Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #48

Sudahlah

Semenjak Senja tinggal bersama Adi, Senja berjasa menghidupkan rumah Adi menjadi lebih berwarna. Dia gemar membeli peralatan rumah yang fungsional dan artistik. Setiap sudut rumah yang terpapar sinar matahari dipercantiknya dengan meletakkan tanaman hias. Senja rajin merawat tanaman-tanaman indoor-nya itu hingga berbunga cantik.

Cahaya pagi masuk menyinari meja makan di dapur rumah mereka; meja persegi dengan dua kursi saling berhadapan dan satu kursi makan bayi berkaki tinggi. Demikian telah menggambarkan sebuah keluarga. Adi duduk di salah satu kursi, menunggu semua makanan selesai dihidangkan oleh Senja. Dilihat-lihat rumah mereka penuh peralatan dan perlengkapan bayi. Maklum, menyambut kelahiran anak pertama kerap kali berlebihan. Yang seharusnya bisa dibeli nanti, mereka beli dengan terburu-buru.

Senja sangat bersemangat menyiapkan segala kebutuhan bayinya tepat di hari setelah keluarga kecil mereka mengadakan Upacara Mitoni. Upacara Mitoni atau Tingkeban adalah prosesi tujuh bulanan yang menurut adat Jawa merupakan tradisi meminta keselamatan dan pertolongan dari Tuhan untuk ibu dan janin. Memasuki usia tujuh bulan dalam kandungan, pertumbuhan bayi dapat dikatakan semakin kuat, signifikan dengan gerakan aktif sehingga tidak ada salahnya Senja membeli banyak sekali perlengkapan. Tapi, kursi bayi di meja makan mereka tidak termasuk yang dibeli Senja kemarin.

Adi membuatnya sendiri dari kayu jati. Pada bagian meja penguncinya terukir nama sang buah hati. Sebulan terakhir ini, Adi sibuk berkutat di halaman depan rumahnya hanya untuk membuat kursi bayi untuk anaknya. Adi tampak mencurahkan segala perasaannya saat mengamplas kursi bayi itu dari pagi sampai sore hari seolah hanya ada dia dan kursi bayi itu di dunia.

"Bagaimana jika yang lahir nanti perempuan?" tanya Senja meletakkan sepiring lauk di atas meja makan. Satu tangannya menyangga perut bagian bawah. Beberapa minggu terakhir ia mulai kewalahan dengan perut besarnya.

"Masih bisa kukikis." Adi berdiri membantu sang istri. Lagi pula hasil USG beberapa kali terakhir menunjukan jenis kelamin laki-laki. Kenapa Senja memberinya pertanyaan melantur macam itu.

"Cutimu mulai kapan?"

"Minggu depan, Mas."

Mereka lalu duduk bersama menyantap makanan. Bunyi notifikasi grup karyawan di handphone Senja berdenting. Bila menyangkut soal pekerjaan, Senja langsung menyambar ponselnya. Kadang Adi juga begitu. Jadilah mereka saling memahami.

"Nanti malam akan ada makan bersama di rumah utama," ujar Senja membacakan pesan informasi dari majikannya.

"Datanglah tanpaku! Aku di rumah saja," ujar Adi. Hari ini bakal menjadi hari yg sibuk. Mereka harus lekas makan, mandi, dan berangkat bekerja. 

Senja menghela napas. Dirinya tidak tahu persis mengapa suaminya anti masuk ke rumah utama. Suaminya juga tidak pernah sekali pun menceritakan masa lalunya. Senja pernah dengar dari karyawan-karyawan lama bahwasanya Adi dan Na dulunya berteman dekat, sangking dekatnya mereka dikira menjalin hubungan. Apakah perkiraan itu bukan asal-asalan? Ataukah mungkin hubungan mereka merenggang karena persoalan asmara? Senja dirundung pertanyaan.

"Semua kepala bagian diundang, loh, Mas. Kenapa, sih, gak pernah mau datang?"

Adi tidak bersedia menjawab. Lebih baik dia makan dengan lahap. Baginya ucapan Senja satu itu terdengar lebih menyebalkan dari yang tadi menanyakan jenis kelamin anak mereka. Adi menikahi wanita yang cerewet pagi, siang, dan malam. Kalau sudah begini Adi ingin pergi merokok ke luar sampai istrinya berhenti bercuap-cuap.

"Oh, aku hampir lupa. Mas masih ingat Mbak Lembut, kan? Karyawan lama bagian sortasi."

Mendengar itu Adi bergeming di tempat duduknya.

"Aku ketemu Mbak Lembut di depan rumah kita, tapi dia tidak bisa mampir. Ada urusan di rumah utama, katanya. Apa ijazahnya masih ditahan? Dengar-dengar dulu dia resign cepat-cepat," lanjut Senja.

"Kapan? Kapan kamu melihatnya?" Adi meletakkan sendoknya.

"Pagi ini. Kami berpapasan ketika aku keluar beli sayur." Senja tidak menyadari adanya perubahan suasana di meja makan sewaktu ia mengadukan kedatanganku.

"Sebentar, Senja. Aku ke rumah Ibu dulu." Mendadak Adi berdiri. 

Lihat selengkapnya