Begitu saja aku menundukkan kepalaku, menyembunyikan setetes air mata yang tak perlu siapa pun tahu.
"Tadi memang aku mencarimu. Aku hendak ingin mengucapkan terima kasih. Aku mendengar semuanya. Kau menyelamatkanku. Aku tidak tahu apa Terima kasih saja cukup untuk pengorbananmu." Ketika wajahku terangkat, untungnya bulir air yang mengalir di pipiku sudah mengering.
"Sudah dua orang hari ini yang tiba-tiba berterima kasih padaku. Sungguh aku tidak butuh semua ucapan terima kasih." Pria yang kupandang itu berkata dibarengi dengus tawa kecil. Aku tidak mengenali bola mata yang menari pada kedua kelopak matanya. Kekasihku dulu tidak begitu. Sesaat setelah Adi berhasil mengelolah perasaannya dan rasa bersalah menguap dari wajahnya, ia tersenyum kepadaku.
Secepat itukah hal berarti menjadi tak lagi berarti di benaknya? Bagaimana dengan perasaanku?
***
Siang harinya di laboratorium uji mutu, Na menyeruput cangkir-cangkir seduhan teh, lalu melepehnya di corong pembuangan. Satu karyawati membantunya. Awalnya karyawan itu kaget dengan mengira yang datang adalah mandor pabriknya, dan bukan malah majikannya. Pak Adi selalu tepat waktu, tidak terlalu awal, tidak pula terlambat. Benar-benar tepat waktu. Pantas saja, karyawati itu sedikit terheran mendengar derit pintu laboratorium uji terbuka lebih awal dari biasanya. Ternyata itu Na yang ingin melakukan uji organoleptik.
Lima belas menit kemudian merapatlah Adi ke ruangan berkeramik putih itu. Kehadiran Na di kawasan aktifitas Adi menimbulkan kecanggungan. Adi mengambil jilidan kertas di atas meja. Hubungan antar mandor pabrik dengan Na sudah menyebar ke seantero pabrik dan perkebunan. Si karyawati menjadi yang paling tidak nyaman di dalam laboratorium saat dua kawah gunung berapi itu bertemu. Na lalu memperbolehkan si karyawati keluar.
"Berapa?" tanya Adi. Sadar betul dia tetap harus menjaga jarak. Kertas untuk mencatat hasil uji mutu sudah di tangannya. Tinggal menorehkan tinta di atas kertas beraroma teh itu.
"Empat di semua kolom," ujar Na dingin. Selagi Adi menulis, Na memandang jajaran gelas dan mangkok keramik seraya menganyam kalimat yang baik untuk membuka percakapan. "Sabastian memintamu datang ke makan malam nanti." Suara Na terpaksa. Terpaksa mengalah dengan ego.
"Aku tidak janji." Adi menjawab, sama dinginnya. Lihat betapa angkuh mandor pabrik itu dalam mempertahankan harga dirinya! "Aku ikut senang atas pulangnya adikmu. Yang membingungkanku ada di bagian, bagaimana Sabastian bisa selamat dari jurang?"
“Katamu, dia bangkit dari kubur.”
Tak seorang pun dari keduanya tertawa. Situasi begitu hambar.
“Bagaimana?” ulang Adi.
"Ada seseorang yang menyelamatkannya hari itu." Na pikir lumrah Adi bertanya seputar kembalinya Sabastian yang berita kepulangannya menggemparkan pabrik dan perkebunan bahkan sampai ke perkampungan bawah.
Adi mengangguk halus. Masuk akal.
"Apa kau ingat hari ketika kita kehilangan Sabastian?" Tiba-tiba saja Na mengajak Adi menggali ingatan.
Adi mengangguk. “Aku ingat.”
"Di mana kamu saat Sabatian terpeleset?"
"Kira-kira aku di sana dengan jarak seperti aku denganmu saat ini. Aku melihat pertengkaran kalian, tapi aku tidak ingat apa yang kalian ributkan. Aku pula yang memberitahu polisi kalau kamu mendorong adikmu." Adi mengatakan dengan ekspresi datar. Dia merasa tidak perlu lagi berakting memasang wajah dengan torehan empati.
"Kesaksianmu pada polisi membuat semua orang berpikir aku telah mencelakai adikku." Mata Na menyipit. Kini jemari tangannya mencengkram ujung kain roknya.
"Benar begitu, kan? Kalian saling dorong waktu itu. Sialnya posisi Sabastian paling dekat dengan jurang. Tapi, aku tahu kamu pasti tidak sengaja. Saat Sabastian jatuh, kamu berusaha menariknya ke atas."
"Tentu saja. Aku mana mungkin mencelakai adikku.” Na mengernyit. Sesuatu mengganjal pikirannya. “Terus? Apa yang kau lakukan saat itu?"
"Memperhatikan kalian,” jawab Adi datar.
"Membantu, barangkali?" sergah Na memperinci sekaligus menyingkap emosi di balik ekspresi dan nada Adi yang datar.
"Aku hanya menonton kalian. Seru sekali melihat kalian berdua menangis."
"Wat!" Na mendelik.
"Hujan kian deras. Aku berbalik pulang sebelum mendapatkan klimaks peristiwa kalian saat itu. Jadi, seseorang datang menyelamatkan adikmu? Siapa kira-kira orang itu, Na? Kenapa hari itu kamu justru pulang sendirian?"
"Mana kutahu!" Na meradang. Bisa-bisanya si gila itu punya banyak pertanyaan di kepalanya. Na pergi meninggalkan Adi yang tidak menampilkan secuil sesal. Alangkah menyeramkan sosok manusia yang sempat dianggapnya teman baik! Bukan main, pabrik dan perkebunan memelihara seorang psikopat murni seperti dia di sekitar sini.