Kami tiba di sebuah rumah sakit daerah yang tidak begitu besar. Terlihat jasadnya sudah tertutup kain putih di kamar jenazah. Kusibak sedikit kain putih yang menutupi wajahnya untuk terakhir kalinya.
Semoga kamu tenang di sana ya Ra, dan Allah mengampuni segala dosa-dosamu.
Air mata kami mengucur kembali melihat jasad Nura yang kini terbujur kaku.
"Maaf adik-adik, silahkan kalian menuju ke ruang tunggu," ujar salah seorang petugas kamar jenazah menghampiri kami yang sedang menangis.
Kami pun beranjak, menuju ruang tunggu rumah sakit sambil menunggu kedatangan Ibu Nura. Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, dari jauh terlihat Ibu Nura berlari menuju arah kami.
"Mana Nura? Mana Nura? Dimana Nura anak saya? Hiks ... hiks ... hiks ...," tanya ibunya disertai tangisan yang semakin keras.
"Nura berada di kamar jena-zah Bu," jawab kami terbata sambil saling bertukar pandang.
"Nura ... kenapa kamu pergi ninggalin ibu nak???" serunya parau.
"Eh, eh ... Bu ... Ibu ...." Segera kami memegangi tubuhnya yang sudah tak bertenaga.
Ibu Nura hampir ambruk, kami membantu memapahnya untuk duduk dan memeluknya agar beliau merasa tenang.
"Yang sabar ya Bu," ujar kami semua.
Jenazah Nura dibawa ke kediamannya yang masih satu daerah dengan Meli, hanya berselang sekitar 2 jam. Sebuah mobil ambulan telah bersiap untuk mengantarkan Nura ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kami mengikuti di belakangnya dengan mobil yang berbeda.
Haru biru mewarnai acara pemakaman, beberapa kerabat dan temannya hadir ikut berbelasungkawa. Suasana pilu kian selimuti proses acara pemakaman Nura.
Kami bertiga berada di sana sampai prosesi acara pemakaman selesai dan ikut menemani ibu Nura di rumahnya selama beberapa waktu.
"Yang ikhlas ya Bu," ucapku, sambil kembali memeluknya.
"Maafin kesalahan Nura ya? Kalian jangan sungkan-sungkan untuk main ke ibu, walaupun Nura udah gak ada," ucapnya lirih, yang masih diselimuti kesedihan.
Hari mulai sore, kini saatnya kami berpamitan ke Ibu Nura untuk segera kembali ke Jakarta.
Masih dengan kereta yang sama, kami menuju ke stasiun terdekat dengan menggunakan angkot kuning. Aku, Meli, Anis berpegangan tangan untuk saling menguatkan, disela-sela air mata yang terkadang masih menitik kami mencoba untuk tersenyum.
Kereta itu melaju memecah senja yang telah hadir menembus langit.
****