang terjadi? Bukankah Paman dulu berjanji menegoisasikan kami berdua?
Setelah menyebrang selat, aku, Sena, Rei, dan Tian naik minibus bersama kawan-kawan proyek lainnya. Minibus ini merupakan angkutan umum pekerja proyek dan hanya beroperasi di hari Minggu saja. Bus akan mengantar kami ke pelabuhan utama, ngetem hingga pukul tujuh malam, lantas mengantar kami kembali ke galangan kapal-kapal kecil. Ikut pula dua orang anggota TNI dengan peralatan menembak yang komplit untuk mengamankan perjalanan kami.
Kami berempat duduk sejajar di kursi paling belakang. Aku dan Tian di tengah, Rei dan Sena di pinggir. Hanya karena perkara tempat duduk, Rei dan Tian berdebat sampai sikut-sikutan. Tian senang menjahili Rei yang malu-malu mengakui keinginannya duduk di sebelahku.
"Duduklah dengan tenang! Jangan seperti bocah!" omel Sena memijit keningnya. Sisa mabuk laut membuatnya gampang naik pitam.
Pada akhirnya, dua pria kerasukan itu diam. Rei duduk mengunyah rasa sebalnya sambil menatap awan melalui jendela minibus. Ia lanjut melirik payung yang aku dan Sena bawa.
"Kalian berdua punya bakat klimatologi terpendam, ya?" tanya Rei menyeringai, menganggap aneh kami berdua.
"Mau bertaruh? Lima ratus ribu kalau aku menang." Sena menanggapi dengan menyerukan tantangan. Dompetnya menggelepak senang.
Rei meringis sambil menggeleng. Wajah Sena amat yakin dari yang tadinya lesu. Tanda itu cukup memukul mundur nyali berjudi Rei.
Lima jam berduyun-duyun di dalam kendaraan, kami pun sampai di pelabuhan. Berempat duduk-duduk di depan pintu kedatangan sambil melihat kapal-kapal Pelni merapat di dermaga. Tian kembali ke bagasi minibus hendak mengambil sesuatu. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa sekuncup payung.
"Ada apa ini?" Begitu kata Rei bergantian melihatku, Sena, Tian, dan payung kami. Selain kami bertiga tidak ada lagi yang menyiapkan payung baik rombongan dari minibus maupun orang-orang di pelabuhan.
Aku menatap bingung Tian dan payungnya. Bisa jadi Sena sudah memberitahu Tian bahwasanya pelabuhan akan turun hujan. Tapi, kenapa tidak sekalian Sena memberitahu Rei? Kenapa pula aku tidak memberitahu Rei? Tiba-tiba pikiranku menyerang diriku sendiri.
"Itu adik dan orang tuamu, Rei?" Tian memukul pundak Rei supaya lekas menoleh ke arah yang ditunjuk Tian. Tian pernah sekali bertemu dengan keluarga Rei di hari Rei pertama kali datang ke distrik. Keluarga Rei yang mengesankan itu membuat Tian masih mengingat mereka.
Sepasang pria dan wanita tua keluar setelah seorang gadis remaja berlari mendahului keduanya. Gadis itu berseru girang seraya memanggil nama kakaknya. Gadis remaja itu kemudian memeluk Rei. Aku dapat melihat rindu berguguran di sekitar mereka berpelukan. Rei punya adik perempuan, mungkin usia keduanya terpaut sekitar lima belas tahun. Ayah dan ibu Rei dengan hangat memeluk putra mereka di bawah langit pelabuhan. Perasaan iri mengusikku ketika memandang pertemuan keluarga itu dari kejauhan.
Langit mendadak mendung. Hujan turun. Paman Manuku muncul lewat pintu kedatangan dengan payung hitamnya, padahal dia bisa datang dari mana saja, tidak harus berpura-pura seperti penumpang. Aku tersenyum pada kekonyolan tingkahnya. Sena mengembangkan payung, mendekat, dan memeluk Paman lebih dulu. Sebelum aku menyusulnya, Tian menyandera kakiku di tempat dengan berkata, "Paman kalian adalah orang yang menyelamatkanku dari jurang lima belas tahun yang lalu." Suara hujan menghiasi pengakuan Tian.
Aku menoleh kepadanya. Keterkejutanku memblokade suaraku. Respons yang mampu kulakukan hanya beralih memandang Paman dan Sena dari kejauhan. Kebetulan ini terasa ....
"Tidak nyata," ujar Tian melengkapi kalimat di hatiku.
Aku memang dekat dengan semua yang terasa tidak nyata. Kudiamkan Tian, kubiarkan dia bercerita di bawah hujan.
"Paman Manu lalu mengirimku ke Amerika Serikat, menjauhkanku dari pabrik dan perkebunan keluargaku. Dia menghidupiku di sana seraya datang dan pergi dengan cepat. Orang-orang seperti Paman yang mustahil dan kakakku yang bisa melihat hantu membuatku tertarik memburu penjelasan. Kurasa jika aku mendalami fisika, aku akan mendapatkan jawabannya. Seharusnya semua bisa dijelaskan secara ilmiah dan manusia tidak perlu takut pada hantu." Tian membentangkan payungnya, menukarnya dengan payungku yang masih menguncup.
“Lalu, apa kau sudah menemukan jawaban tentang Paman? Tentang bagaimana fisika menjelaskan kemunculan dan menghilangnya dirinya?” tanyaku kembali memandang sosok Paman dari kejauhan.
“Aku menduga Paman berasal dari dimensi ke lima.”
Aku nyaris terkekeh mendengar Tian. “Jika berasal dari tempat sejauh itu, seharusnya kita tidak mampu melihatnya baik saat kita di dimensi tiga maupun di dimensi waktu.”
“Itulah, Lembut. Tapi siapa tahu, makhluk-makhluk dari dimensi lima punya kemampuan mengubah diri.”
“Kau tak takut orang bilang kita gila?”