Kabari Aku Bila Hujan Turun

Naila Hafizha
Chapter #4

Takhta Bupati

 Drrrkk…

Menyeret koper dengan lahan bebatuan dan belok tanah. Haruskah melewati medan sepanjang ini untuk sampai ke belakang?

Pagi itu, tidak hangat seperti biasanya. Hujan turun sejak fajar masih terlelap. Menyisakan bukan hanya sekedar air yang menggenang, tapi banjir se-tulang kering, di lahan pasir yang mudah tergerus air. Sudah diusahakan oleh pekerja di sana, membuat parit seadanya, menggali tanah pasir, memberinya rongga. Namun hanya berjalan seminggu, hujan deras meruntuhkan pasir di sekitarnya, menutup kembali parit tadi.

Untuk menghindari lahan yang banjir, Ranah dan Alaiky perlu berjuang melewati area bebatuan, yang tak jarang menggores badan koper bagian bawah. Seringkali tersendat akibat pasir basah berikut kerikil yang menyelip di roda koper. Wassalam kepada koper-koper bagus yang melintas. Berujung kandas dihadapkan lawan serupa ini.

Di sebelah kiri, lumpur hisap katanya. Tanah macam gambut, masih rimbun bagai hutan. Tapi mengerikan di malam hari. Sudah tak asing lagi, anak-anak di sekolah asrama itu dengan cerita di dalam sana. Banyak juga yang menyamar menjadi sosok berkerudung.

Memang saat melintas, terasa hawa asing yang membuat bulu kuduk berdiri, tapi tentunya, Ranah tak menghiraukannya. Menurutnya, lumayan juga kalau hutan kecil ini dirapikan tanahnya, mempersingkat perjalanannya yang macam berselancar di gurun yang basah. Tak sampai pada tujuan, hanya pasir selalu yang bertamu di balik sandal. Kaus kaki mereka sudah basah entah bagaimana.

“Sepertinya di balik plang itu bertengger,” Alaiky menunjuk sebuah papan besi, tidak besar, hanya tegak, namun berkarat. Berwarna hijau dengan cat yang juga sudah mengelupas. Dari kalimat di dalamnya, menandakan kalau itulah kantor yang mereka tuju.

“Masuk sekarang?” Ranah menatap jejeran mobike sepeda dari Singapura yang tahun lalu sempat marak penjualan masalnya di Batam. Diantar oleh distributor tiap dua kali dalam sebulan. Tiap datang bisa sampai 120 unit, dan langsung habis dalam seminggu.

Berulang kali katanya, membeli sepeda pada umumnya, dengan rantai dan ban yang bisa dipompa angin, tapi alhasil, selalu bocor dan tak awet. Oleh karena itu, Bapak Pengasuh berinisiatif untuk membeli mobike tanpa rantai untuk memenuhi semua kebutuhan tiap sektor divisi.

“Ya, sepertinya yang lain sudah di dalam,” Alaiky mengedarkan pandangannya, melihat detail-detail kantor itu. Kantor Asisten Pengasuh dilengkapi dengan sofa ruang tamu pada umumnya di serambi halaman. Bangunan ini merupakan kantor rangkap dengan kamar, hanya dibatasi sekat saja.

“Pintu yang sebelah mana ya?” terdapat dua pintu di sana, tapi sepertinya yang satu sudah lama sekali tak pernah dibuka, dikarenakan sarang laba-laba yang berserak di gagang pintunya.

“Assalamu’alaikum,” berharap dapat petunjuk, Ranah mendekatkan bibirnya pada jendela kaca, kepercayaan agar suaranya lebih terdengar.

Tapi nihil. Sudah bergantian tiga kali memberi salam, hanya sepi.

Modal nekat yang sudah terpatri sejak lahir pada diri Ranah pun Ia fungsikan. Ia menyibak gorden hijau yang menutupi pintu, di sisi paling kanan bangunan. Benar saja, mereka terhubung ke kantor. Jelas tatanannya tidak mirip ruang tidur.

“Halo,” Alaiky berusaha mencari kehidupan di balik sekat ruangan.

Seseorang menyembul dari balik dinding triplek putih. Tubuhnya mungil! Itu pasti Kak Ira. “Hei ayo masuk. Kenapa planga-plongo di situ?” pakaiannya belum diganti setelah perkumpulan divisi tadi. Masih berseragam ungu. “Hehe, masih nggak enak, kak. Takut nggak sopan,” Alaiky menjawab sembari mengelus tengkuknya.

Dibalas dengan wajah yang diatur sedatar mungkin. Kak Ira berkata, “Ya sudah, tinggal saja di kantor. Nggak perlu masuk.” Kemudian berlalu.

“Eh, kak! Lho kok masuk, kak!”

“Ya, udahlah, masuk aja, yuk.” Ranah berjalan lebih dulu menuju dinding triplek. Tidak disangkanya bahwa di balik sekat itu, terdapat lorong berkelok. Ada meja kecil berisikan camilan, ada ruang ganti dan baju kotor, ada dispenser di ujung lorong yang berliku.

Alaiky dan Ranah membungkuk, mengucapkan salam. Disambut oleh senior-senior yang tengah beristirahat dan kawan mereka yang sudah lebih dahulu masuk.

“Nah, gitu dong. Orang malu-malu, nggak diterima di sini.” Ujar Kak Ira yang matanya tetap fokus pada kemeja yang tengah disetrikanya.

“Oh, jangan lupa, zuhur nanti. Pakai sepeda motor di depan, panggil anak-anak agar berangkat ke mushola. Nanti jadwalnya akan dibuat, tapi sekarang salah satu dari kalian akan ditemani oleh senior. Untuk kedepannya biasakanlah,” “Semua bisa naik sepeda motor kan?”

Ranah nyengir. “Hehe, nggak bisa loh, kak.” Seakan ucapannya adalah dosa besar, seluruh pasang mata menoleh pada dirinya. “Ini beneran, jaman sekarang nggak pande bawa motor?” Dija, anak Dumai seperti baru melihat seekor ayam bisa melahirkan. “Iya, seriusan teh?” Cia si anak sunda ikut nimbrung.

“Loh iya, memang belum bisa.” Jawab Ranah polos

“Oke, oke, besok-besok kita belajar ya,” Indah, anak Semarang yang kelewat baik, selalu sedia membantu siapapun.

“Kak, kamar mandinya pintu yang mana, ya?” Ranah menoleh kanan dan kiri, tak mendapati kecuali satu pintu yang tak pernah digunakan lagi. Para senior menatapnya dengan wajah prihatin. Ranah membalasnya dengan wajah tak berdosa. “Apa?”

“Tidak ada kamar mandi di sini, Ran. Kamu harus keluar sana, melintasi asrama anak-anak di sebelah kantor kita. Nanti di ujung jalan, terdapat lorong dari seng. Masuk saja,” Dija mengisyaratkan jalanan menggunakan tangannya yang dikelok-kelokkan.

“Oke, terimakasih!” Ia bangkit, menyambar kerudung bergo yang Ia letakkan di atas ranselnya.

“Eh, Ran! Mau kemana?” “Ke kamar mandi sana nggak boleh pakai bergo! Duh, Ran! Tanya dulu coba, kalau mau berbuat.” Satya, anak Tembilahan mencegahnya beranjak.

Oh, Tuhan!

Ranah memutarkan bola matanya. “Apa, jadi bagaimana?” dengan nada memaksa. Rasanya ingin diurungkan niat untuk ke kamar mandi, tapi Ia sudah tak tahan lagi daritadi sudah menahan.

“Iya, kamu harus tetap memakai kerudung guru resmi. Karena kita adalah Asisten Pengasuh, yang menjadi panutan seluruh murid. Jadi dimanapun, kapanpun, kemanapun, harus tetap terlihat rapi,” jelas Satya. “Meski kamar mandi? Bawa pakaian ganti gimana?” Ranah setengah berbisik dan menekankan nada di setiap penggalan katanya.

“Bawa tas.” Satya nyengir.

Oh, Gosh!

Lihat selengkapnya