Saat aku membuka mata, wajah Sena, Tian, dan Rei melongok di atas kepalaku. Air muka mereka lega melihatku akhirnya terbangun dari tidur yang mengkhawatirkan. Delapan jam aku tidur seperti orang mati. Tahu-tahu aku sudah berada di rumah kayu Pace Yogi dan Mace Weny dengan sekujur badan dipenuhi lukisan berwarna putih dan merah. Langsung saja Sena menyuguhiku minuman yang diracik Mace Weny. Rasanya tidak enak. Aku mengernyit, bersikeras tidak mau menghabiskannya.
"Minuman apa ini, Sena?"
Sena mencobanya seteguk. Dengan yakin dia menjawab, "Air putih."
Aku menatapnya tidak percaya. Air putih tidak perlu diracik. Tapi Sena ngotot air putih itu diracik dengan merendam sesuatu ke dalam bejana yang kemudian didoakan oleh Pace Yogi.
"Syukurlah kamu sudah bangun. Kalau sampai Pace Yogi tidak berhasil membangunkanmu, dengan terpaksa aku memanggil Paman. Biar kamu kena marah, aku tidak peduli." Sena mengomel panjang dan kesal.
"Selama air putih rasa pahit di lidah berarti nona itu masih ikut toh." Mace ternyata juga bisa menggunakan bahasa Indonesia meski logat khas Indonesia bagian timur masih mengenal di pita suaranya. Sedangkan Pace Yogi lebih banyak diam karena mungkin dia tidak begitu dapat memahami bahasa sehari-hari kami.
"Ada yang mengikutinya, Mace?" Tian bertanya. Mereka semua masih berdiri mengelilingiku.
"Nona kecil pakai baju warna ungu," ujar Mace Weny sambil memandangku.
Gadis kecil bergaun ungu? Aku melihat kepada Tian. Tian dan Rei lantas menjauh ke sudut ruangan. Tian mengusap brewoknya, sementara Rei mengusap rambut kepalanya ke belakang. Mereka berdua berbincang pelan seperti bapak-bapak yang membahas persoalan politik. Rei kedapatan melirikku beberapa kali. Kacamatanya berkilau di bawah sorot lampu rumah.
Sena lalu mengambil lap untuk membersihkan cat air di wajah, tangan, hingga betis kakiku. Dengan semua coretan di tubuhku dan benda-benda adat di sekelilingku, aku mulai dapat menebak apa yang terjadi. Kurasa Mace Weni dan Pace Yogi habis melakukan ritual untuk membangunkanku.
Subuh terlampaui. Langit terang menyapa kami keluar dari rumah bujang suku Asmat. Sena, Tian, dan Rei menguap bersamaan. Ketiganya mengantuk, tidak tidur karena mengkhawatirkanku. Aku jadi tidak enak dengan mereka bertiga.
Kami menuju ke komplek laboratorium. Sepanjang perjalanan, melewati aktivitas masyarakat Papua, beberapa kali masyarakat menyapa kami. Selalu begitu. Mereka gemar sekali menyapa. Tiba di komplek laboratorium, kami memulai kegiatan masing-masing. Sena melipir dulu ke lokasi penggalian taman, aku lanjut berjalan menuju laboratorium universitas, Rei dan Tian masuk ke laboratorium tiga yang tak sembarang orang bisa menjamahnya.
Sesampainya di laboratorium universitas, begitu aku masuk semua rekanku memandangku. Bahkan seorang profesor yang tengah mengamati layar biru besar di dekat mikroskop menatapku. Tampak lewat layar LED transparan yang bisa kulihat dari pintu masuk, ia seperti habis mengutak atik file penelitianku. Masih dihantui tatapan semua orang, aku mendekati lemari peralatan, membukanya, mengambil satu kotak kit ekstraksi DNA dengan keragu-raguan.
"Apa yang coba kamu ciptakan?" Profesor itu akhirnya bertanya padaku. Sebenarnya tanpa kujawab pun, aku yakin dia mampu mengolah informasi di layar biru besar. Hanya saja dia mungkin sedang ingin berbasa-basi.
"Bunga matahari yang memiliki sifat epifit seperti tanaman anggrek," jawabku. Aku berpeluang mengajaknya berdiskusi.
Tapi profesor itu menggeleng duluan seakan menyerah dengan penelitianku yang terdengar mustahil buatnya. "Lulusan mana?" tanyanya.
Ditanya demikian aku pun menjadi gugup. "Aku tidak lulus kuliah," ucapku nyaris berbisik. Yang lain mulai bergumam-gumam di belakangku. Dan kulihat profesor itu langsung menunduk diam.
"Siapa yang membawamu kemari?" Profesor itu bertanya lagi tanpa melihatku. Seakan tak sudi atau apalah.
Bagaimana ini? Bagaimana jika tempat ini menetapkan standar tinggi dalam penerimaan karyawan? Bagaiamana jika ternyata selama ini aku pekerja selundupan? Mataku luruh melihat kalung ID card milikku dengan seribu keraguan.
"Sena Tri Vimala, arsitek lanskap," jawabku takut. Awas saja Sena kalau benar aku adalah pekerja selundupan!
"Berarti kamu mengenal Tuan Manuku?"
Daguku terangkat mendengar Paman disebut. "Yah, saya anak panti asuhannya."
Profesor itu lalu mengangguk-angguk. "Dia selalu membesarkan anak-anak hebat. Jangan ragu menanyakan apa pun padaku juga pada rekan-rekanmu di sini." Ia menunjukan senyumnya. Senyum penerimaan.