Bumi berotasi siang dan malam. Tanpa terasa dua tahun berlalu begitu cepat. Aku, Sean, Laras, Gilbert, Giant, dan Suneo berjibaku hingga lupa waktu. Selama itu otak kami tercerabut dua bagian. Tiga puluh persen di taman yang sedang digarap oleh Sena dan tujuh puluh persen di laboratorium universitas. Tentu dengan remahan snack di lantai. Biarpun begitu mereka paham aturan. Mereka akan berhenti makan saat harus membaurkan diri ke meja-meja putih yang panjang, yang di atasnya penuh dengan peralatan laboratorium.
Sena selesai membangun kaca tebal anti radiasi untuk menutupi taman. Taman itu kini berada di dalam terowongan kaca yang panjang dan superbesar, nyaris mengelilingi ketiga laboratorium nuklir. Terowongan kaca yang Sena buat difungsikan untuk memisahkan wilayah kontaminasi, sekaligus memanfaatkan sinar matahari untuk fotosintesis tanaman di dalamnya. Untuk kebutuhan air, taman Sena dilengkapi mesin-mesin mandiri yang canggih untuk mengontrol laju kehidupan di dalamnya, salah satu contohnya ialah mesin untuk membuat awan hujan buatan. Setelah semua selesai tanpa ada kebocoran, barulah limbah-limbah nuklir dari tiga laboratorium besar yang Rei dan Tian kerap masuki itu dapat digelontorkan ke dalam tanah. Taman Sena akan mengurai limbah nuklir di dalam tanah dengan teknik fitoremediasi. Laboratorium universitas mendukung penuh dengan keberhasilan kami menciptakan tanaman-tanaman rekayasa yang mampu mengurai limbah nuklir
Laras berhasil menumbuhkan pohon-pohon yang tahan paparan radiasi. Jumlah bahan beracun yang mampu diserap pohon Laras mengalahkan rekor tumbuhan hiperakumulator apa pun sehingga sangat memungkinkan tanah akan cepat bersiklus. Berikutnya aku menumbuhkan bunga matahari yang sudah kumodifikasi sedemikian rupa hingga memiliki sifat epifit seperti tanaman anggrek. Bunga ini tidak terlalu bergantung pada paparan matahari karena kebanyakan kebutuhan tumbuhnya diserap dari batang pohon Laras.
Bunga itu kuberi nama "matahari malam" dan kutempelkan pada batang pohon Laras. Setiap pohon bisa dihinggapi lima hingga enam bunga matahari malam. Matahari malam akan membantu menyaring dan menyerap isotop radiasi yang terserap dalam batang pohon, lalu mengubahnya dalam bentuk biji. Cukup memanen biji bunga di malam hari; bukan hanya karena bunga ini mekarnya di malam hari, bukan cuma itu, tapi karena saat malam hari bunga ini mampu menyerap pancaran radiasi dengan lebih efektif, kemudian biji yang dipanen harus dibakar. Jangan pernah berharap bisa mengolahnya menjadi kuaci gurih. Sisa pembakaran biji yang mengandung banyak sekali radioaktif disimpan dengan hati-hati. Dengan begitu pengolahan limbah nuklir tidak begitu memakan banyak biaya. Proyek taman Sena sejatinya hanya untuk memangkas biaya pengolahan limbah dengan menggunakan teknik fitoremediasi.
Pohon Laras dan bunga matahari malam mulai menjadi perbincangan ilmuan-ilmuan dunia. Mereka sedang mempertimbangkan penanamannya di daerah bencana nuklir. Stasiun TV internasional pernah sampai datang ke pelabuhan menemui kami. Laras, Sean, Gilbert, Suneo, dan Giant kena bidik kamera. Aku kebetulan bisa melarikan diri. Ujung-ujungnya pihak stasiun ingin meliput kegiatan kami. Karena proyek rahasia masih tetap menjadi rahasia, kami mengambil langkah bijak dengan menolak. Tapi, dunia sepertinya mencium pembangunan proyek dari satelit. Pilar-pilar cerobong asap PLTN mau didesain bagaimana pun tetap tidak bisa disembunyikan. Ada kemungkinan pemerintah sendiri yang akan buka suara soal pengkhianatannya.
Semua kegiatan itu telah berlalu. Kami semua dapat mengistirahatkan otak. Dalam beberapa waktu dekat, ditambah satu bulan masa cuti proyek, tak ada kegiatan yang harus kulakukan. Siang ini aku tidur telentang di atas rumput taman universitas (bukan di taman kaca; itu sangat terlarang di masuki tanpa pakaian khusus anti radiasi). Wajahku tengadah menatap langit. Kulihat kumpulan awan putih berarak bagaikan para domba di ladang biru. Tiba-tiba terdengar olehku suara gadis kecil berhitung di samping tubuhku. Lalu jari mungil tampak menunjuk-nunjuk awan. Aku dadar jari itu milih gadis kecil dengan gaun ungunya yang kuno. Kehadirannya di sekitarku dua tahun terakhir ini telah melatih indra penglihatanku melihat bermacam-macam makhluk halus lain. Selama itu pula, seperti kata Mace Weny, air putih terasa pahit di lidahku. Sampai detik ini aku tidak tahu mengapa Gadis Bergaun Ungu itu masih saja mengikutiku. Aku enggan mengajaknya bicara, apalagi bermain. Sikap dinginku ini kemudian memberinya alasan mengumpulkan hantu-hantu kecil di kamar apartemenku untuk dia ajak main bersama. Untungnya Sena yang tidak peka pada hal-hal semacam itu tidak sampai terganggu. Aku yang justru sangat terganggu dengan keceriaan mereka di kamarku.
Pesawat kertas melayang. Ujungnya menabrak keningku. Aku bangun seraya mencari tahu dari mana pesawat kertas ini diterbangkan. Tian melambai di lantai dua gedung universitas. Jauh sekali ia tersesat. Dari laboratorium besar ke laboratorium universitas. Oh, ya, divisi ujung belakang sedang merayakan pesta kesuksesan kami. Sena pasti mengundangnya. Aku tidak tahu ia akan datang dan mengurangi jatah jajananku. Selesai makan, aku langsung meninggalkan pesta untuk mencari keheningan.
Rupanya, pesawat kertas Tian berisi pesan. Aku membacanya. Tian menulis kalimat berbunyi, “satu jam lagi aku diminta membantunya mengemas barang di kamar apartemennya”. Dalam suratnya juga dia mengancamku kalau seandainya aku tidak sudi membantunya, maka kami berdua bisa ketinggalan pesawat; kami berdua hendak berangkat bersama ke pulau Jawa siang ini. Tian menulisnya dengan penuh semangat. Tapi, aku membacanya dengan malas. Memangnya apa yang mau dia kemasi sampai harus merepotkan orang lain?
Tian dan Rei tinggal di kamar apartemen yang sama. Aku berencana mengembalikan cincin pemberian Rei. Dengan membantu Tian berarti aku punya kesempatan mengembalikan cincin Rei. Kuraba kotak cincin itu dari saku jaketku. Cincin ini Rei berikan padaku dari seminggu yang lalu. Katanya ini untuk hadiah kesuksesan. Namun, matanya mengatakan lebih dari sekadar bingkisan selamat. Membuatku terbayang-bayang kilau berlian kecil di permukaan cincin itu setiap malam. Aku terus menerka-nerka maksud Rei yang sebenarnya sampai tidurnya tak nyenyak, hingga keesokkan harinya Rei akhirnya mengaku bahwa cincin itu mewakili perasaan cintanya.
Terang saja aku menolak mengasuh cintanya berikut akan kukembalikan hadiah kesuksesan ini kepadanya. Tapi, Rei tidak terlihat sejak kemarin. Tidak-tidak, sejak kemarin lusa malah. Dengan membantu Tian, aku bisa meletakkan cincin ini di kamar mereka.
Bunyi "tit" saat ID card Tian ditempelkan pada sensor pintu secara otomatis membuka kuncian kamarnya. Semua pegawai memiliki chip pada kalung ID card untuk akses masuk ke kamar apartemen masing-masing dan akses masuk ke beberapa ruangan atau wilayah sesuai otoritas kepegawaian. Sebagai contoh, background foto warna biru bisa masuk ke semua laboratorium besar. Rei dan Tian memilikinya. Dalam kasusku, background foto warna kuning pada ID card milikku hanya boleh masuk ke laboratorium 1 yang berisi tetek-bengek bom nuklir, laboratorium universitas, dan fasilitas umum lainnya saja.
Tian kemudian menarik gagang pintu, menyuruhku masuk lebih dulu. Begitu pintu terbuka, aku tersentak karena dikagetkan dengan banyaknya hantu anak kecil yang membludak dari kamar Tian. Jumlah mereka dua kali lipat lebih banyak dari hantu-hantu anak kecil di kamarku. Entah Tian dapat melihat hantu atau tidak? Dia terlihat biasa saja. Sepertinya dia tidak bisa melihatnya.
Ketika masuk, harum bunga sedap malam mengingatkanku pada harum ruang tamu rumah utama. Tian meletakkan bunga sedap malam di pojok jendela dekat dengan dipan kasurnya. Selain bunga aku juga menemukan banyak mainan tin toys dengan beragam bentuk kendaraan dipajang di dinding dekat tempat tidur Tian. Mulai dari aneka bentuk mobil pribadi, angkutan umum, mobil-mobil kontraktor, sampai mobil balap.
"Jadi kamu penggemar mainan vintage?" terkaku.