Aku, Anis, Meli dan Ibunya segera mencari keberadaan Nura.
Nenek terpaksa harus tinggal di dapur, menyelesaikan masakannya.
"Nura ...."
"Nura ...."
"Nura ...."
"Ra ...."
Kami saling bersahutan memanggil namanya. Beberapa warga yang sedang lewat, ikut serta membantu kami mencari Nura. Kami mencarinya secara berpencar.
Hingga sampailah kami di bawah pohon beringin. Aura mistiknya semakin nampak kala langit masih terlihat gelap. Kulihat seseorang menggunakan baju tidur berbahan satin berwarna nude yang tak asing lagi bagiku, telungkup di kaki pohon beringin. Kami dan para warga yang ikut membantu mencari Nura, segera menghampirinya.
"Ra ... bangun Ra ... Nura!!!" Aku terus berteriak memanggil namanya, tak percaya dengan apa yang saat ini berada dihadapanku.
Salah satu tangannya memegang bunga krisan putih yang semalam di taruhnya dalam sebuah gelas yang berisi air dan salah satu tangannya memegang pisau. Pisau yang saat itu kami cari di dapur. Entah pada saat kapan Nura mengambilnya.
"Nura ... Nura ... bangun Ra ... bangun! Hiks ... hiks ... hiks ...." Aku menangis sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Berharap masih ada sisa-sisa nafas dari dalam dirinya.
"Ra bangun Ra ... Nura ... bangun! Hiks ... hiks ... hiks ...." Anis dan Meli ikut menangis sambil memeluk tubuhnya.
Ibu Meli ikut bersedih melihat Nura yang sudah tidak bernyawa dengan urat nadi pergelangan tangannya yang terputus. Warga ikut bersimpati atas apa yang Nura alami. Mereka segera meminta pertolongan pada pengendara mobil yang sedang lewat untuk membawa jasad Nura.
Saat warga akan membawanya ke rumah sakit, kulihat ada darah segar yang mengalir di pahanya.