Kabari Aku Bila Hujan Turun

Naila Hafizha
Chapter #3

Fakultas Kehidupan

Mengingat keputusannya untuk menjadi tidak menonjol seperti dahulu di sekolah menengahnya, Ramah menundukkan kepala, agar kawan-kawannya tidak menunjuknya sebagai ketua acara. Ia berharap ada orang lain yang lebih suka mendedikasikan dirinya untuk perjuangan dibanding dirinya. Sudah cukup lelah melalui pengalaman itu selama enam tahun di sekolahnya dulu.

Bagan kepanitiaan telah tersusun. Ranah, Sarah dan Cia terpilih sebagai penanggungjawab umum. Ah, tetap saja terpilih. Ingat, hanya ini kali terakhir Ranah sudi berkoar-koar untuk temannya. Tolong, esok hari tolong hapus predikat Ranah sebagai anak penuh tanggungjawab dan potensi.

Pengurus lainnya Basma dan Alaiky sebagai sutradara. Dua orang lain sebagai pembawa acara, ada pula penanggungjawab dekorasi dan panggung.  Sisanya terbagi lagi untuk seluruh anggota, sampai masing-masing memiliki tanggungjawab berbeda.

Sepasang sutradara acara, menyusun timing kegiatan untuk Pensi mereka. Tidak ada waktu lagi untuk tidak bergegas. Jum’at malam, adalah acara puncak pekan perkenalan. Itu berarti, waktu mereka berlatih sekaligus melalui sesi ceramah dan pemberian wejangan tinggal tiga hari lagi.

Di dalam nanti, saat mereka sudah resmi menjadi anggota PBS, telepon genggam mereka harus dikumpulkan. Dengan tujuan jelas, agar anggota fokus mengajar, juga fokus mengembangkan diri. Tidak hanya terpaku pada telepon genggam yang notabenenya godaan hawa nafsu.

Lagi-lagi, Ranah teringat kepada Hata di Jakarta sana. Setelah lulus sekolah menengah atas, ia bertekad untuk fokus terhadap karirnya. Mengambil sekolah khusus perfilman. Ia mengabari Hata, kalau Ia menjadi penanggungjawab umum, selayaknya ketua untuk angkatan 10 mereka.

“Oke, sekiranya sudah cukup pembahasan kita sampai di sini. Semua sudah mendapat gambaran kan? Yang belum paham, boleh bertanya pada kita bertiga ya,” Ranah pamit, dan mempersilahkan kawan-kawannya bubar. Setelah tersusunnya penanggungjawab tiap acara yang akan ditampilkan di Pensi nanti.

Waktu istirahat, kesempatan anak-anak untuk meluruskan kaki-kaki mereka yang kram. Tiba subuh tadi, belum berhasil mereka lupa bagaimana perjuangan bertahan hidup di atas bus. Duduk berhari-hari sampai pantat menyatu dengan joknya. Setelah bangkit terasa begitu panas.

Ranah menyelonjorkan kakinya dan meregangkan tubuhnya. Cukup ekstrim juga, Ia harus menanggung tugas sebagai ketua lagi. Hal yang sangat Ia hindari, ketika tahu kalau Ia tidak sependapat dengan keputusan PBS menaruhnya di tempat perintis begini.

Sekolah ini berbasis asrama, dengan anak muridnya yang setara dengan sekolah menengah pada umumnya. Baru terbilang, ini tahun ke-7 nya berdiri. Masih terbilang baru. Apalagi, guru-gurunya memang berasal dari PBS. Jadi harus ikhlas sepenuh hati merawat murid-muridnya.

Ranah bersandar di sudut ruangan. Menyalakan telepon genggamnya. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia mencoba menahan napasnya. Mengatur agar tubuhnya tak sekontra ini menghadapi niatnya. Ia melirik tombol telepon, di sebelah nama ‘Hata’. Hm, tidak. Ia mengurungkan niatnya. Sepertinya sedang istirahat.

Ia beralih mengetik sesuatu di telepon genggamnya.

Ta—,

Hening tentunya. Berharap apa Ranah, akan cepat dibalas. Hata sangat sibuk pastinya.

Seringkali keinginan itu hinggap di benaknya. Keinginan untuk memastikan, kalau Ia tak berharap sendirian. Kalau Ia tak mencinta sendirian. Tapi setiap kali tekad itu bulat, kali itu pula suara Hata menggentarkan niatnya. Ia hanya bersyukur, hingga saat ini senyum dan tawa Hata terbagi padanya. Meski entah kadarnya setengah, atau bahkan seperempat.

Awalnya Hata memang sudah terkenal di sekolahnya dulu. Sudah disanjungi banyak kawannya, bahkan senior-seniornya. Tapi kala itu, Ranah tidak pernah memikirkan apa yang terjadi di kawasan laki-laki. Ia tidak tahu siapa idola sekolahnya, tepatnya tidak begitu memperhatikan. Karena memang tidak tertarik dan tak hobi ikut campur.

Hanya saja, Ia pernah mendengar kalau Hata, anak angkatannya—berperan memainkan film nasional. Entah bagaimana ceritanya ia bisa terpilih dan lolos seleksi, meski masih duduk di bangku sekolah menengah. Ranah hanya pernah melihat sosoknya di televisi, dan layar siaran langsung. Ketika kawan-kawan perempuannya heboh menjerit-jerit, berbisik dan saling menahan senyum, Ranah hanya menatap asing dan tidak peduli.

Hah, lelaki yang sudah diekori banyak wanita, hanyalah buaya.

Tapi Ranah, termakan ucapannya sendiri. Pada liburan setelah kelulusannya, Ia menyadari kalau dirinya memiliki banyak kesamaan dengan Hata. Ia bersekolah di sekolah yang sama dengan Hata, tetapi laki-laki dan perempuan memiliki bangunan yang terpisah. Jaraknya terpaut cukup jauh, kendati menjaga privasi masing-masing kegiatan muridnya. Murid di sana pun ribuan. Wajar saja Ranah belum sempat bertemu langsung dengan pujaan hatinya.

Setelah kelulusan, sejumlah anak merencanakan kegiatan rohani dan sebagainya, di sana lah lelaki dan perempuan mulai saling mengenal.

Ya, Ran. Ada apa?

Ranah terlonjak. Telepon genggamnya hampir Ia banting. Matanya tertuju pada layar. Dibalas!

Halo Ataa, sibuk ya?

Kalimat ini terkirim setelah empat kali ditulis ulang. Hapus, tulis yang lain, hapus lagi karena merasa kurang pas, kemudian tulis lagi. Beginilah setiap kali rasa itu muncul. Rasa yang membuat dahi seperti lebih panas dari biasanya, dan keringat yang meski hawa tidak begitu panas—mengalir terus-menerus. Rasa ragu, juga senang. Rasa khawatir, juga bahagia. Sejujurnya sang pemilik hati pun tak dapat menginterpretasikannya.

Haha.. nggak, Ran. Kenapa? Kangen ya?

Hei! Jawaban apa itu?!

Berharap semoga kawan-kawannya tidur siang begitu pulas hingga tak sadar melihat seseorang disudut ruangan, memukul-mukulkan bantal ke wajahnya. Kali ini, telepon genggamnya serius Ia banting. Sudah gila ya Hata! Dia kira, perempuan mana yang tidak berbunga-bunga membayangkan nada suaranya yang lembut, berkata seperti itu!

Cukup lama Ranah tidak memungut telepon genggamnya lagi. Ia meringkuk, duduk memeluk lututnya. Ranah belum pernah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis, sedalam ini. Kalau dikategorikan, mungkin dia sangat amatir dalam percintaan. Nekat sekali, tanpa modal apapun, atau pengalaman bagaimanapun, Ia menentukan Hata sebagai sasarannya.

“Ranah,” Basma terduduk. “Kapan kita ngumpulin hape?” terbangunnya Basma dari tidurnya, membuat Ranah terkejut. Ia melempar bantalnya yang tadi dalam dekapnya.

“Eh, apa sih, kaget gitu?” Spontan disambut dengan gelengan tegas Ranah.

“Mungkin selesai Pensi,” jawab Ranah asal. “Oh, kukira kau tahu. Karena ada yang bilang, kalau besok kita udah harus ngumpulin.” Basma mengedikkan bahunya. Terdiam Ranah beberapa detik. Telepon genggam hanya satu-satunya yang menghubungkan dirinya dengan Hata. Kalau sudah dikumpulkan nanti, bagaimana Ia memastikan perasaannya?

Ranah?

Dering notifikasi khusus miliki Hata berbunyi. Ranah berusaha untuk tidak terlompat. Meski jantungnya rasanya seperti ditiup badai. Terkejut juga senang mendengar suara yang familiar. Ia memungut telepon genggamnya yang terkapar terlungkup di lantai, menatap layarnya. Ah, rupanya lelaki itu menunggu jawaban. Bertanya ulang ketika merasa kalau Ranah tidak intens membalas pesannya.

Hihi, tumben kamu menekankan ulang perkataanmu

Hening. Tidak ada balasan setelah itu. Ranah menghela napas. Ia mengetik apa, sih. Sepertinya ada yang salah dari pesannya, sehingga membuat Hata tak lagi berniat membalas.

Hm, hapus? Tapi mungkin saja dia memang belum baca. Mungkin bekerja lagi, mungkin tidur siang. Ah, apalah! Overthinking-nya melaju lagi. Semoga memang belum dibaca. Mau ditaruh mana wajahnya kalau Hata benar-benar sudah membaca pesannya, dan enggan membalas.

Terserah, deh. Sudah kesekian kalinya Ranah berputar-putar pada masalah ini. Tapi juga tak berniat mundur, karena Ia merasa sudah berlipat langkah lebih maju daripada perempuan-perempuan lain yang berperasaan sama terhadap Hata.

Ranah percaya, instingnya takkan pernah salah.

***

 

Bangku panjang dan meja-meja telah tersusun di bawah terop. Peserta PBS angkatan 10 dipersilahkan memenuhi tiap tempat duduk yang disediakan. Tidak begitu istimewa tempatnya. Hanya seperti lahan persegi yang lebih tinggi dibanding sekitarnya. Disemen dan dicor rapi. Dinaungi terop plastik seperti kanopi hijau, yang ya, jelas sungguh panas di sana. Udaranya juga sangat sesak dan tidak bersahabat. Di tiang atas, digantungi kipas angin. Masih kalah tak memperbaiki, karena hanya mendaur ulang udara panas yang sama di sekitarnya.

Mereka mencoba menikmati. Sesekali melepas sampul buku catatan, melipatnya dan membuatnya seakan jadi kipas. Mengibas-ngibaskan ke wajah dan leher di balik kerudung—hanya agar merasa lebih nyaman mendengarkan wejangan dan kuliah umum.

Di sebelah depan, berseberangan dengan peserta baru, senior-senior tampak lebih menikmati. Mungkin sudah terbiasa dengan apa-apa yang terjadi di sini.

Di mimbar depan, disediakan panggung kecil layaknya podium untuk Kepala Direktur menyampaikan pidatonya.

Kehening langsung menyelimuti aula luar ruangan itu. Ranah melirik ke depan, mengangkat perlahan kepalanya yang sedaritadi tertunduk. Tak tahan dengan keringat yang begitu deras mengucur.

Kepala Direktur datang! Para senior di depan berdiri, dan mengangguk hormat kepada Sang Direktur. Ranah memperhatikan gaya berpakaiannya. Jas abu yang kelihatannya mahal. Hingga dasi dan penjepitnya yang bercahaya terpantul sinar. Sepatu pantofel yang mengkilap pula, seperti baru saja disemir. Rambutnya yang sepertinya baru dikeramasi, tertutup kopiah hitam tegas. Tubuhnya yang berisi sungguh melengkapi wibawanya.

Beliau mengelus kumis pendeknya sekilas, dan mulai berdehem di depan mikrofon.

Seakan keadaan menegang, tak ada yang berani menghela napas—khawatir suaranya terdengar begitu mencolok di area sehening itu.

“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh,” suaranya begitu menggelegar, dipertegas dengan pengeras suara yag terdapat di sudut-sudut ruangan. Barulah anak-anak melemaskan punggungnya, bernapas normal. “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh,” jawba seisi aula serempak.

“Siapa kita ini?” tanpa perkenalan dan basa-basi, Sang Direktur melontarkan pertanyaan dengan nada tinggi. “Siapakah kita ini?!” Beliau mempertegas pertanyaannya. Memaksa para hadirin untuk berpendapat dan tak hanya mematung.

“Kamu! Siapakah kita ini?!” tanpa ancang-ancang, beliau menunjuk peserta yang duduk paling depan. Cia yang ditunjuk, merinding dan seakan tersihir jadi batu. Semua orang tahu, kalau jantungnya sedang tidak dapat disinkronkan dengan pikiran. Menggeleng adalah satu-satunya jalan yang terlintas di benak Cia.

“Tidak tahu?! Buat apa kamu di sini?” bentak Sang Direktur. Cia menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Kamu! Siapa kita ini?” jemarinya yang terbalut cincin batu akik menyorot seseorang di sudut belakang aula. “Kita ini anak baru, pak! Bocah ingusan! Nggak tahu apa-apa!” seru si anak kurus di sudut belakang aula sambil sedikit melompat ketika berdiri hendak menjawab. Diduga terlalu gemetar, sehingga cara mencegahnya adalah berbuat hal-hal yang lebih bersemangat dibanding energi negatifnya.

Hmph!

Suara anak-anak menahan tawanya. Berusaha sekeras mungkin, takut ditunjuk oleh Kepala Direktur, bila tertangkap menertawakan jawaban kawannya.

“Itu kamu saja. Ngaku jadi bocah ingusan kok  ajak-ajak saya!” “Saya tanya, siapa kita? Bukan kamu! Kalau kamu, saya tahu—,” anak tadi mengangkat kepalanya, “Wah, bapak tahu sa—”

“Kemarin malam, kamu duduk di bangku marmer, di taman utara sana. Sepertinya menelpon pacar kamu. Cengengesan dan senyum-senyum nggak karuan.” Lanjut Kepala Direktur. “Betul, kan?”

Sukses wajah Basma bagai rajungan rebus. Merah padam, dan segera membanting tubuhnya duduk kembali di bangku panjang. Menutup wajahnya dan menabrak-nabrakkan kepalanya ke bahu Ranah.

Pernyataan Pak Kepala Direktur mengundang tawa seluruh peserta di aula sana, tak terkecuali para senior. Suasana jadi agak cair dari menit sebelumnya. Malangnya Basma, ia sekarang tak ada mental lagi untuk mengacung, maupun mengangkat kepala. Ia membenamkan wajah di pangkuan Ranah.

“Siapa kita?” beliau memulai lagi. “Kita ini sudah terlanjur terlahir menjadi ‘Singa Betina’. Aroma di tempat kalian akan menetap ini, adalah aroma kandang singa. Dan tidak akan keluar apa-apa, selain anak singa. Paham sampai di sini?”

Terdengar suara ber-‘oh’ ria di seluruh penjuru aula.

“Kalau kita sudah tahu diri kita siapa, dan kita sungguh-sungguh ingin mewujudkannya—maka kita akan menjadi hal tersebut.” “Kita akan menghadapi medan perang, untuk mendidik anak singa betina.” Ibu jarinya mengacung ke langit-langit, diayunkan, seakan menggambar sesuatu di udara.

Para peserta sibuk mencatat di bukunya, tangannya bergerak cepat, sementara pandangan tetap terarah pada Sang Direktur. Takut terlewat mimik dan gelora beliau, menyampaikan pidato dengan sangat ekspresif.

“Mana yang lebih kuat? Pilar, atau pondasi?” tanya beliau, lagi-lagi dengan suara menggelegar.

“Pondasi!” anak-anak menyambutnya.

“Membangun sesuatu, harus dimulai dari pondasi. Maksud membangun di sini adalah, ‘kerangka pikiran’ untuk membangun kerangka, ada yang disebut ‘penyangga pikiran’ agar pemikiran tersebut tidak basi adanya. Nah, untuk menjadi pondasi-pondasi ini, tidak berasal dari satu orang saja. Ada yang jago ini, jago itu, disatukan dan kemudian disebar.

Bukan berarti orang-orang berpotensi ditempatkan di pusat, dan yang tanpa kemampuan, disingkirkan kemari. Salah! Itulah mengapa pondasi harus rata dan sama kuatnya dimanapun kerangka itu berdiri.”

Ranah sedikit tertohok dengan nasihat beliau barusan. Ini tandanya, mereka yang ditempatkan di Riau sini, adalah anak-anak yang kuat. Yang bahkan memiliki potensi lebih untuk mampu bertahan, meski dalam keadaan yang sangat sulit.

Sebegininya kah PBS mengatur nasib relawannya? Dipertimbangkan sedemikian rupa, bagaimana latar belakang sekolahnya dulu, bagaimana kepribadiannya.

“Jiks sesuatu dipandang tidak bersih, maka akan selalu berspekulasi negatif. Akan terjadi generalisasi, atau pemikiran sepihak yang mewakili semua. Jelas yang terlihat hanya buruknya saja, padahal bila ingin membuka hati, banyak yang indah-indah di sana,”

Serangan kedua, tepat sasaran lagi. Seakan Kepala Direktur hanya berbicara pada Ranah.

Pak Kepala meminum air putih di gelas pialanya yang masih penuh sedari tadi, kemuding perlahan meletakkannya kembali, dan mengusap bibirnya yang basah dengan tisu.

“Bagaimana. Apakah masih ada yang tidak terima, ditempatkan berjuang di sini?” sepetinya Pak Kepala ini memang punya indra yang lain. Nalarnya kuat sekali, dan dengar-dengar pembicaraan, beliau dapat membaca isi hati seseorang, mengutarakannya, dan tepat! Tidak sedikit pun beliau melenceng perkiraannya. Katanya, beliau suka menatap mata orang-orang, bila ingin tahu apa yang ada di pikiran, maupun hatinya.

“Baiklah, sebelum kegiatan dilanjutkan, saya ingin kalian tahu, bahwa saya adalah Pengasuh kalian. Saya bisa menjadi bapak kalian, saya bisa menjadi pelatih, saya juga bisa tegas peraturan terhadap kalian. Yang saya harapkan kepada kalian, jadilah pribadi yang cerdas. Karena musuhnya manusia adalah hal-hal yang tidak diketahuinya. Hal-hal yang di luar pemahaman seseorang—pasti akan dianggap aneh, tidak penting, bahkan berujung kebencian.”

“Jangan iri terhadap orang-orang di luar sana. Yang sudah bersekolah, mengejar cita-cita impiannya. Kita ini harusnya bangga dan bersyukur. Karena PBS, bukanlah program biasa. PBS adalah fakultas kehidupan. Yang dimana, ia mendidik kehidupan bermasyarakat, kehidupan bertoleransi, kehidupan bersosialisasi. Ribuan anak murid di sini, menanti untuk kalian bagi ilmunya. Jangan sampai membuat mereka menanti penantian hampa,”

Pak Kepala, yang ternyata Pengasuh di sekolah asrama itu, pamit dan mengucap salam.

Seluruh hadirin menggemuruhkan tepuk tangan yang riuh.

Malam nanti, sudah menjadi puncak acara Pekan Perkenalan. Waktunya karya dan inovasi mereka dieksekusi.

Anak-anak yang bertanggungjawab memperindah panggung, menyeret karung berisi bunga-bunga sintesis untuk kemudian mereka rangkai di sekeliling panggung. Bagian dekorasi juga siaga, paham betul bahwa hiasan dan dekorasi adalah kunci utama penilaian sebelum ditampilkannya acara.

Pelatih choir, berperan menjadi mayoret. Dengan mantap memimpin tiga tingkat paduan suara. Total dari calon anggota baru, angkatan 10 adalah 90 anak. Setiap kepala harus tunduk pada ketukan irama. Mengeluarkan suara dengan bulat dan lantang, tak peduli sumbang maupun kelewat melengking.

“Yak, tu..wa..ga..mulai!” si mayoret mengayunkan tongkatnya, yang merupakan kayu bendera semaphore.

“Dori, sepertinya komposisi formasi kurang sesuai. Terlalu sesak dan monoton dipandang. Bagaimana kalau seperti ini,” Ranah yang sedari tadi memperhatikan kejanggalan, angkat bicara. “Sebentar Ranah, kita baru mulai.” Cegah sang mayoret, yang dipanggil Dori tadi. Ia berbisik, agar anak-anak yang masih bernyanyi, tidak terganggu konsentrasi ketukannya.

Stop, stop. Oke berhenti dulu.” Ranah mendorong pelan tubuh Dori agar menepi. Telapak tangannya teracung, seperti polisi hendak menilang buruannya. Sedetik setelahnya, suara instrumen berhenti, dan terdengar masing-masing anak berbisik satu sama lain.

“Oke, jadi sekarang kita ubah formasi. Kamu yang tinggi, turun semua. Yang kecil, naik ke tingkat ketiga.” “Di bagian kanan dan kiri, bantu aku memiringkan bangkunya. Nah, untuk tingkat kedua, kita pakai bangku, untuk ketiga, kita pakai meja. Sebagai alokasi, kalau tingkat panggung yang kita pesan tidak sesuai, atau tidak memumpuni.”

Ranah bergerak lincah, membantu anak-anak mengatur formasi meja dan bangku yang disusun, memindah-mindahkan posisi anak, sesuai dengan tingi badan.

“Bagaimana kalau aku, Ranah?” seseorang, dengan badan sedang—tidak terlalu jangkung, namun tidak pendek pula, menunjuk dirinya. “Hm…turun.” Seperti mengisyaratkan tanda perpindahan tempat dengan kelima jarinya. Anak itu memafhumi Ranah.

“Dia memang secekatan itu kah? Keren begitu?” seorang anak berbisik pada kawan di sebelahnya, yang mendapat urutan tinggi formasi yang sama. “Iya. Dari zaman sekolah dulu, selalu saja memegang tanggungjawab ini itu. Dia bisa berbagai hal, aku saja sampai heran, dia seperti tidak pernah merasakan lelah,” anak yang bersekolah di tempat yang sama dengan Ranah menjawab dengan cengiran. “Begitulah ia, sering jadi panutan kami.” Lanjutnya dengan senyuman.

“Oh, mungkin karena itulah PBS mengirimnya ke sini, untuk memberdayakan potensi di tempat rintis ini,” “Iya, aku juga berpikir begitu. Bahkan kukira sebelumnya, ia akan ditempatkan di pusat sana.”

Lihat selengkapnya