Sialan! Pukul setengah delapan pagi. Aku terlambat di hari pertama Masa Orientasi Siswa sekolah baruku. Oh, bukan terlambat. Tapi sangat sangat terlambat!
Aku kesiangan. Cuaca Bukittinggi yang dingin membuat tidurku semakin nyenyak saja. Okey! Aku memang sulit sekali bangun pagi jika kalian memang pengin tahu alasanku sebenarnya. Mama yang selalu memanjakanku sering sekali memanggilku Putri Tidur. Tapi coba lihat sekarang! Bagaimana mungkin mama melepas putri tercintanya ini melanjutkan SMU di daerah entah berantah seorang diri? Apa memang Jakarta sudah terlalu penuh sampai aku harus diungsikan ke sini? Ck!
"Bukittinggi itu kampung halaman Mama. Dulu ketemu papamu juga di sana. Di taman Lenggogeni."
"Oh, jadi gara-gara itu Mama kasih aku nama Lenggogeni?"
"Hu'um. Lagian Leng-go-ge-ni itu unik, kan?"
Begitu Mama mengeja namaku saat aku protes dipindahkan ke luar kota. Baiklah, sebenarnya aku sedikit penasaran dengan Taman Lenggogeni yang mama bicarakan. Juga tentang Bukittinggi, kota berhawa sejuk yang konon pernah menjadi ibukota negara sementara itu.
Lima belas menit kemudian aku sudah berdiri di depan SMU Cendikia. Gerbang sekolah sudah ditutup. Kurasa sia-sia saja mengejar angkutan umum yang penuh sesak dengan ibu-ibu petani dan hasil ladangnya. Lihat sekarang. Aku tetap tidak bisa masuk dan bauku seperti seledri. Belum lagi seragamku yang berantakan dan basah keringat.
Baru saja aku mau berbalik menuju tukang es tebu yang mangkal tak jauh dari gerbang sekolah, satu suara meneriakiku.
"Geni! Lenggogeni! Ngapain kamu di situ? Masuk!"
Oh, itu Kak Ratna. Kakak kelas yang juga satu kost-an denganku. Kamarnya persis di depan kamarku. Bahkan kakak kelas yang baru kukenal tadi malam sudah hafal namaku. Wait! Kenapa Kak Ratna tidak membangunkanku? Menyebalkan!
Kak Ratna bicara pada seorang bapak yang kukira sekuriti sekolah. Bapak yang cuma memakai kaus dan celana kain itu mengangguk lalu membuka pintu gerbang sekira badanku bisa lolos, kemudian menguncinya kembali.
"Ndeeeh ... kok bisa telat sih? Kakak nggak bisa nolong kamu kalau nanti kena hukuman." Kak Ratna menarik tanganku ke seberang lapangan. "Semoga panitia yang lain nggak lihat kita. Bisa habis kamu kena semprot kalau lihat anak baru datang terlambat kaya gini."
Aku memilih diam dan mengikuti langkah Kak Ratna melewati lorong dengan kelas-kelas terkunci. Sepertinya tidak ada yang memperhatikan kami. Ketika hampir sampai di depan lapangan, langkah Kak Ratna terhenti. "Nanti ada kelas yang buka di ujung. Langsung masuk aja. Taruh tas kamu di sana, terus ke lapangan, ya. Pura-pura dari toilet aja kalau ditanyain."
Baiklah. Kutarik kembali kata "menyebalkan" pada Kak Ratna barusan. "Makasi, Kak." Aku mempercepat langkahku menuju kelas yang dimaksud. Ya Tuhan, selamatkanlah hamba-Mu yang lemah ini.
Aku mendorong pintu kelas dan menaruh tasku sembarangan. Saat akan berbalik ke luar, seseorang menubrukku. "Ups, sori-sori. Lo nggak apa-apa?" katanya sambil membantuku berdiri.
Aku cuma diam melotot ke arahnya. Nggak apa-apa katanya? Jelas-jelas aku jatuh dan terduduk di lantai dengan dramatis. Sama sekali tidak anggun seperti seorang gadis yang jatuh di drama Korea. Lebih tepatnya, aku terjerembab di lantai.