Program ini terselenggara di tahun 2020. Dan sudah berjalan selama sepuluh tahun. Terpercaya dan terbukti, bahwa 95% pesertanya, diterima di kampus-kampus luar negeri—jalur beasiswa, maupun non-beasiswa. Ranah pun antusias mendaftarkan diri karena alasan ini. Ia merasa, melalui program sosial inilah, jalur impiannya bersekolah di Eropa dapat terbuka.
Kegiatannya terbilang padat, karena akan diadakan acara-acara penting seperti diskusi, presentasi budaya, kegiatan di alam terbuka, dan mengajar. semua anak akan ditempatkan mengajar sesuai dengan kemampuannya. Bekerja seperti volunteer atau sukarelawan, dan tanpa dibayar.
Sebenarnya menjadi relawan di program ini terbuka untuk siapapun, selama mereka memiliki komitmen yang besar dan rela berkorban. Namun kenyataannya, tugas mulia ini tidak bisa dilakukan oleh semua orang.
Banyak peserta yang mahir berbahasa setelah menjalani program ini. Karena, tidak hanya praktek berbicara dengan Bahasa Inggris yang dibiasakan, melainkan juga mengajarkan dan menyebarkan ilmu yang telah mereka pelajari, kepada anak-anak sekolah menengah.
Ranah berminat mengikuti kegiatan ini selama satu tahun penuh. karena sudah banyak pembuktian, lewat sinilah menurutnya—tapak jejak mengarahkannya bersekolah di kampus Eropa, juga berdasarkan kecintaannya terhadap berbagai bahasa dunia.
***
Bermimpi saja selalu. Sampai kapanpun, takdir tidak berpihak padanya. Omong kosong pendidikan terjamin. Omong kosong meningkatkan mental dan ketrampilan berbahasa. Omong kosong Kampus Eropa!
Pagi buta pukul setengah empat subuh. Ranah melangkah dari anak tangga terakhir bus. Disambut oleh permukaan tanah tidak rata, penuh kerikil untuk mengurangi teksturnya yang belok sehabis hujan.
Sudah bagian dari prasangkanya, Ia pasti menyesal! Selamat tinggal kampus idaman, selamat tinggal Bahasa Inggris!
Sesuai dengan peraturan program ini, sekawanan relawan ditempatkan sesuai pertimbangan panitia. Beruntung bila mendapat jatah di markas pusat. Tak perlu lagi merintis, segalanya serba ada, dan yang jelas—masa depannya terlihat begitu cerah.
Mungkin di markas pusat lah seluruh testimoni yang diomongi sedari tadi pernah berlangsung. Apa benar, di tempat yang terpencil dan minim Bahasa Inggris ini akan tercetak seseorang yang besar? Ranah rasa tidak.
Bagaimanapun, Ia telah memilih jadwal programnya selama satu tahun. Maju dan bertahan, meski tak tahu apa yang akan dihadapinya di depan nanti, atau berhenti dan mengundurkan diri—kemudian jelas tak dapat apapun, selain harga dirinya yang terpandang rendah.
Baiklah, dicoba dahulu.
Kalaupun menyerah, Ia tidak tampak seperti pecundang yang takut air. Kabur sebelum menyentuhnya.
Sebelum turun tadi, Ranah sempat terbangun dari tidurnya dalam bus. Melihat sekeliling. Memang tidak terbilang kampung ataupun desa. Lebih tampak seperti perkotaan yang sepi dan lengang. Di balik gorden bus yang tersibak, hanya gelap yang terlihat. Di kanan kiri jalan yang lumayan lebar pun tidak tampak seperti rumah penduduk. Lampu jalan berjarak lumayan jauh satu dengan lainnya, membuat banyak wilayah yang tak tersiram cahaya, Nampak begitu horor.
Melintas sekitar 4 kilometer jalanan beton, terpampang di sisi kanan jalan, papan nama sekolah yang kokoh. Tiang yang menjulang dengan model LED box di puncaknya. Hanya daerah sekitar sini yang dapat terlihat jelas. Benar-benar sepi, selain rumah-rumah mungil pemilik warung dan usaha laundry.
Sempat Ranah mengabari Hata, bagaimana perjalanannya empat hari ini. “Semangat ya, nanti kalau kamu pulang kita ketemu ya,” begitu kalimat terakhirnya sebelum laki-laki itu mematikan telepon. Ranah tersenyum mendekap telepon genggamnya. Memang manis sekali segala yang diperbuat Hata kepadanya, tapi sampai sekarang pun, Ia masih bimbang. Apakah benar, Ranah hanya satu-satunya wanita yang ada di hatinya? Lelaki itu aktor, wajar bila menjadi idola para wanita.
Jelas sudah kalau saingan Ranah tidak hanya satu-dua. Tapi Ia tetap percaya omongan Hata—lelaki itu sungguh terganggu dengan perempuan-perempuan yang terus mengejar dirinya. Benar-benar muak, meski tak sedikit Ia memperoleh berbagai hadiah dari mereka—tak jarang juga yang berbicara buruk tentang dirinya. Oleh karena itu, Hata bilang, ia ‘percaya’ pada Ranah. Tapi kata ‘percaya’ ini, terlalu luas maknanya untuk ditafsirkan sebelah pihak. Maka, Ranah hanya bisa menahan dirinya, untuk tidak menganggap persahabatan mereka lebih dari seorang kawan.