Kami berjalan kaki beriringan menuju sawah, tak lupa kami berfoto dan membuat video estetik di sekitar sawah yang akan kami editnya nanti, gemercik air sungai yang berada di pinggiran sawah membuat kami tak sabar ingin segera bermain dengannya.
Tak terasa hari sudah mulai sore, matahari sudah hampir terbenam. Aroma senja telah tercium, kami putuskan untuk segera pulang dengan melewati arah yang berbeda. Kami berjalan menuju arah selatan, hingga akhirnya kembali lagi melewati pohon beringin di pertigaan yang menuju ke arah rumah Meli. Pemandangan orang yang sedang berada di sekeliling pohon beringin membuat mata kami tertuju ke arah yang sama. Beberapa sesajen, aneka minuman seperti kopi dan teh terlihat dibawanya juga dalam sebuah nampan yang berbeda, ada juga yang membawa bunga-bunga segar yang masih bertangkai.
"Itu kepercayaan orang sini, kalian gak usah kaget. Sebagian warga sini masih ada yang melakukannya! Percaya dengan hal-hal gaib yang katanya bisa mendatangkan kemakmuran dan kekayaan," Meli lebih dulu menjelaskannya, sebelum kami sempat bertanya.
"Ayo jalan lagi!" ajakku.
Kulihat Nura merekam aktifitas warga yang sedang melakukan persembahan di bawah pohon beringin. Aku segera menegurnya.
"Ra, udah ... jangan di rekam-rekam, itu privasi mereka ...," ucapku.
Nura menghentikanya, aku segera menghampirinya dan merangkul pundaknya mengajaknya berjalan kembali. Aku yang kerap bermimpi tentangnya, membuatku selalu khawatir akan dirinya.
****
Hari ini, sebuah momen yang tepat bagi kami. Pasalnya pagi ini sebuah pertunjukkan kesenian khas daerah tempat Meli tinggal, akan diadakan di lapangan yang berada tak jauh dari rumahnya.
Kami pun segera bersiap dengan berjalan kaki menuju arah lapangan.
Pohon beringin yang besar dan menjulang kami lewati kembali. Berbagai sesajen, bunga-bunga segar, penuh di bawah kakinya. Aku melihatnya sekilas.
Sampailah kami di sebuah lapangan yang sudah terlihat ramai. Banyak orang yang berjualan jajanan disana, membuat kami teringat masa-masa sekolah dasar dulu yang kerap membeli jajan di luar pagar sekolah di jam istirahat. Segera kami membelinya, yang akan disantapnya saat pertunjukkan kesenian daerah telah dimulai.
Semakin ramai warga berdatangan setelah acara mulai berjalan. Semua bersorak ramai, tepuk tangan warga saling bersahutan. Kami berempat sangat menikmati pertunjukkan itu. Tak lupa kami merekamnya untuk dijadikan status di sosial media masing-masing. Selasai acara, kami pulang dengan melewati jalan yang sama.
Tanpa kami sadari, Nura ternyata membawa beberapa tangkai bunga krisan putih yang sudah mulai layu.
"Nura! Kamu dapat bunga ini dari mana?" tanyaku menyelidik.
"Emmmh ... tadi, di bawah pohon beringin. Mau buat foto-foto nanti sore di sawah," jawabnya lirih.
"Apa!!!" sontak kami bertiga.
Tak habis pikir, hanya untuk berfoto ia mengambil bunga sesembahan yang ada di bawah pohon beringin. Meli menatapnya dengan tatapan khawatir begitu juga dengan aku dan Anis.
"Besok janji, akan aku kembalikan!" timpal Nura meyakinkan.
Sore itu kami menuju sawah kembali dan berfoto-foto, Nura menawarkan bunga krisan putih yang dibawanya kepada kami. Tapi kami bertiga menolaknya. Jelas kami takut, karena bunga itu sudah di tujukan untuk sebuah ritual.
Sepulangnya, Nura menaruh bunga itu ke dalam sebuah gelas yang berisi air dingin. Kelopaknya yang telah tertidur, kembali mekar.
****
Mataku rasanya enggan untuk terpejam, kulihat sebuah jam yang tergantung di dinding sudah menunjukkan pukul 23.00.
Mereka bertiga sudah tertidur pulas, mataku kini tertuju pada sebuah bunga krisan putih yang berada di dalam sebuah gelas. Aku duduk dipinggiran kasur, memandanginya sekilas.
"Aaa ... jangan ... jangan ...!" jerit Nura dengan mata yang masih terpejam.
Aku terkejut saat mendengar teriakkan Nura.
"Nura ... Nura ... Ra ...?" Aku menepuk-nepuk pipinya. Dia membuka matanya sebentar dan tertidur kembali.
Fiuh, Syukurlah tidak apa-apa.