Sekarang hari Senin. Jadwal diadakan pengeksekusian. Hari yang paling dihindari oleh para anggota baru. Karena jelas, mereka akan dijadikan sasaran empuk untuk dilampiaskan hukuman.
Setiap hari senin, relawan PBS mengadakan rapat. Tapi lebih tepat dibilang ruangan eksekusi, dimana Bapak Pengasuh berbicara dengan wejangannya, dan mulai membacakan laporan tiap-tiap divisi. Semua pelanggar dieksekusi di sana. Diberi hukuman dan imbalan yang sesuai bagi anggota yang nakal dan berprestasi.
Anggota yang sering melanggar perturan, akan dihukum dan dipermalukan di depan seluruh anggota PBS, sementara yang rajin, dan berprestasi, akan disanjung dan dihadiahi. Salah satu faktor, mengapa Ranah ingin menjadi guru pengajar terbaik di sekolah itu.
Namun faktanya, Ranah selalu diberdirikan, dihakimi, disalahi, karena memang Ia tak pernah melakukan sesuatu dengan benar. Ranah tak sungguh-sungguh menjalani tanggungjawabnya. Terkadang Ia hanya ingin mendapat predikat sebagai yang terbaik, untuk menjadi pengakuan saja, bahwa Ia mampu, tidak selalu melanggar.
Dari awal, Ranah memang tidak akan bisa meraih predikat sebagai yang terbaik. Karena jujur, Ia tak pernah ikhlas benar-benar menjalaninya sepenuh hati. Karena sejak pertama kali memutuskan untuk meneruskan dan mencoba menjalani takdirnya, Ia merasa salah jalan. Merasa tersesat dan terus bertanya pada diri sendiri, kemana akan mengarah?
Ranah tidak menikmati prosesnya, proses menjalani hidup di sini, berbaur dengan banyak anak. Mengatur hari mereka, tapi tetap memberikan kebebasan dalam berkarya. Memberi kesempatan para murid untuk berpikir, apakah yang dilakukannya benar atau salah. Ranah belum mengerti cara untuk menikmati hari-hari yang sebenarnya, penuh dengan keberkahan ini. Maka pencapaian yang telah diraih Ranah, tak dapat menyanjungnya. Karena memang niat awalnya, hanya butuh sebagai predikat, bukan apresiasi diri telah mencapai titik yang jauh—yang selama ini tak terbayangkan.
Bagaimanapun, doktrin awalnya, Ranah tetap enggan mengatakan kalau Ia suka tempat ini. Karena di saat Ranah mulai merasa dapat menerima hal-hal yang jauh dari luar nalarnya, Ia dihadapi oleh kejadian aneh, tingkah aneh, dan peraturan aneh di sekolah itu. Ranah tidak menyalahi sistemnya, Ranah juga tak menyalahi Kepala Pengasuh, tapi kadang, orang-orang di bawahnya, yang diamanati, hanya melakukan tanggungjawab sekedar memenuhi standar kualitas yang terpandang oleh Pak Kepala Pengasuh.
Tanpa memikirkan maslahat, dan tak sesuai dengan apa yang disampaikan kepadanya—jelas ia hanya ingin memenuhi nafsunya sejenak. Ia memaki murid yang tidak bersalah, menyalahi juniornya yang ‘katanya’ tidak serius bekerja. Makin mengetahui lebih lanjut, makin Ranah tak percaya dengan penduduk PBS di dalm sana. Memang tidak semua, tapi salah kalau dikatakan sedikit.
Itulah mengapa Ranah terus mengatakan, kalau Ia benci tempat ini, dan tak pernah berusaha lagi, untuk mencintainya.