2 tahun kemudian.
"Aku tidak yakin dengan kebebasan. Kebebasan macam apa yang ibuku rela tukar menggunakan nyawanya, sementara aku tetap ada di sini, dipaksa melihat penderitaan banyak orang." Seperti saat ini, ia berdiri di depan meja kerjanya. Jemarinya yang tirus dan lentik menyusuri pinggiran meja. Na menatap sayu kursi kosong yang biasa dia duduki dari pagi hingga menjelang malam. Dalam penglihatannya yang mampu menembus batas dimensi, tepat di kursi yang sama itu, ia melihat ibunya sedang bekerja dengan kepala bersimbah darah. "Aku tidak bisa lari dan berpura-pura melupakan apa yang terjadi, meninggalkan tempat ini dan melanjutkan hidup sebagai manusia egois."
"Kamu satu-satunya orang yang bisa pergi dari tempat ini berkat pengorbanan ibumu. Aku salut karena kamu memilih bertahan." Seseorang berkata.
Na menoleh, lantas menyunggingkan senyum miringnya kepada Manuku. "Ternyata selain pandai memanfaatkan peluang, kamu juga pandai membuai. Dua siasat itu pasti berhasil kepada ibuku," ujar Na, "sudah berapa kekayaan yang kamu dapatkan dari tempat ini? Apa anak-anak pantimu belum kenyang?"
Tuduhan itu tidak ada benarnya. Manuku menggunakan uang dari keuntungan pabrik dan perkebunan teh Rijckloff untuk seseorang yang ia rasa berhak, yaitu Sabastian. Sedikit sekali anak-anak panti ikut mencicipinya. Manuku menghidupi anak-anak lainnya bisa dari mana saja. Tidak ada yang tahu persis seberapa kaya manusia seratus abad itu. Yeah, mungkin kalau Raden mau buka mulut, kekayaan Manuku baru bisa diakuntabel dengan lebih transparan.
Mana tahu Na. Pertemuannya dengan Manuku hanya sebentar-bentar. Itu pun Manuku tidak banyak bicara seperti dirinya yang selalu bernafsu menyerang dengan kata-kata menusuk. Kalau sudah di tahap Na ingin mencerca; mengingat Manuku membiarkan Adi membunuh ibunya, biasanya Manuku segera pamit pergi. Satu doyan memarahi, satu berlagak dungu. Selama ini mereka sulit bersahabat karena tabrakan tersebut.
Sampai sekarang saja, Na tidak tahu siapa yang menyelamatkan adiknya dari tubir jurang (padahal orangnya sedang duduk di kursi sofa ruang kerjanya). Na tidak tahu Sabastian pergi bersama siapa dan apa saja yang adiknya lakukan di luar sana. Sudah dua tahun terakhir ini setiap Na pergi ke pohon sawo kecik dalam tidurnya, Sabastian dan Gadis Bergaun Ungu tidak lagi terlihat bermain di bawah pohon. Enam hantu anak kecil bila ditanya juga tidak pernah mau menjawab. Apa di dunia nyata Sabastian sedang sibuk? Sayang sekali, Na kehabisan daya untuk menggali semua tentang adiknya. Bolak balik menyebrangi dimensi itu melelahkan. Apalagi ditambah ia mengerahkan segenap jiwa dan tenaga mengurusi pabrik dan perkebunan yang sungguh menguras hati dan pikiran. Selagi dirinya berjuang menggerakkan roda pabrik dan perkebunan, Na meminimalisir karyawan-karyawan yang berniat mengundurkan diri dengan menaikkan tunjangan dan gaji mereka.
Di sisi lain Manuku paham betapa lelah Na menghadapi masalah runyam tempat ini. Paham pula Manuku tentang alasan Na membenci dirinya yang membiarkan Inggrid terbunuh. Belum lagi Na dihantui rasa bersalah atas nasib buruk yang menimpa seluruh karyawan karena ulah ibunya.
"Aku akan keluar." Manuku menggaruk alisnya.
"Kamu mau menghilang, menurunkan hujan dan merepotkan orang lain?" Betapa Na paling benci dengan hujan. Meninggalkannya saat hujan, apalagi. Sama sekali bukan keputusan yang tepat. Mata Na berputar ke atas. Mangkel. Ia selalu tidak puas pada sikap Manuku sebab selain selalu menurunkan hujan setiap datang dan pergi, pria itu juga tidak pernah menuntaskan rasa-rasa yang berkecamuk di hatinya.
"Aku naik mobil ke sini jadi tidak akan turun hujan saat aku pergi." Manuku yang dungu asal menjawab saja. Julukan manusia seratus abad tidak ada untungnya bila menyangkut wanita. Manuku belum pernah menghabiskan waktunya yang sebanyak itu untuk memahami wanita. Dia bingung dengan Na yang terus-terusan tantrum tidak jelas setiap kali ia datang.
"Ah, sudahlah!"
Manuku keluar dari ruangan itu. Melangkah ia menuju anak tangga. Tak berselang lama Na menyusul keluar dan berlabuh ke meja kepala administrasi yang baru. Ada hal yang hendak ia sampaikan pada kepala administrasinya itu.
Senja adalah nama kepala administratur baru itu. Sudah dua tahun Senja menggantikan Elijah. Dulunya Senja bekerja di bagian produksi. Ia memenangkan ujian kompetensi yang Na adakan secara terbuka untuk seluruh pegawai dan buruh yang ingin menduduki kursi kepala administrasi. Dan, Senja mengalahkan ratusan pegawai lainnya. Dia memang sepandai itu. Luar biasa memang. Senja dengan pribadinya yang menyenangkan bahkan mampu mengatasi kecemburuan yang dihantamkan karyawan-karyawan lain kepadanya dengan tenang.
Ketika Na menyentuh dipan kursi kerja Senja, sesuatu terjadi secara cepat dan tak terelakkan. Suasana kantor administrasi berubah kelam di penglihatan Na. Persis suasana kelam saat ia melihat ibunya duduk bersimbah darah di kursi ruang kerjanya. Entah bagaimana penglihatannya menembus batas dimensi. Hanya dalam tiga detik—tiga detik yang menguras mental karena bisa muncul kapan pun saat Na kelupaan menyentuh benda-benda tertentu—Na melihat Elijah menangis parau di tempat duduk Senja. Seolah Senja berubah menjadi Elijah. Wajahnya sama persis dengan wajah terakhir Elijah saat ditemukan gantung diri: mukanya ungu, bibirnya meneteskan liur dengan mata mendelik merah. Na yang terkejut terpental ke belakang hingga membentur lemari berkas.
Dengan cekatan Senja langsung membantu majikannya berdiri. Perutnya yang buncit akhir-akhir ini agak memperlambat gerakan tanggapnya. Beberapa karyawan ikutan mencelat dari bangku mereka untuk menolong.
"Anda baik-baik saja?" tanya Senja. Dia dibantu karyawan lain menarik tubuh Narah.