Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #52

Kabar Duka yang Terakhir

Sudah tiga hari katanya, selimut hangat dan kasur empuk mengapit tubuhku. Ketika aku terbangun, yang pertama kali kupastikan adalah kedua lenganku. Sempurna. Dua tanganku dapat kugerakkan, kugunakan untuk menyingkap selimut. Terduduk aku di atas ranjang. Masih ada satu ranjang milik anak panti lain di sebelah. Sprei, selimut, bantal, dan guling ditata rapi sebelum ditinggalkan kosong. Aku ingat pada kamar ini. Sena pernah tidur di ranjang sebelah dan aku pernah tidur di sini. Kami berkisah banyak hal setiap menjelang tidur. Pokoknya bukan hal-hal yang membuat kami terdampar di panti asuhan ini.

Aku bangkit menghampiri pintu kamar. Hampir semua ruangan di rumah panti tidak memiliki jendela. Satu-satunya cara agar kami dapat melihat keluar hanya dengan keluar kamar, melangkah di koridor, menuruni tangga, dan barulah udara pagi atau pun cuaca hari ini bisa terlihat dari taman di ruang tengah rumah panti. Aku melangkah keluar kamar. Bayangan taman di ruang tengah mampir di kepalaku. Biasanya saat di luar sedang hujan, banyak anak bermain di ruang tengah. Yang unik adalah rumah panti kami sering dilanda hujan meski di musim kemarau. Kami paham mengapa itu terjadi.

Kakiku menjajaki lantai koridor dengan dindingnya yang lembap serta pencahayaan remang. Dahulu, anak-anak panti paling takut berjalan di koridor sendirian. Tidak demikian denganku. Tempat-tempat kelam selalu kuminati karena memberiku kenyamanan yang bila ditanya kenapa, aku kesulitan memberikan alasannya. Setidaknya hantu-hantu di tempat-tempat semacam itu tidak mengusikku bila tak kuusik mereka lebih dulu. Berbeda dengan manusia, ada banyak dari manusia yang kesulitan kalau disuruh diam. Yah, mereka makhluk sosial. Aku mengerti. Mereka punya insting mengganggu manusia lain.

Dua saudara pantiku, Udoyok dan Sena adalah contoh dari sebagian kecil manusia  yang suka mengganggu manusia lain. Saat kami masih remaja tanggung, dua makhluk sosial itu selalu menemukanku di pojok koridor. Mereka tak pernah menghargai kenyamananku. Setiap kali melihatku menempel di dinding koridor, mereka akan menyeretku ke bundaran kota tanpa berkompromi dulu.

Setiap hari minggu Paman memberi kami uang jajan. Anak remaja mendapat dua puluh ribu rupiah untuk satu minggu. Hari minggu hari yang tepat bagi Udoyok dan Sena menghabiskan semua uang di bundaran. Udoyok membeli banyak keong dan cangkang kosong guna disebarkannya ke taman ruang tengah. Udoyok pernah juga membeli anak ayam warna-warni, tapi pengasuh mengomelinya karena melepaskan mereka di sawah. Ujung-ujungnya anak ayam itu menjadi buruan ular.

Lain ceritanya Sena. Sena membungkus batagor dan es jadi beberapa kantong plastik kecil, lalu membagikannya kepada anak-anak jalanan. Sementara aku tidak mau mengikuti kelakuan mereka. Aku sangat hati-hati menggunakan uang dua puluh ribuku. Di akhir bulan kugunakan uang itu untuk membeli tanaman hias dengan segala kebutuhan berkebun lain.

Bundaran kota menjadi tempat favorit kami berbelanja dan bermain. Ada satu anak punk yang sering kami lihat di bundaran kota, dia membeli batagor Sena dengan uang hasil mengamennya. Badannya lebih tinggi dari kami, mungkin dia seusia anak SMA. Gaya mohawk rambutnya menandakan dia tidak bersekolah. Dia kira nasib Sena lebih sial darinya, maka dari itu anak punk itu rela membeli batagor Sena. Jika di bawah terik matahari, wajah Sena yang berkeringat dan dekil memang terlihat seperti anak kecil yang tidak terurus. Aku dan Udoyok suka mengejeknya dengan sebutan si anak rimba.

Keluar dari koridor, kaki telanjangku menginjak pangkal tangga. Lantai tangga dingin, railing berbahan logam jadi sedingin es. Kulihat anak-anak dan orang-orang dewasa berkumpul di ruang tengah. Mereka serempak memandang taman. Udoyok menyadari langkah senyapku dari pantulan kaca taman.

"Apa yang terjadi pada Paman, Lembut?" tanyanya. Semua orang menoleh padaku.

Lihat selengkapnya