“Hei, tolong jelaskan. Basma, kamu kenapa!” Ranah mengguncangkan bahu kawannya, lumayan keras hingga tubuhnya bergerak maju-mundur. Kawannya tidak menjawab. Ia terus menangis, menjerit sejadinya. Menjerit dan berharap saat itu hanya ada mereka berdua di dunia ini.
“Apa salahku!! Huaaa…!” celana Ranah yang dibuat alas air mata Basma, basah kuyup. Sudah banjir di sana, bisa-bisa Ranah dikira mengompol. “Kenapa kamu? Bersalah kenapa?” masih dirundung pertanyaan dan keheranan yang sangat mendadak. Basma yang tadi tiba-tiba melompat bagai kucing menemukan induknya, membuat Ranah tersimpuh dalam kebingungan.
“Kenapa? Dimarahi senior? Divisimu bermasalah? Kamu dikunci dari dalam? Diusir? Hei, Basma…! Aku bisa gila!” Ranah setengah tertawa, menarik-narik kaus Basma, berharap kawannya mengatakan sesuatu.
“Majalah…! Majalah!” hanya kata itu yang Basma ucapkan. “Majalah? Kamu mau kuambilkan satu? Ada beberapa di dalam kamar, sebentar ya…” Ranah menahan tubuh Basma, hendak bangkit kembali ke kamarnya. Tapi lengannya ditahan Basma. “Bukaan..!” hentak Basma. “Bukaan…” teriakannya mulai melemah.
“Majalah, Ran…majalahnya…” lelah Basma berteriak. Hatinya lelah. Sepertinya sudah lama tangisan ini ia tahan. Tapi karena apa? Dan mengapa ia harus melakukan itu? Ranah selalu ada kapanpun ia butuh pundak untuk sekedar bersandar, dan peluk untuk sekedar membagi penat. Kenapa ia harus menahannya, dan menumpahkan segalanya sekarang? Apa yang kawannya sembunyikan darinya?
“Ya sudah, keluarkan semuanya. Nggak perlu ditahan lagi, ngak perlu takut salah. Aku di sini,” Ranah memeluknya. Sudah tak karuan lagi kausnya dibanjiri air mata Basma. “Huks…Huks…” Basma menahan isaknya. Ranah mengelus bagian belakang tengkuknya. “Sebegini sakitnya ya?” “Aku merasakan perih itu, tapi aku tidak tahu, apa itu. Kamu menyembunyikan apa?”
“Iya, sakit, Ran. Sakiit…periih…maaf aku sakit…” ucapnya dengan nada pelan, lemah. “Iya, Bas. Aku tahu. Kita obati ya,” senyum getir ditampakkan oleh Ranah dari balik telinga Basma. “Tapi nggak ada penawarnya, Ran. Nggak bisa diobati.” Katanya, masih tenggelam di bahu Ranah. “Aku yang ciptakan. Aku tahu resep-resep obat!” kata Ranah cepat, masih tersenyum.
“Hm…iya, makasih banyak, Ran,” Basma melepas pelukan Ranah dan duduk tertunduk. Arus kesedihannya terasa begitu kuat. Menggumpal dan menyebar, memberikan nuansa gelap yang ada di sekitarnya. Menimbulkan kesedihan dan kepedihan mendalam bila memperhatikannya. Malam itu Ranah tak habis pikir. Kawannya yang bahkan tak pernah mengeluh dan bersedih, tanpa ada badai dan pengumuman musim kemarau, datang begitu saja dengan hati yang bagai terhujam belati.
“Eja, Ran. Ia tak jadi kemari. Dan tak akan pernah kemari.” Masih dalam tunduknya, ia berujar.
“Hah? Kenapa? Ia ditolak jadi utusan?” mendadak terkejut dengan pengakuan Basma, Ranah mendekat. “Nggak, Ran. Dia mengundurkan diri.”
Mungkin otak Ranah sedang lambat hari ini. Ia sama sekali belum mengerti, kemana arah Basma bercerita. Kenapa juga harus mengundurkan diri di saat dua hari lagi mereka bisa bertemu.
“Iya, kenapa? Dia gugup bertemu denganmu?” tanya Ranah tak sabaran. “Bukan…dia sudah lupa,” sanggah Basma. “Lupa? Dia lupa kalau harus bertemu denganmu?! Hei, lelaki macam apa—!” gemas Ranah mengeraskan suaranya. “Bukan, Ran. Bukan lupa padaku…”