Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #47

Pulang 2

Aku dan Tian berangkat dari bandara Papua pukul lima sore Waktu Indonesia Timur. Perjalanan udara memakan waktu sembilan jam lebih beberapa menit. Disambung dua jam perjalanan darat menuju ke pabrik dan perkebunan teh Rijckloff. Akhirnya tibalah kami tepat di bawah palang penanda agrowisata pabrik dan perkebunan sekitar pukul lima pagi. Anehnya, kami berdua tidak merasa lelah sedikit pun. Kami terlalu bersemangat. Oksigen dalam darahku seakan membawa materi lain yang kemudian memacu jantungku berdegup lebih cepat.

Udara pagi pegunungan langsung menusuk tulang. Hidung dan pipiku memerah sangking dinginnya. Bisa kulihat asap keluar dari mulutku saat menggerutu. Tian enak, kulit wajahnya berlindung di balik brewok. Aku mencengkram erat pegangan koper. Entah gerakan ini karena aku sedang menggigil atau bagian dari refleks semangatku.

Delman Supri yang sudah mangkal sedari azan subuh kemudian menawari kami tumpangan. Supri pasti lupa pernah mengantarku ke pabrik dan perkebunan ketika pertama kali aku pindah ke sini. Pelanggannya banyak. Yang pasti dia ingat hanya pelanggan tetap. Aku memaklumi. Lagipula apa hebatnya diingat oleh banyak orang? 

"Mau diantar ke mana?" tanya Supri menatap Tian intensif. Mungkin mata coklat Tian mengingatkannya pada seseorang seperti saat aku pertama kali bertemu Tian.

"Pabrik dan perkebunan teh," jawab Tian.

Kuda lantas mulai menggerakkan roda delman. Tian duduk di depan bersama kusir Supri. Aku dan koper-koper berada di kursi penumpang. Sementara di sisiku aku mendengar Gadis Kecil Bergaun Ungu bersenandung riang di sisiku, dan aku selalu berpura-pura tak peduli dengannya. Kuamat-amati Tian kerap terpana pada beberapa lokasi sampai kepala dan bahunya berputar hingga nyaris seratus delapan puluh derajat. Lama sekali ia memperhatikan tempat-tempat yang terselip dalam ingatan masa kecilnya: sekolah, gereja, warung-warung warga, dan rumah-rumah teman sekolahnya. Dalam dunia astral tempat-tempat itu tidak memberinya perasaan nyata yang mengenyangkan. Jika aku mau melihat mata Tian sedikit lebih lama, mata coklat itu akan bicara tentang betapa ingin dia mengulang kenangan indahnya.

Kenangan. Kenanganku lebih sederhana dari Tian. Aku punya kesan baik dengan hutan dan jalan tikusnya. Menurutku, itu sudah cukup menyanjungku. Selama aku punya rumah untukku berpulang ditambah kekasih yang menungguku, aku pantas menyebut perjalanan ini sebagai jalan pulang. Akhirnya aku punya kenangan dengan jalan pulang.

"Kenangan masa kecil Sabastian lebih murni daripada sesuatu yang kamu kira adalah kenangan indah. Dalam bernostalgia tidak mengenal keraguan." Gadis Kecil Bergaun Ungu berkata. Aku tak paham makna dalam kalimatnya. "Bandingkan dengan jalan pulang ke panti asuhan yang membesarkanmu. Masih kausebut ini jalan pulang?"

Tatapanku luruh memandang kotak roti dengan isian selai bluberi yang akan kuberikan sebagai oleh-oleh untuk Narah. Aku kurang mengerti mengapa keraguan yang aku sendiri belum benar-benar menginjaknya malah terendus oleh hantu itu. Justru keraguan di hatiku tumbuh dari benih menjadi bibit setelah mendengar ocehannya. Makna ucapannya terlalu dalam bagi perasaanku yang sedang kesasar ini hingga aku lupa diri di mana dan oleh siapa aku dibesarkan.

Jalanan kian menanjak. Matahari mengintip dari pegunungan. Tanaman-tanaman teh setinggi pinggul orang dewasa mulai mendominasi lereng dan perbukitan. Kami bertemu dengan ibu-ibu pemetik teh yang berangkat memetik teh, lengkap dengan topi caping di atas kepala dan keranjang di punggung mereka. Mereka berjalan dalam satu barisan seperti semut. Sesekali mereka saling menanyakan masakan apa yang mereka tinggal di dapur rumah sebelum berangkat bekerja. Aku tersenyum mendengarnya. 

Delman lalu melewati warung-warung warna warni dan juga melewati rumah semipermanen ibu Adi. Rumah yang sangat asing bagiku karena Adi selalu memilih menjauhkanku dari adiknya yang tinggal di rumah itu. Aku melihat Rani bermain di halaman rumah. Anak kecil itu sudah pandai lari dan melompat. Karena rumah mereka tidak berpagar, Ida yang sedang menjaga Rani juga terlihat olehku.

"Ra-ni! Sini dong!" Supri menggunakan nada lucu untuk menyapa Rani seraya menepuk pantat kuda. Aku baru tahu mereka bertetangga.

Rani tersenyum gembira melihat kuda Supri meringkik. Ida membalas sapaan Supri dengan tersenyum pula. Sejurus itu, senyumnya meredup usai melihatku. Ida menundukkan kepalanya tanpa menyapaku. Aku tidak ambil hati dengan sikapnya. Toh, dari dulu Ida jemu tanpa alasan setiap kami berpapasan.

"Sampeyan siapanya Tuan Willem, Mas?" Kuda berderap meninggalkan perkampungan. Satu kilometer sudah Supri baru memberanikan diri bertanya. 

"Anaknya, Pak," jawab Tian.

"Lah, Tuan Willem punya berapa istri, to?" Supri mengutarakan pikirannya. Lancang dan sembrono. 

"Dia ini adiknya Mbak Narah. Satu ibu dengan Mbak Narah," terangku.

"Bukannya anak lanang Bu Inggrid sudah meninggal. Adiknya ada berapa, sih?"

"Itu saya, Pak. Saya belum mati," beber Tian. Kami berdua kelihatan santai ditengah ombak tanda tanya yang menggasak Supri dan kudanya.

Melewati portal pembatas antara kebun Rickloff dengan kebun warga, Tian menengokku penuh arti. Di portal ini, portal yang dekat tanjakan itu, awal mula dia menunjukkan diri kepadaku dalam bentuk pendek, imut, dan tambun. Aku terkecoh olehnya pertama kali, Tian kecil begitu lucu dan menggemaskan. Tidak terbayangkan olehku bagaimana anak menggemaskan itu tumbuh dewasa dengan brewok di wajahnya meski kuakui Tian tetap tampan dengan brewoknya.

Jalan setapak menuju ke rimba hutan seolah memanggil-manggil namaku. Aku tidak bisa menyembunyikan gairah petualangku dari Tian. Tian memakluminya. Gadis Kecil Bergaun Ungu lalu melompat turun saat kuda delman sedang kencang-kencangnya berlari. Satu per satu kawan kecilnya bermunculan dari balik batang-batang pohon pinus. Mereka melambai. Tian memergokiku membalas lambaian mereka. Tian tidak lantas mempertanyakan kelakuanku. Dia biasa saja setelah mungkin pada akhirnya dia tahu ternyata penglihatanku juga dapat menembus ruang dan waktu. 

Lihat selengkapnya