Kabari Aku Bila Hujan Turun

Naila Hafizha
Chapter #6

Adakah mimpi terwujud nyata?

Dengan seragam rapi, dan niat yang sudah susah-payah dibangun, Ranah mendarat di depan sebuah pintu kayu yang penuh dengan coretan kapur berwarna-warni. Papan nama hitam yang menggantung di bagian atasnya menyiarkan angka dan huruf. ‘8J’

           Ranah mendapat jadwal untuk mengisi kelas anak didiknya sendiri. Kelas yang setara dengan anak SMP kelas 2.

           Dari balik jendela, anak-anak di dalamnya terlihat tergesa menata ulang meja dan kursi. Membangunkan kawannya yang terlelap dengan lengan sebagai bantal tidurnya, mengambil sampah-sampah yang berserak, dan menyemprotkan pengharum ruangan.

Ribut sekali kedengarannya. Suara meja kursi berderak, suara anak-anak yang menyebut, “Cepat, Kak Ranah datang!” dan suara-suara sampah kertas yang dikumpulkan.

Setelahnya, seseorang menyembulkan kepalanya di antara jendela yang terbuka. “Sudah siap, kak!” sambil mengacungkan ibu jarinya dan nyengir tak berdosa memamerkan deretan gigi yang sebenarnya tak pantas dipamerkan.

Ranah pun menarik napas dan berdoa, semoga amarahnya tidak meledak.

Welcome to our home, Kak Ranah!” sambut anak-anak sambil masing-masing berdiri di tempat. “Ya, silahkan duduk!” Ranah berdiri di depan kelas, menghadap anak-anak. Setelah mengucap salam, Ranah segera dihujani pertanyaan dan sapaan.

“Kak, kelas kami harum kan, kak!” lebih seperti pemaksaan minta diakui, ketimbang meminta pendapat. Ranah mengangguk tersenyum sekenanya.

“Kak, ini semua sudah kami sapu, seperti yang waktu itu kakak minta!” seorang anak menunjuk tempat sampah plastik di balik pintu kayu. “Wah iya, bagus, nurut,” Ranah mengacungkan ibujari, lagi-lagi sejadinya.

“Kak! Kak Ranah mirip artis Korea loh…siapa namanya, La?” salah seorang anak lainnya, yang kelihatan lebih hits dan nyentrik dibanding yang lainnya, menyikut kawan di sebelanya. “Hm, yang mana?” tanyanya. “Itu loh, yang waktu itu ada di drama, yang jadi suster-suster itu looh…!” “Oh, tau! Ju…ng juu.. juu… eh siapa? Jung apa…lupa…” si anak yang tadi bernama Ella menggaruk kepalanya yang diselimuti kerudung.

“He—gimana sih… itu loh, yang kaya Kak Ranah persiis mukanya,” si anak hits menekankan.

Ranah tetap berusaha bertahan di tengah kelas, meski tersenyum malas. Berapa ratus manusia yang sudah dimiripkan dengannya. Apa seharusnya ini pertanda sebentar lagi nyawanya akan melayang dan digantikan oleh jasmani lainnya.

Setiap mengisi pelajaran di kelas lain, ada saja pembahasan tentang wajahnya yang mirip artis. Entah artis lokal, artis Jepang, aktris Korea. Sampai mual rasanya membayangkan orang-orang dengan duplikat wajahnya.

“Nggak loh, Kak Ranah itu mirip Kak Shi! Tapi versi kulitnya yang lebih putih!” ini lagi. Pernyataan yang membuat Ranah ingin menyumpal mulut mereka dengan kaus kaki.

“Hei, siapa yang mengajarkan seperti itu?” tegur Ranah, yang sedari tadi diam.

“Loh, benar ‘kan, kak? Kak Shi itu juga ada China-China nya. Tapi Kak Shi hitam!” tambah bersemangat, si anak menekankan penggalan katanya.

Ranah mulai tidak sabar dengan anak-anak itu. Ia tidak mengerti, apakah itu akibat kepolosan mereka, atau memang sedari awal, didikan yang mereka terima tidak benar.

“Fadya! Berdiri. Sekarang!”

Fadya, anak yang memiripkan wajah Ranah dengan Kak Shi, berdiri tanpa wajah merasa bersalah sedikit pun. Seakan apa yang diucapkannya benar dan boleh.

“Fadya,”

“Ya, kak?” tersenyum.

“Kamu mirip Natasha Wilona deh,”

“Wah, iya kak, banyak yang berkata begitu!”

“Tapi nggak jadi. Kamu terlalu pendek.” Tawa anak-anak sekelas pecah.

Wajahnya mendung. Dahinya mengkerut dalam. Ia tertunduk dan kembali duduk dengan sendirinya tanpa diaba-abai.

Lihat selengkapnya