Kabari Aku Bila Hujan Turun

Naila Hafizha
Chapter #1

Perjalanan yang tak diharapkan

“Ini hanya sebagian kecil dari hidupku yang kuikutsertakan,” Ranah menyeret kontainer plastik yang dia ikatkan pada tali rafia. Buku-bukunya tak semudah itu dapat Ia tinggalkan di rumah.

           “Halah, drama.” Basma, bahkan tanpa membantunya, bergaya bagai kenek bus. Nangkring  di tangga empuk bus malam yang akan membawa mereka pada tujuan yang sesungguhnya tidak mereka harapkan.

           Ranah sudah kewalahan, mengerang pada kawannya. Sudah ketiga kalinya kardus setengah jebol yang Ia letakkan di atas kontainer—terjungkir dan membuat isinya berserak. “Diam kau! Atau selamat, kau takkan merasakan tempat duduk dalam empat hari kedepan!” hardik Ranah dengan wajah yang seakan mencari bendera putih untuk Ia kibarkan.

           Basma hanya memiringkan kepala, berlari masuk perut bus. Secepat kilat menyibakkan gorden, dan membuat isyarat. “I’m asleep. Don’t wake me up.” Pertanda dua kursi bus sekaligus, akan Ia lahap tanpa rasa dermawan. Di bawah sana, Ranah yang tadi membenarkan kardus yang jatuh, sengaja menendang kontainer plastik. Tanpa ancang-ancang, buku berjilid yang Ia rumahkan dalam kardus setengah jebol sudah berserak lagi, untuk kesekian kalinya.

           Oh astaga! Aku lelah!

           Aspal yang masih basah, dan genangan air yang beriak ketika daratan tak rata dilalui sejumlah koper yang berlalu-lalang. Ramai sekali. Pukul 21.00 seakan menunjukkan bahwa tadi, Ia sudah tidur siang. Membuatnya sangat aktif-produktif di malam hari.

           Sejumlah bus malam jurusan Mantingan sudah berlayar satu jam yang lalu. Ranah sudah banyak menghabiskan air matanya untuk itu. Ia akan melalu sebuah perjalanan yang tak pernah Ia harapkan. Menempuh hari yang tak dapat Ia jangkau. Bahkan, jarak Jakarta-Mantingan tidak cukup untuk menggambarkan berapa mil jauh perjalanannya.

           Pada Ahad, 20 Juni 2020, pukul 21.30 malam, Ranah memulai perjalanannya yang tak pernah Ia harapkan.

***

           Rombongan ‘anak Rimbo’. Julukan yang hingga saat ini tak Ranah pahami. Mau bagaimanapun telinganya menolak untuk menyematkan julukan itu pada otak dan hatinya. Tapi Ia menjadi saksi, betapa kawan-kawannya bangga dengan sebutan itu. Apa sih, bagusnya jadi kawanan rimbo? Maksudnya hutan rimba? Apakah destinasi yang akan dituju adalah tanah lembab hutan rimba, dengan segala makhluk di dalamnya? Ia merupakan julukan yang tak masuk dalam logika dan perhitungan Ranah.

           Perjalanan empat hari di atas bus. Pengalaman yang bahkan untuk membayangkan saja, membuat pantat sudah berasa tipis.

           “Hm? Masih malam ya?” Ranah menarik jatah selimut Basma di sebelahnya. Miliknya sudah tidak terdeteksi wujudnya. Yang sedang meringkuk anteng, dengan jurusnya sedetik menepis jangkauan tangan Ranah. “Enak aja. Jam Sembilan nih! Daritadi subuh pakai teknik apa, sih?” tak rela dirampas, Basma mengeratkan pelukannya dengan selimut tipis yang disediakan dalam bus.

           “Eh, pagi?” Ia menyibakkan gorden jendela. Terperangah karena hanya sesawahan yang dapat Ia pantau sejauh mata memandang. Terlihat begitu berkilau dengan pantulan cahaya matahari dari embun sisa hujan semalam.

           Makanan ringan hasil endapan dua hari perjalanan di atas bus. Bahkan Ranah tidak ingat pernah membuka bungkusan bekal keripik singkongnya. Mengenaskan sekali sudah terhambur dalam tempat sampah plastik berikut timbunan bungkus makanan basah. Oh benar-benar ganas tiada ampun manusia-manusia penghuni bus lintas pulau ini.

           Diperkirakan pukul sebelas siang, bus tiba di Merak. Pelabuhan yang menghubungkan secara langsung, Banten dan Lampung. Bus akan diparkirkan di halaman kapal Feri, beriring dengan beberapa truk muatan penuh, bus-bus lintas kota lainnya, dan beberapa kendaraan kecil yang tak kalah memadati serambi beton kapal.

           Kalau mengingat Lampung, Ranah sempat menjejakinya setahun yang lalu. Bersama ibu, bapak, adik-adiknya, juga nek. Nek yang paling bersemangat sih, kala itu. Mungkin karena pernah hidup di waktu Lampung masih muda dan berkisah panjang selama itu. Wah, pandai sekali seperti pemandu wisata turis asing. Bahkan dia bercerita panjang lebar di atas perahu yang mengombang-ambing mereka pada hutan mangrove, alias bakau. Dengan luasnya perairan Lampung, sumber daya, dan sejarahnya. Wah, nek benar-benar jadi si Pitungnya Betawi!

           Menjelang siang hari, bus masih berhawa sangat dingin. Namun di balik kaca jendela, matahari begitu terik untuk kawasan Merak. Seakan Merak tidak pernah kenal, apa itu hujan.

           Perkiraannya benar, bus tiba di kawasan Merak. Tapi antrean kendaraan begitu mengular. Sudah terlihat dari kejauhan, dermaga kokoh dengan banyak kapal terparkir, ditambatkan dengan tambang dan rantai raksasa. Pemandangan yang menurut Ranah mengerikan, namun sekaligus luar biasa. Melihat kendaraan-kendaraan raksasa itu membuatnya seakan sebentar lagi tertelan oleh mereka.

           Setelah cukup lama bus berjalan tersendat-sendat, akhirnya tiba juga mereka di lambung kapal. Pintu bus dibuka otomatis, di baliknya, anak-anak sudah berdiri berbaris menunggu giliran untuk menghirup udara segar setelah seharian penuh di dalam bus ber-AC

           Mereka disambut oleh hangatnya udara yang bahkan terlalu halus dibilang begitu, karena ‘sumpek’ adalah kondisi paling tepat untuk menggambarkan udara di sana kala itu. Asap knalpot kendaraan besar beradu, membuat hembusan-hembusan panas tersorot ke wajah. Sewajarnya, mereka turun dari bus setelah tiba di area parker atas. Tapi karena antrean yang bergilir, dan nuansa lembab dari lambung kapal sudah menyeruak—pikir mereka, alangkah baiknya bila dapat keluar meski berjalan kaki.

           Tanah beton dan sangat sedikit cahaya dari luar yang mengintip. Membuat anak-anak berjalan melipir di jalan sempit antara kendaraan-kendaraan besar, dan dinding kapal. Perlahan-lahan, terkadang sepatunya tenggelam dalam genangan air akibat permukaan yang tidak rata. Kemudian menaiki tangga kapal yang curam dan licin. Ukurannya pun hanya bisa dilalui seorang saja. Hanya dilengkapi dengan besi biru berkarat, yang diikat dengan karet ban bekas, seolah menjaga mereka agar tidak tergelincir.

           Silaunya cahaya matahari mulai membutakan mata. Membuat bayang-bayang putih-biru kelabu, menghalangi objek, kemanapun arah mata memandang.

           “—Oh!”

           Basma mencoba menghalangi sebagian wajahnya dengan telapak tangan. Bertemu sang surya setelah meraba-raba langkah bak dalam goa di bawah sana, membuat pupil benar-benar mengecil. Terkejut, dan untungnya adaptasi ini tidak berlangsung lama.

Lihat selengkapnya