Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #51

Mati

Tubuhku merunduk dengan wajah ditopang meja kayu. Kain putih lusuh membungkusku. Tanganku sukar digerakkan dan terasa seperti terikat. Ketika kutegakkan setengah tubuhku, aku sadar tengah duduk di tepi meja di sebuah ruangan yang temaram dengan lilin merah menyala. Kain yang membungkusku membatasi jarak pandanganku. Samar-samar kulihat dari balik serat kain, empat orang duduk bersamaku di meja persegi panjang. Lilin-lilin merah di hadapan mereka juga menyala. Lalu jam bandul berdentung hingga membuatku sedikit terperanjat dari tempat duduk. Sejurus itu aku menjadi tahu di mana aku berada.

Manusia berselendang kuning mendekat dari ujung meja. Kain yang menutupi kepala dan tubuhku kembang-kempis oleh desiran napas. Gerakanku mulai resah. Jemari runcing dan panjang dari sosok hitam berselendang kuning menyingkap kain lusuh dari wajahku. Kini aku bersitatap dengan sosok hitam berselendang kuning. Dia berkata dengan suara yang kukenali, meski sulit kupercaya. "Selamat datang kembali, Lembut!"

Tiga sosok lain, dua di antaranya berpostur laki-laki, berkulit hitam, dan berselendang warna putih dan satu lagi berkulit seputih kertas, berpostur wanita, menoleh ke arahku seraya tetap duduk tegak di kursinya. Yang berpostur wanita sempat menelengkan kepalanya. Barangkali dia mengenali relief wajahku atau baru kali ini dia melihat ada sosok lain di meja makan rumah ini. Apa pun yang terpikirkan olehnya, mereka bertiga harus tetap diam seumpama diperintah untuk tidak usah turut mengurusi urusan antara Lelaki Hitam Berselendang Kuning denganku. Dan, mereka mematuhinya.

"Tidak, tidak!" rintihku menolak terdamparnya diriku di sini. Bukannya tanganku diikat, melainkan kedua lenganku hilang. Aku kembali di rumah ini dalam bentuk manekin tanpa lengan. Polos dan telanjang. Mengapa ini bisa terjadi lagi terhadapku? Kupikir aku sudah tidak ada hubungannya lagi dengan pabrik dan perkebunan.

"Ingat saat aku bersumpah tidak akan menyakitimu lebih dari sekadar menyayat sedikit kulit kepalamu?" Lelaki Hitam Berselendang Kuning mendudukkanku di pangkuannya.

Aku tidak berkenan menjawab.

"Tenanglah. Nafasmu memburu, Lembut. Jika terus begitu, kau tidak akan diuntungkan. Sebab aku suka mempermainkan ketakutan seseorang. Jadi, cobalah tenang,” bisiknya sambil menjauhkan lilin merah milikku ke tengah meja.

Aku menahan nafas.

“Bagus. Aku menyukaimu yang selalu diam.” Tangan hitam melingkari pinggangku. Ini menjijikkan. Rasanya aku telanjang di dekatnya. 

“Aku mengenalmu."

Lelaki hitam tersenyum. Aku bisa merasakan hela napasnya di samping telingaku. “Sebentar saja. Aku ingin kau mengerti lebih dulu bahwa sesungguhnya aku melakukan ini untuk orang-orang yang kucintai. Kamu—" Dia masih berbisik di dekat telingaku, "anakku yang sebentar lagi lahir dan Senja. Kalian bertiga adalah orang-orang yang harus hidup."

“Hentikan, Adi!" kata lantang. Aku mengerti maksudnya. Aku mengerti kenapa dia berbisik. 

"Apa selama ini Lelaki Hitam Berselendang Kuning itu kamu, Mas?" sahut patung lilin berpostur wanita. Suaranya yang lunak identik dengan Senja. Sosok wanita itu melengserkan selendang putihnya. Benar saja, tak lain dan tak bukan patung itu  adalah Senja. Sekarang aku bisa menebak siapa dua lelaki hitam lainnya. Kepala gudang dan mandor kebun, alias Jaka dan Pak Hilmi.

Lelaki Hitam Berselendang Kuning tak menggubris Senja. Entah bagaimana caranya, dia memadamkan lilin merah milik Senja. Seketika sosoknya dalam dimensi ini tertunduk dan sebenar-benarnya mematung. Mungkin malam ini Senja terbangun dari mimpi yang berulang-ulang mengusik tidurnya.

"Sudah waktunya dia tahu dengan siapa dia menikah." Lelaki Hitam Berselendang Kuning diam sebentar usai berkata. Pikirannya keluar sebagian. Nampaknya ia memikirkan istrinya.

"Kenapa membuat dirimu jadi begini?" kataku menyatukan kembali fokusnya.

"Lantas, kenapa kamu bertanya seolah bukan kamu yang menjadikanku seperti ini?"

"Kubilang apa, pamanku bisa menyelamatkan kita." Mataku berpusat pada lilin merah milikku. Apabila lilin itu berhasil kupadamkan, maka aku bisa bangun dari tidur panjang yang pastinya mengkhawatirkan banyak orang.

"Tidak, Lembut," bantahnya, "sejak awal pamanmu dan Inggrid memanfaatkanmu untuk menjebakku. Kini giliran aku menjebak investor itu. Tidak ada orang tua yang mewariskan kesialan pada anaknya. Begitupun aku, aku harus mengakhiri ikatan keturunan ini sebelum anakku lahir. Aku rela mempertaruhkan nyawaku. Jadi, tunggulah sampai pamanmu datang dan bertarung denganku! Hanya dengan cara ini aku bisa memutus perjanjian darah yang kuambil untuk menyelamatkanmu. Baphomet berjanji akan mengakhiri semuanya jika kubunuh Manuku. Hanya di sini aku bisa membunuh siapa pun."

Aku tertawa kecil dengan satu sudut bibir terangkat. "Kepada hantu anak kecil saja aku berhati-hati mempercayai ucapan mereka. Kamu malah percaya pada makhluk sekelas iblis."

“Apa sebaiknya kamu tetap tinggal di sini sehingga aku bisa melihatmu dalam setiap tidurku." Adi terdengar jengkel.

Lihat selengkapnya