Ranah terperangah mendapati dirinya, seorang diri yang berada di kamar. Terkapar dengan kasur tipis, dan selimut yang acak-acakan. Dan diyakini, posisi tubuhnya sudah tak masuk kategori sleeping beauty.
Perempuan itu mengerjapkan matanya dengan posisi masih terlentang. Mencoba meraba, sedang apa Ia, setelah ini apa, harusnya apa yang diperbuat.
Di bawah alam bawah sadar, Ranah terilhami mengangkat tangan kirinya. Memicingkan mata untuk meilhat arah jarum jam yang sesuai.
Matanya terbelalak. Ia mendadak terduduk. Ia terlambat!
Seharusnya, pagi tadi, Ia mengajar. Namun jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Pantas saja kawan-kawan sekamarnya sudah membersihkan bagiannya, menyisakan barang-barang Ranah, berikut manusianya. Terbukti, sesulit itulah Ranah bila dibangunkan.
Pasrah sudah Ia, meski akan tercatat sebagai anggota yang melanggar, ancaman itu terbukti tidak berpengaruh terhadap kehidupan Ranah.
Mengalih pikiran, Ranah menuju ruangan kantor dan menyalakan komputer. Sudah sebulan lebih menghadapi rutinitas Asisten Pengasuh. Sampai sekarang pun Ranah masih berusaha mencari, titik manakah yang Ia suka dari sekolah ini dan segala peraturannya.
“Ranah! Kamu dicari.”
Komentar pertama, seseorang yang memasuki kantor. Ranah hanya meringis dengan bahu berkedik. Menenggelamkan wajahnya di balik layar komputer.
“Ranah, di sini kamu rupanya! Tadi aku bilang kau sedang berburu babi di belakang sana. Ada yang lepas. Begitu.” Cia memasuki kantor, dan dengan cara khasnya, berbicara sangat cepat.
“Berburu babi? Mereka percaya?” setengah terkekeh, Ranah menaikkan sebelah alisnya.
Repotnya melengkapi data seluruh murid di sekolah itu. Matanya berkunang-kunang. Sudah tiga harian Ranah begadang untuk menyelesaikan secepatnya. Pekerjaan di kantor Asisten Pengasuh kian menumpuk, apalagi sebagai sekretaris, otomatis menambah slot pekerjaannya sendiri. Bila tidak dikerjakan di awal, Ranah hanya akan tenggelam dengan semua tugas itu.
Ia meregangkan tubuhnya. Merasakan pegal dan nyeri yang sudah menggrayangi pundak, lengan dan punggungnya.
Ia mulai bosan dan membolak-balik halaman catatan kecilnya. Buku catatan itu lumayan mungil dengan kertas berwarna coklat, pemberian dari kawannya zaman sekolah menengah dulu.
Ranah gemar menuliskan apa saja yang terlintas di kepalanya. Seperti pepatah-pepatah yang Ia tulis sendiri. Ia membuka halaman baru dan menulis di sana ;
Manusia bahkan bodoh sekali. Mencinta, sakit, tapi mencinta lagi. Aku tidak ingin jadi bodoh juga.
Entah mengapa terpikir seperti itu.
Kalau bertanya tentang hubungannya dengan Hata, setelah sebulan lebih—hampir menginjak bulan kedua ini, Ranah belum sempat menghubungi Hata lagi. Antara disibukkan dengan pekerjaan menggunung, juga karena Ia berharap agar Hata juga memperhatikannya. Juga membutuhkannya, dan mungkin bisa menelepon duluan.
Ranah hanya bisa mengikuti kabarnya dari situs media sosial yang terus diperbarui olehnya. Itu pun melalui komputer ini, tanpa sepengetahuan senior. Terlebih, karena membuka media sosial adalah terlarang. Apalagi menghubungi lawan jenis untuk kepentingan di luar pekerjaan.
Bersekolah di sini sistemnya asrama, dan khusus untuk perempuan. Karena itu banyak peraturan yang membatasi, seperti terlarangnya telepon genggam untuk dibawa.
Ranah membalik halaman catatan yang sebelumnya telah Ia tulis di waktu lalu.
Kamu hebat, karena Tuhan hebat.